nenek moyangku orang pelaut
gemar mengarung luas samudra
menerjang ombak tiada takut
menempuh badai sudah biasa
angin bertiup layar terkembang
ombak berdebur di tepi pantai
pemuda b'rani bangkit sekarang
ke laut kita beramai-ramai
***
Mungkin pembaca pernah mendengar lagu tersebut semasa kecil. Apa yang Anda rasakan ketika mendengarkan lagu terserbut? Setidaknya kita bisa merasakan spirit dari seorang pelaut. Seorang yang gemar ke laut mengarungi samudera luas, serta memiliki keberanian menerjang ombak dan menempuh badai. Itulah ketangguhan nenek moyang kita.
Sayang lagu seperti ini sudah jarang dinyanyikan anak-anak sekarang. Untuk membangun spirit dan kebanggaan akat laut kita. Padahal lagu-lagu yang demikian, yang bernuansa laut (maritim) perlu sekali digalakkan kembali. Mengingat Indonesia sejatinya adalah negara maritim selain sebagai negara agraris.
Bila kita merekonstruksi sejarah perlajanan bangsa kita, bahwa masyarakat dulu dan kerajaan-kerajaan yang bercorak maritim pernah merasakan dan menikmati kejayaan serta kemakmuran yang luar biasa oleh karena menguasai laut. Kerajaan Sriwijaya misalnya. Kekuatan maritimnya ternyata mampu membuat kerajaan tersebut menjadi kerajaan besar dan luas dan mampu menaklukkan dan mempersatukan kerajaan-kerajaan yang ada disekitarnya.
Dengan demikian, tidak salah lagi kalau saat ini kerajaan tersebut dijuluki sebagai negara nusantara yang pertama di Indonesia. Mengingat luasnya wilayah kekuasaannya dan kemampuannya untuk mempersatuka seluruh wilayahnya.
Haruskah Indonesia Menjadi Negara Maritim?
Fakta berbicara, bahwa Indonesia adalah negara kepulauan yang terbesar di dunia. Bahkan Indonesia memiliki 17 ribu pulau, mulai dari pulau yang besar hingga terkecil. Bukan itu saja, wilayah lautan Indonesia yang begitu luas, yang mencapai 70% dari keseluruhan wilayahnya, maka menjadi negara maritim adalah suatu hal yang mutlak. Belum lagi kekayaan alam dari laut yang begitu melimpah, serta rawannya konflik perbatasan dengan negara tetangga bila kita lebih serius dan tegas menangani masalah laut kita.
Saya jadi ingat dengan seorang tokoh bangsa ini, Juanda, seorang perdana menteri di era demokrasi liberal (1957-1959). Beliau begitu gigih memperjuangkan wilayah laut Indonesia. Dia bahkan berhasil memperjuangkan dan mendeklarasikan wilayah laut kita hingga 12 mil dari diukur terhitung dari garis pangkal. Deklarasi yang dimaksud adalah Deklarasi Juanda yang dikeluarkan tanggal 13 Desember 1957.
Artinya dengan deklarasi tersebut wilayah laut kita semakin bertambah. Bukan itu saja, pulau-pulau kita miliki juga semakin banyak karena deklarasi tersebut. Sangat berbeda ketika wilayah laut kita terdahulu hanyalah 3 mil dari garis pangkal berdasarkan Territorialle Zeen Maritim Kringenitalie Ordonantie 1939. UU wilayah laut dimasa kolonial Belanda.
Selanjutnya, arti penting deklarasi tersebut bagi bangsa kita adalah untuk menjadikan kita menjadi negara yang berdaulat atas perairan laut serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Disamping itu, mampu mewujudkan satu kesatuan wilayah yang utuh walaupun terpisah oleh lautan. Untuk itulah kita harus konsisten mempertahankan negara kita sebagai negara maritim.
Komitmen Pemerintah Untuk Mewujudkan Poros Maritim
Pada situs presidenri.go.id setidaknya ada satu pernyataan yang membuat saya optimis dengan kehebatan bangsa kita kelak di sektor kemaritiman. “Pusat gravitasi geo-ekonomi dan geo-politik dunia sedang bergeser dari Barat ke Asia Timur, negara-negara Asia sedang bangkit. Momentum ini menunjang cita-cita Indonesia sebagai poros maritim dunia”
Dalam mewujudkan sebagai negara poros maritim dunia, maka Presiden Jokowi pun memaparkan lima pilar utama mewujudkan cita-cita tersebut.
Pilar pertama, yaitu pembangunan kembali budaya maritim Indonesia. Hal ini mengingat bahwa negara kita terdiri atas 17 ribu pulau, ini adalah sebagai identitas dan kekayaan yang luar biasa demi kemajuan bangsa.
Pilar kedua, komitmen menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut melalui pengembangan industri perikanan dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama.
Pilar ketiga, komitmen mendorong pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun tol laut, pelabuhan laut, logistik, dan industri perkapalan, serta pariwisata maritim.
Pilar keempat, berhubungan dengan agenda pembangunan tersebut, kita harus bersama-sama menghilangkan sumber konflik di laut, seperti pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut.
Pilar kelima, sebagai negara yang menjadi titik tumpu dua samudera, Indonesia berkewajiban membangun kekuatan pertahanan maritim.
Untuk itu pemerintah saat ini pun telah menyusun agenda prioritas pemerintah di bidang kemaritiman yaitu mengamankan kepentingan dan keamanan maritim Indonesia khususnya batas negara, kedaulatan maritim, dan sumber daya alam. Serta meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya dengan membangun 10 pelabuhan baru dan merenovasi yang lama.
Tidak diragukan. Simbol komitmen tersebut telah terlihat sejak pasangan Jokowi-JK memilih pidato kemenangan di atas sebuah kapal (Penishi). Ini adalah awal keseriusan untuk menjadikan Indonesia menjadi poros maritim dunia.
Sebagai masyarakat dan warga Indonesia, kita berharap apa yang telah dicita-citakan dan telah mulai oleh dilakukan oleh pemerintah dapat terwujud. Kita menjadi bangsa yang berdaulat melalui kekuatan maritim, hasil alam laut bisa berkelanjutan demi anak cucu, serta meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Sehingga kita pun dapat berkata bahwa laut adalah masa depan kita.
Semoga.
Sumber referensi :
http://maritim.go.id/program-kerja/
http://presidenri.go.id/prioritas/maritim.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H