Ketiga, tidak cukup pada paradigma dan penghayatan terhadap keragaman. Kita harus proaktif bertindak di tengah-tengah masyarakat, dan mewujudkan paradigma dan penghayatan tersebut menjadi sebuah tindakan nyata. Misalnya, mari keluar dari rumah dan berbaur dengan masyarakat. Kebiasaan berbaur dengan masyarakat yang mejemuk tentu akan membantu kita belajar dan berproses dalam membentuk sikap torensi yang matang. Hargailah tetangga kita yang berbeda, sapalah mereka, mari berikan pertolongan untuk yang membutuhkan tanpa memandang latar belakang. Ingat, jangan pernah meremehkan agama, suku dan ras orang lain yang berbeda dengan kita.
Nah, berikutnya, sikap toleransi pun sesungguhnya tidak hanya berlaku bagi masyarakat di mana kita tinggal. Kita pun perlu membangun sikap toleransi ke luar (eksternal). Â Sebagai negara yang juga mengharapkan peningkatan pariwisatanya, kita wajib mengembangkan sikap toleransi kepada setiap orang yang berkunjung ke negara atau daerah kita.
Perlu kita bangun pemahaman bersama bahwa modal pariwisata itu bukan semata keindahan alamnya, tentu tidak lepas dari sikap terbuka dan keramahan penduduk setempat kepada bangsa atau masyarakat pendatang. Sehingga, sikap terbuka dan ramah tersebut menjadi daya tarik terhadap wisatawan mancanegara dan domestik untuk berkunjung ke daerah atau negeri kita.
Apalagi mengingat bahwa pemerintah telah menetapkan "10 Bali Baru" seperti Danau Toba di Sumatera Utara, Tanjung Kelayang di Kepulauan Bangka Belitung, Tanjung Lesung di Banten, Kepulauan Seribu di Jakarta, Borobudur di Jawa Tengah, Bromo Tengger Semeru di Jawa Timur, Mandalika di Nusa Tenggara Barat, Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur, Wakatobi di Sulawesi Tenggara, dan Morotai di Maluku Utara. Maka sebagai bagian dari bangsa ini, kita wajib mendukungnya. Hal ini tentu menjadi tanggung jawab kita bersama agar impian itu terwujud. Sebab kemajuan dari daerah-daerah tersebut tentu bukan semata untuk kemajuan negara, tetapi juga kesejahteraan masyarakat di tempat-tempat pariwisata tersebut.
Permasalahnya, bagaimana mungkin kita dapat mengembangkan pariwisata di negeri kita tanpa adanya sikap toleransi? Bukankah wisatawan yang hadir ke negeri kita juga berasal dari ragam perbedaan? Maka kalau ingin pariwisata kita maju dan mewujudkan kesejahteraan rakyat, maka toleransi adalah sebuah keniscayaan. Toleransi sejatinya menjadi daya tarik negeri kita. Bahkan sejak dahulu, bangsa lain telah mengakuinya, dan telah menjadi identitas masyarakat kita.
Oleh karena itu, pada akhir tulisan ini, penulis mengajak kita semua agar sama-sama mememelihara dan mempertahankan warisan berharga yang telah kita terima secara turun temurun dari para leluhur dan pendiri bangsa. Harapannya, sikap toleransi menjadi bagian dari semua masyarakat Indonesia. Bahkan kita pun dapat melanjukannya pada generasi penerus bangsa. Sebab tanpa sikap toleransi tersebut, bagaimana generasi penerus bangsa menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, mempertahankan keutuhan negara sehingga jauh dari perpecahan.
Selain itu, kita pun tetap mendapatkan penghargaan dan kekaguman dari bangsa lain bahwa kita adalah bangsa yang toleran. Semoga saja.
________
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H