Pernahkah bermimpi kalau tulisan anda terpampang di Harian Kompas cetak? Atau pernah mencoba mengirimkan tulisan tapi masih ditolak?
Dua pertanyaan diatas ternyata mewakili diri saya.
Sejak dulu saya mengidam-idamkan bisa menulis di Harian Kompas cetak. Hanya sepertinya, saya masih kurang ngotot untuk mencoba. Saya pernah mencoba mengirimkan tulisan, itupun hanya beberapa kali saja dan hingga saat itu ternyata tulisan saya masih mendapat penolakan. Lalu menyerah begitu saja.
Tapi berterimakasih bahwa Harian Kompas sangat profesional dan menghargai usaha yang saya lakukan. Satu hal yang membuat saya salut dengan Harian Kompas, bahwa pihak redaksi selalu mengirimkan surat balasan yang dilengkapi dengan naskah asli yang pernah saya kirimkan serta beberapa poin penting alasan penolakan terhadap tulisan saya.
Setidaknya dari alasan penolakan tersebut, saya bisa banyak belajar. Memahami ekpektasi dari Harian Kompas terhadap tulisan-tulisan yang mereka loloskan serta mendapatkan beberapa masukan kepada saya sebagai penulis.
Dulu ketika mengikuti sebuah workshop kepenulisan, narasumbernya pernah bilang, kalau menulis di Harian Kompas, disamping punya skill menulis, kita harus sabar dan tekun untuk mencoba. Sebab ada penulis yang sampai ratusan kali mencoba, baru tulisan ke-101nya ditayangkan.
Bahkan narasumbernya juga mengajarkan strategi menulis bagi pemula, setidaknya untuk melahirkan percaya diri. Si narasumber pun menyarankan agar memulai menulis di Harian Kompas melalui kolom Suara Pembaca. Tapi untuk saran ini saya tidak pernah mencobanya.
Berbeda dengan pengalaman yang dialami oleh siswa saya.
Beberapa tahun lalu, ketika mengajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di kelas XII SMA, saya memberikan sebuah penugasan yang cukup menantang kepada siswa-siswi saya.
Waktu itu, ketika di semester dua, kami sedang belajar tentang topik 'Pers'. Kalau sudah ketemu topik ini, saya selalu memilih tugas yang aplikatif. Saya menantang mereka untuk menulis di media cetak. Salah pilihan yang saya tawarkan adalah menulis di Harian Kompas.
Bahkan saya berkata kepada mereka, "Kalau kamu berhasil menulis di Harian Kompas, khusus untuk materi yang kita pelajari yaitu tentang 'Pers', maka kamu saya kasih nilai 100, tidak perlu mengikuti ulangan. Tapi bagi yang tidak berhasil, tentu harus tetap mengikuti ulangan ya!"
Ternyata ada beberapa yang berani menerima tantangan yang saya sampaikan. Mereka mencoba mengirimkan karyanya ke Harian Kompas. Menariknya, karya dari dua orang siswa tersebut berhasil dimuat di Harian Kompas. Tidak disangka, karya dari kedua siswa tersebut pun ternyata merupakan karya pertama mereka, bukan yang ke-101.
Artinya, siswa saya tersebut tidak butuh berkali-kali toh untuk mencoba hingga karya mereka dimuat di Harian Kompas. Mereka hanya butuh kombinasi antara keahlian mereka dan kolom yang tepat yang sesuai dengan posisi mereka, yakni tentang remaja.
Baru-baru ini, saya pun mencoba hal yang sama. Saya melihat peluang dan ketertarikan saya. Saya kebetulan lagi tertarik dengan topik-topik yang ringan yang ada di Harian Kompas, khususnya edisi minggu.
Di edisi minggu tersebut ada sebuah kolom yang tidak pernah saya lewatkan tentang Kicau Keluarga. Saya pun sesekali ikut berkontribusi memberikan tips seputar tema yang ditawarkan oleh kolom tersebut, dan tips saya pun ternyata dimuat di kolom tersebut.
Pembaca, inilah edisi curhatanku seputar Kompas hari ini. Sekaligus mengucapkan Selamat Ulang Tahun ke-52 Kompas. Semoga tetap menjadi media yang terdepan yang selalu menyuarakan kebenaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H