Mohon tunggu...
Thurneysen Simanjuntak
Thurneysen Simanjuntak Mohon Tunggu... Guru - Nomine Kompasiana Awards 2022 (Kategori Best Teacher), Pendidik, Pegiat Literasi, serta Peraih 70++ Penghargaan Menulis.

www.thurneysensimanjuntak.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kebijakan Makroprudensial sebagai Benteng Stabilitas Sistem Keuangan

3 Juni 2019   19:13 Diperbarui: 3 Juni 2019   19:41 1437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Nak, maaf..., mulai bulan depan biaya makan akan naik menjadi Rp.120.000/bulan. Masalahnya, harga sembako di pasar terus melonjak naik."

Pemberitahuan itu membuat selera makanku hilang. 

Sebenarnya, saya sudah menduga sebelumnya, cepat atau lambat  kenaikan biaya makan kami akan segera dilontarkan oleh ibu pemilik warung makan langganan kami. Mengingat krisis moneter semakin hari semakin menjadi, harga barang-barang membubung tinggi, hingga akhirnya melumpuhkan daya beli masyarakat.

Bayangkan, awalnya biaya di tempat makan langganan kami itu sebesar Rp.50.000/bulan (untuk dua kali makan, yaitu siang dan malam). Tapi semenjak krisis moneter tahun 1997/1998, saat dollar membubung tinggi, ternyata harga-harga terus merangkak naik. Tentu imbasnya kemana-mana, termasuk kenaikan biaya makan kami.

Itu masih satu item dari kebutuhan mahasiswa loh! Belum lagi kenaikan harga kebutuhan lainnya. 

Masih segar diingatanku, harga sabun mandi merk "L" di warung sebelah kos-kosan kami, awalnya cuma Rp. 350 saja, tiba-tiba sudah menembus angka Rp.1.200.

Sedih dan tak berdaya, semua barang-barang pada naik, tapi kiriman dari kampung (orangtua) tidak serta merta mengalami kenaikan. Berdasarkan survei kecil-kecilan kepada beberapa anak kos, bahwa kiriman dari orangtua masih berkisar Rp.200.000/bulan. Bila dibandingkan dengan kenaikan harga-harga, maka dipastikan seorang anak kos harus semakin ekstra ketat mengalokasikan dananya. Bahkan tidak semua kebutuhan lagi terpenuhi.

Krisis itu memang benar-benar dahsyat dan membuat masyarakat menderita.

Itulah sepenggal pengalamanku ketika masih jadi mahasiswa, disaat Indonesia dilanda krisis moneter. Harus diakui bahwa mahasiswa adalah salah satu kelompok masyarakat yang benar-benar turut merasakan derita akibat krisis moneter yang terjadi.

Sesungguhnya, mengapa terjadi krisis ekonomi 1997/1998? Salah satu faktor penyebabnya karena risiko sistemik. Resiko yang terjadi di suatu negara merambat ke negara lain. Kegagalan suatu bank bisa berimbas ke bank lain. Layaknya efek domino.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun