Semua orang pasti mendambakan keluarga yang harmonis dan bahagia. Tapi tidak serta merta setiap orang yang sudah berkeluarga bisa meraihnya.
Ada banyak tantangan dan hambatan yang harus dihadapi untuk mewujudkan keluarga yang ideal. Dan yang siap menghadapi serta melampauinya, merekalah yang akan sukses membangun keluarga.
Tidak begitu dengan kisah berikut.
Semasa kecil, di dekat rumah kami, ada keluarga muda. Bulan-bulan awal pernikahan mereka terlihat begitu bahagia. Tapi tidak lama berselang mereka pun mulai sering adu mulut. Sebagai tetangga, lumayan terganggu juga mendengar pertengkaran mereka saban hari.
Sesungguhnya mereka sudah berkali-kali mendapat nasihat dari para orangtua di kampung. Tapi semuanya sia-sia. Pada akhirnya keluarga muda tersebut berakhir dengan 'sad ending'.
Malam itu, warga pun dihebohkan dengan tindakan nekat sang istri. Singkat cerita, sang istri membakar dirinya setelah terlebih dahulu menyiramkan minyak tanah ke sekujur tubuhnya. Dan tidak lama berselang, si istri pun meninggal dunia.
Peristiwa tersebut, adalah salah satu gambaran kegagalan membangun keluarga. Dan masih banyak kegagalan lainnya yang pernah kita saksikan di tengah-tengah masyarakat. Mulai dari perceraian dengan alasan ketidakcocokan dan perselingkuhan. Hingga masalah lain yang terkadang sepele dan tidak masuk akal.
Kalau begitu, bagaimana seharusnya strategi membangun keluarga agar tetap awet dan langgeng?
Menurut hemat saya, tidak ada rumusan bakunya. Bagi setiap keluarga tentu memiliki resep yang berbeda. Mungkin untuk keluarga A lebih cocok menggunakan strategi dan cara X. Sementara keluarga B lebih tepat menggunakan strategi dan cara Y.
Tetapi, apa pun strategi dan cara yang dilakukan orang dalam membangun keluarga, bahwa satu hal yang tidak boleh hilang dari sebuah keluarga adalah cinta. Sebab kekuatan cintalah yang membuat orang rela berkorban, mampu memerhatikan satu dengan yang lainnya, menghargai dan  kesiapan menerima setiap kekurangan pasangan. Seperti cinta Tuhan pada umatnya, begitu pula cinta itu tumbuh dan menjadi landasan dalam sebuah keluarga ideal.
Dan sesungguhnya, jika ingin membangun keluarga ideal bukanlah dimulai ketika hari pernikahan seseorang. Tapi jauh sebelumnya. Masa pranikah itu sebenarnya memiliki andil besar dalam membangun keluarga.
Misalnya, sebelum menikah maka seseorang seharusnya telah menyiapkan kedewasaan rohani, mental dan emosional, memilih orang yang benar-benar bisa siap mendampinginya baik dalam keadaan suka maupun duka, serta memiliki pekerjaan atau penghasilan. Sebab akar dari permasalahan keluarga tidak jauh dari hal-hal yang itu juga.
Bagi yang sudah berkeluarga harusnya terus belajar. Sebab membangun keluarga tidak pernah ada kata tamat. Setiap hari, ada saja masalah dan tantangan baru yang harus dihadapi. Jadi selalu ada pelajaran barunya. Jika keluarga tidak terbuka untuk mau belajar bersama, maka itulah awal dari kemunduran keluarga.
Begitulah langkah filosofisnya. Terus bagaimana pula dengan langkah teknis untuk membangun keluarga yang ideal tersebut?
Langkah Membangun Keluarga Ideal
Nah, secara teknisnya dalam membangun keluarga, penulis ingin mengutip dari sebuah infografis dari media sosial BKKBN. Dalam infografis tersebut, setidaknya ada 6 langkah membangun keluarga yang ideal.
Saran pernikahan ideal tentu bukan tanpa alasan. Hal itu pasti telah melalui sebuah kajian para ahli dan penelitian yang dalam melalui orang-orang yang sudah berkeluarga.
Untuk itu, pernikahan dini sangat tidak dianjurkan dan sebaiknya harus dihindari. Jika ditinjau secara medis, pernikahan dini itu kurang baik untuk kesehatan reproduksi. Sementara dari aspek lain, pernikahan dini cenderung bisa menimbulkan masalah karena ketidaksiapan mental, emosional dan finansial.
Bagaimana pula jika menikah terlalu lama?
Dari pengamatan penulis, ini terkait dengan pemenuhan kebutuhan anak kelak. Misalnya, orangtua sudah menjelang pensiun (tidak produktif) ternyata masih harus berjuang menyekolahkan anak mereka. Kalau begini repot kan? Kalau sudah punya warisan tujuh turunan mungkin tidak menjadi masalah, tapi umumnya kenyataannya kan tidak demikian.
Di samping itu, jika menikah terlalu lama, ada kemungkinan proses kelahiran akan terjadi masalah ketika sudah melampaui batas usia sehat untuk melahirkan.
Kedua, mengatur jarak kelahiran
Mengatur rentang waktu kelahiran anak antara 3-5 tahun tentu akan membantu keluarga menikmati kebahagian. Sebab dengan rentang waktu yang demikian, anak seusia demikian sudah bisa berjalan sendiri dan menyampaikan maksudnya dengan verbal.
Berbeda jika rentang kelahiran 1 atau 2 tahun saja, akan menimbulkan kerepotan tersendiri. Sebab si kakak belum bisa jalan, sementara adiknya susah lahir lagi. Bisa Anda bayangkan kerepotan kedua orangtuanya.
Belum lagi si kakak yang masih butuh perhatian khusus, sementara kehadiran adik telah memecah perhatian. Situasi seperti itu bisa menimbulkan bibit kecemburuan dan kekesalan si kakak.
Ketiga, rencanakanlah jumlah anak.
Nah, kalau urusan yang ini, pastinya berbeda pemahaman orangtua zaman old dengan zaman now. Kalau zaman old, banyak yang menganut slogan "banyak anak, banyak rejeki".
Sekarang kehidupan semakin kompleks, biaya pangan, sandang dan papan pun semakin mahal. Kalau dulu, urusan makanan masih bisa diambil dari pekarangan rumah. Sekarang zamannya apa-apa harus beli. Belum lagi biaya pendidikan dan kesehatan semakin tinggi.
Jadi kalau ingin masa depan anak lebih baik dan hidupnya berkualitas, sebaiknya rencanakanlah jumlah anak.
Keempat, berhenti melahirkan di atas usia 35 tahun.
Melahirkan sebelum usia 35 tahun tentu akan juah lebih baik bagi seorang ibu dibanding sesudahnya. Bukan sebatas itu saja. Ketika anak-anak mungkin sudah berumur puluhan tahun, atau sudah duduk di bangku sekolah dasar, saatnya orangtua fokus untuk mengoptimalkan potensi mereka melalui pendidikan formal dan non formal yang berkualitas.
Manfaatkan masa golden age mereka agar bertumbuh dan berkembang secara maksimal. Sehingga kelak mereka siap memasuki jenjang berikutnya dengan mantap.
Kelima, rawat dan asuh anak secara optimal
Bagi masyarakat etnis Batak, ada sebuah filosofi tentang anak, "Anakkan hi do hamoraon di ahu" (anak adalah harta kekayaan bagiku). Artinya kalau kita sudah sampai pada tahap itu, maka seorang orangtua tidak akan mungkin menelantarkan anak. Mereka akan memberikan yang terbaik, termasuk pola merawat dan mengasuh anak.
Sebab dengan merawat dan mengasuh masa depan anak, sama saja depan menghargai masa depan mereka.
Keenam, bina hubungan sosial
Keluarga adalah bagian dari masyarakat terkecil. Jadi keluarga itu tidak boleh eksklusif. Wajib hukumnya untuk membina relasi dengan keluarga besar dari pihak pria maupun wanita. Tidak terkecuali juga dengan komunitas dan masyarakat tempat tinggal kita. Sebab keluarga tersebut ada waktunya membutuhkan dukungan dari pihak lain. Untuk itu perlu dibangun relasi yang baik dan berkualitas.
Nah, pembaca yang budiman, begitulah sekilas strategi membangun keluarga ideal. Bangunlah cinta dan tindakan bijak, maka keluarga akan terselamatkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H