Mohon tunggu...
Thurneysen Simanjuntak
Thurneysen Simanjuntak Mohon Tunggu... Guru - Nomine Kompasiana Awards 2022 (Kategori Best Teacher), Pendidik, Pegiat Literasi, serta Peraih 70++ Penghargaan Menulis.

www.thurneysensimanjuntak.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Toleransi Itu Warisan Berharga

11 Juli 2020   11:44 Diperbarui: 11 Juli 2020   11:33 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Perbedaan itu adalah fitrah. Dan ia harus diletakkan dalam prinsip kemanusiaan universal" (K.H. Abdurrahman Wahid)

Sejak kecil, saya hidup dan dibesarkan di tengah-tengah masyarakat yang majemuk. Masyarakatnya ada yang beragama Islam dan Kristen. Begitu juga dengan etnisnya, ada Batak dan Nias. Hidup bersama dengan orang yang berbeda ternyata asik dan memberi pelajaran penting serta pengalaman berharga dalam kehidupan bermasyarakat. Baik itu seputar budaya orang lain, cara bergaul dan hidup berdampingan dengan orang yang berbeda. Bahkan dapat menjadi bagian dari upaya mengembangkan sikap toleransi atau saling menghargai satu dengan yang lainnya.

Tanpa disadari, ternyata pengalaman hidup yang demikian, akan menjadi pengalaman yang berguna serta menjadi modal hidup bermasyarakat sampai kapan dan di mana pun berada.

Bagi saya pribadi, pengalaman itulah membantu saya lebih mudah beradaptasi dan berbaur dengan orang yang berbeda ketika sudah beranjak dewasa. Terutama ketika harus menjalani masa kuliah dan merantau ke kota yang jauh dari kampung halaman. Misalnya, ketika kuliah saya berada di sebuah fakultas yang mayoritas beragama Islam dengan multi etnis.

Begitu halnya dengan tempat tinggal sejak merantau hingga berkeluarga yang penuh dengan keragaman. Sekali lagi, saya bersyukur sejak dini telah hidup di tengah-tengah masyarakat yang beragam perbedaannya. Sehingga tidak perlu lagi khawatir akan adanya penolakan karena perbedaan. Bahkan tetap berupaya untuk tidak menghindar dari perbedaan, apalagi sampai membentuk kehidupan yang eksklusif. Semua ilmunya ternyata ada di masyarakat berdasarkan pengalaman nyata (social experiences).

Sepakat dengan kata bijak yang mengawali tulisan ini. Perbedaan itu adalah fitrah. Sejak semula, manusia itu telah dirancang berbeda oleh Tuhan Sang Pencipta. Perbedaan gender antara pria dan wanita merupakan wujud pertama dari perbedaan tersebut. Seiring berjalannya waktu, maka perbedaan itu pun semakin beragam bentuknya.

Dari pemaparan tersebut, ada dua hal penting yang mau saya sampaikan. Bahwa perbedaan di muka bumi ternyata umurnya sama dengan keberadaan manusia itu sendiri. Selanjutnya, perbedaan itu adalah sebuah keniscayaan. Tidak seorangpun dapat mengingkari atau menolaknya.

Bila beranjak melihat kondisi negeri kita, maka kita patut bersyukur kalau negeri kita diberkahi dengan ragamnya perbedaan. Mulai dari perbedaan fisik, kepercayaan, tradisi atau adat istiadat, bahasa, gaya hidup, dan lain sebagainya. Hebatnya, perbedaan bukanlah sesuatu yang baru di negeri kita. Jauh sebelum merdeka dan menjadi sebuah negara pun, masyarakat kita adalah masyarakat yang beragam (majemuk).

Pengakuan akan keberagaman tersebut sesungguhnya dapat kita lihat dari bukti sejarah yang ada, seperti pada Kitab Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular.  Istilah Bhinneka Tunggal Ika itu sendiri, yang menjadi semboyan keberagaman di negeri kita, untuk pertama kalinya sudah ditemukan dalam kitab tersebut.

Selain itu, sejarah pun mencatat bahwa ada berbagai upaya yang pernah dilakukan para pemuda untuk menyatukan ragam perbedaan yang ada di masyarakat. Salah satunya, Ikrar Sumpah Pemuda, Ikrar tersebut mengajak pemuda mengakui bahwa kita satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa. Semangat ini pun terus dipelihara hingga sekarang.

Selanjutnya, para pendiri bangsa pun membuat berbagai kesepakatan bersama (konsensus). Bahkan hingga sekarang keberadaannya tetap dipertahankan. Dari beberapa konsensus yang dimaksud, saat ini dapat kita lihat pada 4 pilar bangsa kita yang menjadi kekuatan utama dalam mempertahankan berbagai keragaman perbedaan di negeri ini. Kita mengakui bahwa Pancasila sebagai ideologi negara. UUD 1945 sebagai konstitusinya. Pengakuan bahwa kita berada di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Serta semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang menyatakan walau kita berbeda tetap satu jua.

Tetapi amat disayangkan, ternyata dalam kehidupannya nyata, acapkali perbedaan itu diingkari. Salah satu bentuk pengingkaran tersebut adalah intoleransi. Kalau melihat faktanya, bahwa intoleransi terhadap perbedaan agama merupakan salah satu kasus yang paling sering kita saksikan dan diperbincangkan di berbagai media massa maupun media sosial.

Berdasarkan siaran pers yang dirilis oleh SETARA Institute (31 Maret 2019) bahwa "Sepanjang tahun 2018, SETARA Institute mencatat 160 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) dengan 202 bentuk tindakan, yang tersebar di 25 provinsi." [1] Sementara berdasarkan data yang dirilis Imparsial bahwa "Selama 2019 terdapat 31 kasus intoleransi atau pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Jenisnya beragam, mulai dari pelarangan pendirian tempat ibadah, larangan perayaan kebudayaan etnis, perusakan tempat ibadah hingga penolakan untuk bertetangga terhadap yang tidak seagama." [2]

Ternyata banyak juga ya? Itu masih bicara tentang intoleransi terhadap agama, belum lagi intoleransi terhadap perbedaan yang lainnya. Tentu di era keterbukaan informasi, kita dengan mudah memeroleh fakta-fakta yang berhubungan dengan hal tersebut di berbagai media, seperti media online dan media sosial.

Perlu kita sadari, jika sikap intoleransi terus bertumbuh di tengah-tengah masyarakat yang beragam, hal itu sudah barang tentu mencederai upaya yang telah rintis oleh para pendahulu dan pendiri bangsa. Padahal, perbedaan yang begitu beragam di negeri ini adalah sesuatu yang menjadi keunggulan, kebanggaan dan kekayaan bangsa. Saya mengatakan demikian, karena tidak banyak negara di dunia ini seperti bangsa kita yang memiliki ragam perbedaan tetapi tetap berdiri kokoh.

Saya jadi teringat dengan Yugoslavia yang disebut-sebut sebagai miniatur keragaman di Eropa saat itu. Pada akhirnya negara tersebut tidak mampu mempertahankan keutuhannya. Alhasil awal tahun 90an negara ini pun pecah berkeping-keping (bubar). Sebutan miniatur perbedaan itu pun terbantahkan. Jika kita bandingkan negara kita dengan negara tersebut, kita sangat jauh lebih beragam dari negara tersebut. Tetapi satu hal yang perlu kita syukuri bahwa kita masih tetap bertahan kokoh hingga saat ini. Bukankah ini disebut sebagai suatu keunggulan? Hal itu patut kita banggakan sebagai bagian dari bangsa yang beragam ini.

Sesungguhnya, apakah yang membuat kokoh atau retak (pecahnya) sebuah bangsa jika dikaitkan dengan keragaman perbedaan? Begini. Kokoh atau terciptanya persatuan maupun kesatuan, hanya jika masyarakat terbuka dan mau menerima perbedaan. Atau bisa dibilang masyarakat yang mampu melihat persamaan dalam berbagai perbedaan. Sebaliknya masyarakatnya akan retak bahkan dapat menimbulkan perpecahan ketika masyarakat gagal menerima perbedaan atau tidak mampu melihat persamaan dalam perbedaan.

Untuk itu, sesungguhnya hal apa yang harus dilakukan masyarakat untuk menyikapi ragam perbedaan tersebut? Menurut hemat saya, ada beberapa kunci utama terciptanya kerukunan dan sikap toleransi di masyarakat.

Pertama, masyarakat harus memiliki paradigma yang benar tentang perbedaan. Seperti yang sudah saya paparkan terdahulu, bahwa manusia pada dasarnya diciptakan Tuhan dengan perbedaan. Kemudian, sepakat bahwa perbedaan itu adalah kekayaan dan kebanggaan bangsa. Bahayanya kalau seseorang tidak memiliki paradigma yang benar, maka orang tersebut akan mudah terpengaruh atau terperangkap pada berbagai "isme", seperti fanatisme, etnosentrisme, primordialisme, rasisme, chauvinisme, dan lain sebagainya.

Kedua, ketika seseorang telah memiliki paradigma yang benar, setiap orang harus mengahayati paradigma itu dengan cara yang benar pula. Artinya antara pemahaman dan penghayatan harus sejalan. Untuk itu apa yang harus dilakukan? Boleh dengan cara melakukan refleksi dan evaluasi diri. Sebagai bagian dari masyarakat yang beragam, tentu kita dapat melihat sisi-sisi kekuatan diri yang dapat dipertahankan dalam mewujudkan sikap toleransi dalam tindakan. Atau sebaliknya mengenali sisi-sisi kelemahan diri yang harus dibenahi demi kesanggupan melakukan praktik toleransi di masyarakat yang beragam. Untuk membantu refleksi dan evaluasi diri tersebut, tentu dapat menggunakan panduan pertanyaan yang berkaitan dengan sikap toleransi.

Misalnya apakah saya orang yang mudah berempati, terbuka dengan orang lain, suka menolong orang lain selama ini? Apakah saya sudah menjadi orang yang senang bergaul, masih memiliki kecenderungan ekslusif, dan lain sebagainya. Masih banyak lagi pertanyaan refleksi yang bisa kita kembangkan demi peningkatan penghayatan terhadap sikap toleransi. Nah, melalui refleksi dan evalusi diri tersebut, diharapkan kita akan semakin matang dan memiliki kedewasaan dalam memiliki penghayatan terhadap sikap toleransi.

Ketiga, tidak cukup pada paradigma dan penghayatan terhadap keragaman. Kita harus proaktif bertindak di tengah-tengah masyarakat, dan mewujudkan paradigma dan penghayatan tersebut menjadi sebuah tindakan nyata. Misalnya, mari keluar dari rumah dan berbaur dengan masyarakat. Kebiasaan berbaur dengan masyarakat yang mejemuk tentu akan membantu kita belajar dan berproses dalam membentuk sikap torensi yang matang. Hargailah tetangga kita yang berbeda, sapalah mereka, mari berikan pertolongan untuk yang membutuhkan tanpa memandang latar belakang. Ingat, jangan pernah meremehkan agama, suku dan ras orang lain yang berbeda dengan kita.

Nah, berikutnya, sikap toleransi pun sesungguhnya tidak hanya berlaku bagi masyarakat di mana kita tinggal. Kita pun perlu membangun sikap toleransi ke luar (eksternal).  Sebagai negara yang juga mengharapkan peningkatan pariwisatanya, kita wajib mengembangkan sikap toleransi kepada setiap orang yang berkunjung ke negara atau daerah kita.

Perlu kita bangun pemahaman bersama bahwa modal pariwisata itu bukan semata keindahan alamnya, tentu tidak lepas dari sikap terbuka dan keramahan penduduk setempat kepada bangsa atau masyarakat pendatang. Sehingga, sikap terbuka dan ramah tersebut menjadi daya tarik terhadap wisatawan mancanegara dan domestik untuk berkunjung ke daerah atau negeri kita.

Apalagi mengingat bahwa pemerintah telah menetapkan "10 Bali Baru" seperti Danau Toba di Sumatera Utara, Tanjung Kelayang di Kepulauan Bangka Belitung, Tanjung Lesung di Banten, Kepulauan Seribu di Jakarta, Borobudur di Jawa Tengah, Bromo Tengger Semeru di Jawa Timur, Mandalika di Nusa Tenggara Barat, Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur, Wakatobi di Sulawesi Tenggara, dan Morotai di Maluku Utara. Maka sebagai bagian dari bangsa ini, kita wajib mendukungnya. Hal ini tentu menjadi tanggung jawab kita bersama agar impian itu terwujud. Sebab kemajuan dari daerah-daerah tersebut tentu bukan semata untuk kemajuan negara, tetapi juga kesejahteraan masyarakat di tempat-tempat pariwisata tersebut.

Permasalahnya, bagaimana mungkin kita dapat mengembangkan pariwisata di negeri kita tanpa adanya sikap toleransi? Bukankah wisatawan yang hadir ke negeri kita juga berasal dari ragam perbedaan? Maka kalau ingin pariwisata kita maju dan mewujudkan kesejahteraan rakyat, maka toleransi adalah sebuah keniscayaan. Toleransi sejatinya menjadi daya tarik negeri kita. Bahkan sejak dahulu, bangsa lain telah mengakuinya, dan telah menjadi identitas masyarakat kita.

Oleh karena itu, pada akhir tulisan ini, penulis mengajak kita semua agar sama-sama mememelihara dan mempertahankan warisan berharga yang telah kita terima secara turun temurun dari para leluhur dan pendiri bangsa. Harapannya, sikap toleransi menjadi bagian dari semua masyarakat Indonesia. Bahkan kita pun dapat melanjukannya pada generasi penerus bangsa. Sebab tanpa sikap toleransi tersebut, bagaimana generasi penerus bangsa menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, mempertahankan keutuhan negara sehingga jauh dari perpecahan.

Selain itu, kita pun tetap mendapatkan penghargaan dan kekaguman dari bangsa lain bahwa kita adalah bangsa yang toleran. Semoga saja.

________

Referensi : 1 2

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun