Mohon tunggu...
Thuluw Muhlis Romdloni
Thuluw Muhlis Romdloni Mohon Tunggu... lainnya -

Bukan penulis, hanya orang narsis dan numpang eksis :D www.senjasagarmatha.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Wajah Gaza dan Syria di Film The Hunger Games: Mockingjay Part 1

14 Desember 2014   02:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:21 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah banyak yang mereview film The Hunger Games: Mockingjay part 1. Berserakan di mana-mana. Klik saja di google. Bagus-bagus. Ada yang fasih mengkritik—yang justru kadang membuat orang makin penasaran.  Ada yang memuji habis-habisan (seolah dapat komisi dari departemen promosi film tersebut). Intinya, semua bikin kita tertarik datang ke bioskop. Bukan cuma dateng  tentunya, tapi juga beli tiket :-)

Dari situlah, saya tidak akan mereview film yang dibintangi Jennifer Lawrence itu. Tidak akan ikut mengkritisi—mencari celah-celah yang bisa dijadikan bahan kritikan. Tidak akan pula berbusa memujinya—karena itu artinya saya keracunan. Toh saya masih jauh dari kritikus film. Dan tentu tidak perlu mengurai detil alur cerita di film tersebut. Bukan karena menghindari komentar yang menyebut tulisan saya spoiler (saya sendiri tidak doyan membaca tulisan begitu), aduh, bagaimanapun spoiler itu melumat kenikmatan kita menikmati film atau buku kan :-)

Jadi, lewat tulisan ini. Saya hanya ingin berbagi pengalaman menonton The Hunger Games: Mockingjay part 1.

Saya termasuk yang menunggu tidak sabaran film ini. Bagi saya, The Hunger Games memiliki ide cerita yang unik, orisinil. Itu yang membuat saya jatuh cinta dengan sajian cerita Suzanne Collins. Efek ketidaksabaran tersebut bukan lantas membuat saya melesat ke bioskop di hari pertama tayang. Karena kesibukan kerja dan kuliah, baru di minggu kemarin saya dan beberapa teman kesampaian menonton.

Sejak awal film berjalan, saya cukup bisa menikmati alurnya. Distrik 13 yang pada film sebelumnya diceritakan telah musnah, digambarkan masih “utuh”. Masyarakat Distrik 13 hidup di sebuah ruang bawah tanah. Tempat yang memang bukan dirancang untuk “bersenang-senang” menikmati hari-hari. Hanyalah tempat “bersembunyi” orang-orang yang menyimpan harapan atas kebebasan hidup. Tentang Distrik 13 ini, rasa penasaran saya terbayar sudah. Karena di akhir film bagian kedua: Catching Fire yang rilis tahun lalu, kita sudah diberi bocoran tentang “utuhnya” Distrik 13 dari percakapan Gale dan Katniss.

Film ini mulai mencuri emosi saya, saat Katniss meminta izin keluar dari Distrik 13. Bukan untuk mencari udara segar ya—karena sepanjang adegan di Distrik 13 saya bisa merasakan sumpeknya tinggal di ruang bawah tanah tanpa terpaan matahari dan langit biru yang memayungi. Katniss hanya ingin melihat distrik 12, kampung halamannya. Tempat yang ia dengar sudah luluh lantak dihajar pesawat-pesawat Capitol, sesaat setelah pertandingan Quartel Quell mengalami kericuhan.

Pada adegan itulah, saat Katniss Everdeen menginjakkan kaki di tanah kelahirannya, saat Katniss terguncang menyaksikan pemandangan di hadapannya, langsung terbetik di benak saya, bahwa saya tidak (saja) sedang melihat Distrik 12 luluh lantak, tapi saya sedang melihat wajah Gaza, saya sedang melihat wajah Syria. Setidaknya dua negeri itu yang selama ini saya fahami tengah bergejolak. Saya saksikan kebiadaban menggelar pertunjukan akbar. Saya dengar rintihan pilu terbawa desau angin dari celah puing yang berserakan. Seolah-olah tidak percaya, semua itu ulah manusia. Seolah-olah tidak percaya, ada manusia-manusia yang " terhibur" dengan porak porandanya dunia.

Katniss menyaksikan Distrik 12 yang hancur lebur (sumber: Lionsgate)

Duh Gusti.

Yang dirasakan Katniss Everdeen saya rasa sama persis dengan yang dirasakan anak-anak Syria melihat negerinya hancur. Yang kemudian muncul di jiwa Katniss saya rasa sama persis dengan jiwa orang-orang Gaza yang terkobar menyerukan perlawanan; tumbangkan tirani, lawan segala bentuk penjajahan negeri.

Pada scene selanjutnya, Katniss dan beberapa rekan mengunjungi Distrik 8. Distrik yang sudah sekarat. Banyak masyarakat terluka akibat imbas kebiadaban Capitol. Mereka dirawat di rumah sakit darurat—sebuah ruang yang tidak layak diantara reruntuhan bangunan. Satu lagi pemandangan mengiris hati membuat Katnis tergagap. Tak selang berapa lama, tanpa siapapun menduga, Capitol mengirim pesawat-pesawat tempur, menyerang Distrik 8. Sasaran utama mereka adalah memusnahkan rumah sakit darurat, melenyapkan orang-orang yang menemukan secercah harap sesaat setelah kehadiran Katniss.

1418472647911836578
1418472647911836578
Wajah Gaza (sumber: Reuters-Suhaib Salem)

Suara bedebam pecah ke langit. Api membumbung mengurai asap hitam tebal. Melihat itu, Katniss tergugu, tak bisa berbuat banyak demi menyelamatkan orang-orang di Rumah Sakit Darurat. Lagi-lagi saya terlempar ke Gaza, ke Syria. Para penjajah dan perusuh memiliki rekam jejak yang sama. Mengebom orang-orang yang tengah berlindung. Tanpa ampun. Tak peduli ribuan anak kecil mati terbakar, ribuan wanita dan lansia terpanggang.

Duh Gusti.

Saya lantas membenak, apakah cuma saya yang terlintas Gaza atau Syria atau negeri-negeri teraniaya lain saat menyaksikan adegan The Hunger Games: Mockingjay itu. Saya juga membenak, apakah Suzanne Collins (tentu juga sang sutradara Francis Lawrance yang menuangkan isi novel dalam bentuk visual) sengaja menggambarkan adegan tragis dalam novelnya untuk mengingatkan orang-orang tentang “negeri-negeri teraniaya”. Menurut informasi, si penulis novel memang terinspirasi  salah satu tayangan televisi tentang invansi Amerika ke Irak sehingga ia menulis novel dengan aroma  semacam ini. Jika saja “tujuannya” memang itu, semoga banyak diantara jutaan penonton di seluruh dunia yang menyadari, bahwa di dunia nyata, ada tanah-tanah senasib Distrik 12 atau Distrik 8. Tanah yang dibasahi tangis, tanah yang disirami darah, tanah yang dirampas daripadanya nafas kemerdekaan dan keadilan.

14184727392046092665
14184727392046092665

Seorang perempuan menatap pilu puing dan reruntuhan di tanahnya (sumber: Eloisa d’Orsi)

Dari sana, semoga akan tergugah untuk membuka mata. Menyululut api kemanusiaan. Sehingga akan terlihat mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang harus dibela dan mana yang harus dikecam. Saya rasa, dengan keyakinan apapun, manusia selalu memiliki mata hati yang bersih. Mata hati yang mampu menyingkirkan segala belenggu, yang berbisik jujur, yang berpandangan jernih.

Ah, mungkin beginilah kesan saya menyaksikan The Hunger Games: Mockingjay part 1. Dan kesan setiap orang pasti bermacam-macam usai menonton. Yang tak punya kesan pun pasti juga ada ya. Itu tuh, yang tidur sepanjang film main :-)

The last—agak sedikit keluar dari jalur—film ini memiliki sisi istimewa; satu diantaranya adegan Katniss menyanyi lagu The Hanging Tree. Suka banget! Tapi ada juga sih satu-dua adegan yang saya keluhkan. Tapi ogah saya share di sini. Temukan saja sendiri.

Salam Akhir Pekan.

*Film ini saya beri rating 8/10


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun