Bully atau yang dikenal juga dengan sebutan rundung, dalam kbbi.web.id dikatakan bahwa defenisinya adalah mengganggu, mengusik terus menerus dan menyusahkan.
Sementara menurut Retha Arjadi, yang sedang mendalami program doktoral psikologi (PhD) di Groningen Belanda, dalam sebuah tulisannya di kompas.com mengatakan bahwa merundung dapat didefinisikan sebagai tindakan agresif, menyakiti, mengontrol, atau memaksa yang dilakukan secara berulang oleh satu pihak kepada pihak lainnya.
Retha juga menambahkan bahwa merundung itu bisa bermacam-macam bentuknya , mulai dari yang jelas terlihat seperti memukul atau menghina dengan kata-kata, hingga yang sulit untuk dikenali, seperti mengerjai secara diam-diam, menjauhi dalam pergaulan, menatap sinis, menyindir-nyindir baik secara langsung maupun via media sosial".
Sebagai seorang guru yang sudah mengabdi di dunia pendidikan sekitar duapuluh tahun, tentu praktek-praktek yang demikian bukan sesuatu yang asing terjadi. Bahkan saya sendiri sudah sering turun tangan untuk menyelesaikan permasalahan perundungan diantara siswa.
Hanya sering menjadi masalahan ketika proses perundungan itu terjadi diluar pantauan guru atau diluar jam sekolah. Sementara pihak korban sering tidak memiliki keberanian untuk melaporkan karena takut adanya ancaman dari pelaku perundungan tersebut.
Atau celakanya, ketika sudah ada yang beranggapan bahwa tindakan pelaporan tersebut tidak akan ada gunanya karena kuatir tidak ditangani dengan serius, alhasil anggapan bahwa pelaku malah tidak akan kapok, sebaliknya akan melakukan tindakan perundungan yang lebih menjadi-jadi.
Sudah saatnya permasalahan perundungan ditangani serius dan menjadi tanggung jawab bersama. Semua pihak harus terlibat memutus mata rantai perundungan. Misalnya, ketika perundungan tersebut terjadi di sekolah, maka seluruh warga belajar harus bertanggung jawab secara bersama. Mulai dari sekolah sebagai instutusi, guru, tata usaha, pegawai sekolah, petugas kantin, siswa, korban, dan orangtua.
Mengapa perundungan harus ditangani dengan serius? Jawabannya singkat dan sederhana. Perundungan tersebut ternyata sangat berdampak buruk dan negatif bagi orang yang mengalaminya.
Dari sebuah infografis Unicef yang pernah saya temukan di media sosial mengatakan bahwa sangat banyak dampak perilaku perundungan pada korban. Mulai dari dampak psikologis yaitu bisa menimbulkan depresi, berpikir bunuh diri, kurang menghargai hidup. Dampak terhadap kesehatan bisa menyebabkan gangguan pola makan, sakit kepala dan kurang tidur. Sementara untuk kehidupan sosial bisa berdampak pada kesulitan berinteraksi, merasa kesepian dan dikucilkan. Bahkan untuk hal-hal yang berhubungan dengan akademis bisa menurunkan nilai pembelajaran dan partisipasi kehadiran di sekolah.
Bahkan tindakan diam akan membuat perundungan tersebut semakin merajalela.
Sekali lagi, mari semua pihak turut ambil bagian dalam hal pemutusan mata rantai perundungan tersebut, tentu sesuai dengan posisi dan peran masing-masing.
Pihak sekolah harus serius membuat regulasi yang tepat sasaran dan mudah untuk diimplementasikan. Guru-guru pun harus menjalankan regulasi tersebut dengan konsisten dan penuh perhatian. Sementara untuk seluruh siswa di sekolah harus di dorong untuk berani melaporkan praktek-praktek perundungan. Berikan perlindungan bagi setiap orang yang melaporkan dan korban setiap perundungan, sehingga mereka akan merasa aman dan nyaman.
Sebagai negara hukum, spirit perlindungan terhadap saksi dan korban yang diatur dalam UU no.31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban harus menjadi spirit yang mampu menginspirasi seluruh warga negara untuk menjalankannya hingga pada tataran yang paling bawah. Dalam hal ini, termasuk permasalahan perundungan di sekolah pun harus melihat UU tersebut sebagai sebuah inspirasi untuk melindungi setiap saksi dan korban perundungan tersebut.
Bahkan keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bisa menjadi simbol perlawanan terhadap kesewenang-wenangan orang yang tidak memiliki nurani untuk menutupi setiap tindakan pelanggaran dan kejahatan yang terpendam.
Dengan demikian, sekolah pun bisa menjadi miniatur penerapan UU Perlindungan Saksi dan Korban dalam tataran yang lebih kecil, tetapi mendasar.
_______________
Referensi: 1, 2 Â