Mohon tunggu...
Thurneysen Simanjuntak
Thurneysen Simanjuntak Mohon Tunggu... Guru - Nomine Kompasiana Awards 2022 (Kategori Best Teacher), Pendidik, Pegiat Literasi, serta Peraih 70++ Penghargaan Menulis.

www.thurneysensimanjuntak.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Wujudkan Ekonomi Berkelanjutan dengan Ekonomi Hijau

5 Oktober 2023   04:19 Diperbarui: 5 Oktober 2023   04:27 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Barangkali istilah SDGs bukan sesuatu yang asing di telinga kita, mengingat istilah ini sudah sering menjadi bahan ulasan dan perbincangan dalam berbagai pertemuan dan media.  

SDGs atau Sustainable Development Goals adalah komitmen global untuk menyejahterakan masyarakat, melalui 17 tujuan dan 169 target. Salah satu tujuannya adalah "Penanganan Perubahan Iklim". 

SDGs itu sendiri disahkan di Markas Besar PBB (25/9/2015) dengan dihadiri sekitar 193 negara. 

Harapannya, dengan SDGs dapat mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan, serta melindungi lingkungan. 

Nah, perhatian melindungi lingkungan hingga sekarang memang semakin masif saja, mengingat kerusakan lingkungan dan perubahan iklim semakin mengkhawatirkan. 

Sebagai dampaknya, akhir-akhir ini saja banyak yang semakin merasakan panas suhu bumi yang tidak biasa. 

Di sebuah media, pernah diulas tentang faktor-faktor menimbulkan suhu panas bumi tersebut. Salah satunya, adanya tren pemanasan global dan perubahan iklim. 

Sejak adanya isu pemanasan global dan perubahan iklim, memang komitmen untuk mencegahnya pun bermunculan. Salah satunya, "Paris Agreement" yang berkomitmen untuk penghentian pemanasan bumi tidak lebih dari 2. 

Indonesia termasuk pendukung "Paris Agreement". Sebagai bentuk dukungannya telah meratifikasinya dalam UU Nomor 16 Tahun 2016. Indonesia juga berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca 31,89% dengan upaya sendiri atau 43,2% dengan bantuan internasional pada 2030. 

Perlu kita sadari, berdasarkan "Intergovermental Panel on Climate Change" (IPCC), ternyata ada banyak dampak yang bisa ditimbulkan oleh kenaikan suhu bumi secara global. 

Misalnya, dengan kenaikan suhu 1,5, 14% populasi global terdampak gelombang panas, tiap 100 tahun fenomena laut kutub utara tanpa es di musim panas, 0,5 meter kenaikan permukaan laut, 1,5 juta ton penurunan hasil perikanan laut per tahun, 3% penurunan hasil panen per tahun, 8% kepunahan tanaman, 4% kepunahan hewan, 70-90% kepunahan terumbu karang. 

Sementara kalau kenaikan suhu 2, 37% populasi global terdampak gelombang panas, tiap 10 tahun fenomena laut kutub utara tanpa es di musim panas, 0,6 meter kenaikan permukaan laut, 3 juta ton penurunan hasil perikanan laut per tahun, 7% penurunan hasil panen per tahun, 16% kepunahan tanaman, 8% kepunahan hewan, 99% kepunahan terumbu karang. 

Selain hal itu, kerusakan lingkungan dan perubahan iklim juga ternyata akan menimbulkan risiko fisik dan risiko transisi yang berimplikasi pada stabilitas moneter dan Stabilitas Sistem Keuangan (SSK). 

Sudah tahu maksud risiko fisik dan risiko transisi yang berimplikasi pada stabilitas moneter dan SSK? 

Risiko fisik adalah risiko turunan akibat perubahan iklim yang ekstrem. Seperti risiko gagal panen, harga menjadi tidak stabil, penjualan menurun, pendapatan menurun, konsumsi terganggu, dan akhirnya berdampak pada kondisi ekonomi masyarakat serta SSK akan terganggu. 

Menurut Bappenas, Swiss Re Institute (2021), ternyata kerugian Indonesia akibat perubahan iklim diestimasi dapat mencapai lebih dari Rp. 100 Triliun per tahun dan akan terus meningkat sampai dengan 40% PDB pada 2048. 

Bagaimana pula risiko transisi? 

Sebelumnya, kita perlu paham dulu tentang risiko transisi. Risiko transisi adalah risiko gagalnya menuju ekonomi rendah karbon atau akibat menunda pencapaian rendah karbon. 

Berdasarkan data Green Ekonomi Indeks, Bappenas, kalau berhasil mengantisipasi risiko transisi atau berhasil menuju ekonomi rendah karbon, maka kita berpeluang memperkuat pertumbuhan ekonomi hingga 6.1-6.5% selama tahun 2021-2045, menambah lapangan pekerjaan (green jobs) sampai 1,8 juta pekerjaan pada tahun 2030, serta menambah tutupan hutan sebesar 4,1 juta hektar pada tahun 2060. 

Mengingat pentingnya mengantisipasi risiko fisik dan risiko transisi, maka Bank Indonesia pun turut mendorong pengembangan ekonomi keuangan hijau melalui Kebijakan Makroprudensial. Begitu juga dengan perbankan. 

Ngomong-ngomong sudah pernah mendengar ekonomi keuangan hijau? 

Ekonomi keuangan hijau adalah ekonomi yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan dan kesetaraan sosial masyarakat, sekaligus mengurangi risiko kerusakan lingkungan secara signifikan. Atau, ekonomi keuangan hijau memiliki konsep mengarah pada perekonomian yang rendah atau tidak menghasilkan emisi karbon terhadap lingkungan, hemat sumber daya alam, dan berkeadilan sosial. 

Sekarang pertanyaannya, bagaimana bank memiliki kontribusi untuk mendukung kesuksesan ekonomi keuangan hijau? Serta bagaimana kebijakan Bank Indonesia untuk mendukung ekonomi keuangan hijau? 

Ternyata bank memiliki peran kunci untuk mendorong perusahaan bertransisi menjadi rendah emisi atau ramah lingkungan. Koq bisa? Karena banyak aktivitas dan proyek perusahaan dibiayai melalui kredit perbankan. Berdasarkan ISO 14064-1, bank perlu mengukur dan mengakui secara proporsional emisi dari aktivitas dan proyek perusahaan yang dibiayainya. Sudah jelas bukan? 

Jadi bank dapat menjadi motor penggerak ekonomi keuangan hijau. Artinya untuk memenuhi target penurunan emisi karbon, maka bank harus meningkatkan porsi kredit hijau. Atau lebih selektif dalam menyalurkan kredit pada perusahaan ramah lingkungan. 

Dengan demikian diharapkan perusahaan terpacu untuk menurunkan emisi. Sekarang kita masuk pada ranah Bank Indonesia. Bank Indonesia mendukung ekonomi hijau dengan cara memberikan insentif kepada bank penyalur kredit hijau. Hal itu tentu sejalan dengan amanah untuk mengatur dan mengembangkan keuangan berkelanjutan yang diatur dalam Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan No.4 Tahun 2023. 

Untuk mendukung regulasi tersebut, maka Bank Indonesia pun mengeluarkan kebijakan ekonomi keuangan hijau seperti pelonggaran LTV/FTV (Loan/Financing to Value) 100% untuk kredit properti berwawasan lingkungan dan uang muka 0% untuk kredit kendaraan bermotor berwawasan lingkungan. 

Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) untuk mendorong pembiayaan berkelanjutan. Melalui kebijakan ini, bank diberikan kelonggaran memenuhi kewajiban RPIM melalui pembelian obligasi berkelanjutan dan pemberian kredit atau pembiayaan kepada PT. SMI selaku pengelola SDG Indonesia One. Serta Insentif Makroprudensial dalam bentuk pelonggaran atas kewajiban pemenuhan giro Rupiah bank di Bank Indonesia atas penyaluran pembiayaan terhadap sektor prioritas dan inklusif untuk mendorong peningkatan pembiayaan berkelanjutan yang diperluas dengan pembiayaan terhadap sektor hijau. 

Nah, tentunya kita berharap dengan kebijakan tersebut, maka kerusakan lingkungan dan pemanasan global pun dapat teratasi. Oleh karena itu, mari kita bersinergi, karena ini adalah tanggung jawab kita bersama. Kalau pemerintah, perbankan, dan Bank Indonesia sudah menunjukkan kontribusinya, bagaimana dengan kita? 

Sumber Referensi: 

https://www.bi.go.id/id/publikasi/laporan/Documents/KSK_4023_.pdf 

https://www.youtube.com/watch?v=Yj3YDXGGP5A 

Materi Edukasi Makroprudensial

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun