Saya pribadi bisa dibilang rutin mengikuti webinar yang diselenggarakan Puspeka. Narasumbernya ternyata mampu menularkan inspirasi bagi saya, baik sebagai seorang guru mauun orang tua.
Kisah Ibu Debora adalah satu kisah yang sangat menyentuh diriku. Setidaknya, ada persamaan yang dimilikinya dengan ibuku dalam mendidik anak-anaknya.
Barangkali sahabat pembaca sudah tidak sabar lagi mendengar kisah Ibu Debora. Tanpa berlama-lama, saya akan langsung menceritakan siapa sesungguhnya Ibu Debora tersebut.
Setahun setelah menikah dengan suaminya, Bapak Isaschar Mambrashar pada tahun 1986, mereka pindah dari Surabaya menuju Papua.
"Kami tinggal sekeluarga di lereng gunung tanpa ada penerangan, dan hanya menggunakan sebuah pelita yang terbuat dari kaleng. Saat itu saya sempat putus asa." Kenang Ibu Debora.
Melihat kenyataan tersebut, Ibu Debora sempat berpikir untuk kembali ke Surabaya. Di sisi lain, Ibu Debora memikirkan juga bagaimana kehidupan anak-anak dan masa depan kehidupan mereka selanjutnya.
"Saya tidak boleh menyerah dan berjuang demi masa depan anak-anak." Lanjutnya.
Ibu Debora pun bekerja keras tanpa mengenal lelah. Dalam keterbatasan ekonomi beliau turut membantu suaminya. Ibu Debora bekerja serabutan seperti mengupas bawang di warung makan, mencuci piring hingga menjual kue. Bahkan masih banyak pekerjaan lain yang dilakukan, demi pendidikan anak-anak.
Ibu Debora pun mengajarkan kerja keras kepada anak-anaknya. Tetapi yang terutama tetap mengajarkan bahwa pendidikan tidak boleh diabaikan. Ibu Debora selalu berkata pada anak-anaknya, kalau kalian rajin belajar, cita-cita akan bisa tercapai.
Ibu Debora juga menyampaikan bahwa mereka tidak memiliki warisan, tetapi mendidik mereka untuk menggunakan pulpen yang ada di tangan sebagai masa depan. Ibu Debora tentu tidak menginginkan pendidikan anak-anaknya seperti dirinya yang hanya tamat sampai sekolah dasar, karena SMP hanya dijalani sampai kelas dua saja.