Mohon tunggu...
T.H. Salengke
T.H. Salengke Mohon Tunggu... Petani - Pecinta aksara

Ora et Labora

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Ketika Manusia Falsifikasi Sains dan Agama

16 Mei 2022   07:55 Diperbarui: 16 Mei 2022   09:08 750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Dictio Community

Karl Pooper menyebutkan bahwa salah satu ciri science adalah adanya prediksi atau hipotesis yang falsifiable. Bagaimana dengan agama? Apakah dengan demikian agama bisa disebut non-science, menurut sifat demarkasi Popper tersebut?

AGAMA didefinisikan dalam dua bagian, yakni agama samawi yang diturunkan dari langit melalui wahyu Allah dan agama ardhi, yakni agama yang berkembang berdasarkan budaya dan pemikiran seseorang di muka bumi. Namun demikian ada juga yang mendefinisikan agama berdasarkan pandangan lain seperti mengikut wilayah di mana agama itu lahir, yakni agama Semitik rumpun Arab-Yahudi dan agama Timur.

Sejarah pergulatan sains dan agama pada masa Yunani, masa renaisans, dan masa modern senantiasa terjadi sejak zaman lampau hingga modern ini. Apalagi ketika fisikawan dunia, Stephen Hawking, melalui bukunya The Grand Design dengan lantang mengatakan bahwa dunia bukan diciptakan oleh Tuhan. Pernyataan Stephen Hawking tentu menimbulkan reaksi dari berbagai pemuka agama Islam, Katolik, dan Protestan.

Sain yang didasari dengan konsep rasional empiris tak seharusnya semakin jauh dengan agama, karena apa yang dijelaskan secara tersurat dan tersirat dalam agama (Islam) misalnya, tak semuanya harus dijawab secara empiris, tetapi benar-benar dengan keyakinan (iman). Contoh kasus pada kisah Ashabul Kahfi yang tetap hidup bertahun-tahun dalam gua, peristiwa Isra' dan Mi'raj nabi Muhammad, dan berbagai kisah lainnya yang tetap bersinggungan dengan sains.

Agama dan Sains

Agama Islam membahas sains baik dalam kitab suci al-Qur'an maupun hadis, seperti pertemuan dua laut, luar angkasa, rotasi planet, hitungan tahun, khasiat madu, kronologis kejadian manusia, dan lain sebagainya. 

Demikian juga dengan hadis yang sangat detail menjabarkan kandungan al-Qur'an terkait materi sains, salah satu contohnya porsi makanan, air, dan udara. Materi sains dibahas dengan gamblang dan tidak terbantahkan.

Falsifikasi Agama

Dalam Islam terdapat ayat tanziliyah (wahyu) yang turun dari langit dan kauniyah (alam). Semunya boleh disangkal, hanya saja sejauh mana manusia mampu menyangkal kebenaran Allah, khususnya ayat tanziliyah. Demikian juga dengan ayat kauniyah boleh disangkal, namun sejauh mana manusia dapat melahirkan teori-teori sendiri tentang alam semesta. 

Rekonstruksi metodologi riset dalam rangka pengembangan ilmu berbasis agama sangat mendesak untuk dijalankan supaya menjawab berbagai keraguan terkait sains dan agama. Hal ini sekaligus dapat membantah kekhawatiran akan pudarnya peran nilai agama yang sebenarnya justru akan semakin kuat eksistensi agama dalam sains bila dijalankannya riset-riset ilmiah.

Dalam Islam, terkait ayat kauniyah, dengan jelas disebutkan dalam al-Qur'an untuk manusia berpikir dan mempelajarinya semua rahasia yang tersirat dan tersurat sebenarnya. Contohnya kejadian rotasi bumi yang berpusat pada matahari sehingga menyebabkan siang dan malam, adanya perhitungan tahun, keberadaan planet, dan kondisi luar angkasa. Semuanya disebutkan sebagai media berpikir (tadabbur). 

Kalsifikasi Karl Popper sangat baik dan sesuai untuk diterapkan dalam berbagai materi keilmuan dalam agama Islam.Walau demikian, gagasan Poppers yang menitikberatkan keilmuan pada pengujian tentu tak bisa diberlakukan dalam agama yang sering terbentur dengan hal-hal yang cukup dipahami dengan keyakinan (iman).

Falsifikasi Metode Ilmiah (Sains)

Berbeda halnya antara falsifikasi sain dan agama. Dalam perkembangan metode dan teori keilmuan oleh manusia, prinsip falsifikasi berperanan penting dalam memperkuat teori ilmiah dan juga melahirkan teori-teori baru. Yang pasti untuk melihat garis batas antara science dan pseudo-scinece. 

Oleh karena itulah Karl Popper melalui bukunya Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (1962) dengan tegas menjelaskan demarkasi dalam sains, yaitu batas atau ciri apa yang membedakan antara science (ilmu) dan pseudo-science (ilmu semu). 

Alasanya di atas, bahwa tidak ada teori yang sempurna. Oleh sebab itulah bisa disangkal, bahkan disalahkan dengan riset ilmiah. Menurut Popper bahwa hal tersebut tidak dapat dijadikan sebagai standar demarkasi. Apa yang disampaikan Popper melalui konsep yang dikenal Rasionalisme-Kritis tersebut telah memperkokoh perkembangan ilmu pengetahuan abad ke-20.

Diakui bahwa rasionalisme kritis dan metode falsifikasi Popper secara langsung telah mengajarkan kita semua bahwa kebenaran pada manusia berciri relatif. 

Inilah yang dimaksud perlu ada pembuktian dan bahkan bisa disalahkan. Kebenaran berciri relatif menurut Popper tidak dalam pengertian bahwa semua klaim kebenaran sama nilainya, namun dalam semua klaim itu pasti ada kekeliruan yang bisa diperbaiki. Oleh karena itulah perlu adanya keterbukaan dalam riset dan kritik untuk bisa saling merevisi. 

Agama samawi dan ardhi bisa saja disangkal karena buktinya banyak manusia yang menyangkalnya. Contoh: penganut sebuah agama akan menyangkal kebenaran agama lain selain agama yang dianuti. Biasanya keyakinan lahir dari sangkalan-sangkalan yang dikemukakan. Ketika sangkalan tidak berhasil, maka orang tersebut bisa berbalik meyakini apa yang sebelumnya disangkalkan.

Apa yang dikatakan Popper terkait ciri sains adalah prediksi atau hipotesis yang bisa saja disangkal atau disalahkan karena teori sains ciptaan manusia yang tingkat kebenarannya perlu diuji dan terus diuji untuk mencapai kebenaran yang diterima umum. 

Ketika materi sains dalam Islam yang dibahas lewat al-Qur'an dan al-Hadis tidak melalui ciri tersebut, bukan berarti agama (Islam) tidak saintifik, tetapi karena apa yang dibahas dalam Islam sudah menjadi sebuah kebenaran yang tidak terbantahkan oleh manusia. Jadi ciri sains Popper itu berlaku pada teori yang dibuat oleh manusia, bukan penjabaran yang terkandung dalam kitab suci.

Penjabaran sains dalam agama (Islam) bisa saja difalsifikasi, karena konsep falsifikasi bukan saja pembuktian sesuatu yang salah untuk dicari kebenarannya, tetapi juga pembuktian sebuah kebenaran supaya lebih menguatkan keyakinan manusia tentang keterangan-keterangan yang terkandung dalam al-Qur'an dan al-Hadis. 

Jadi penjelasan sains dan agama hendaknya saling melengkapi sehingga terciptanya pemikiran-pemikiran yang positif dalam memecahkan persoalan empiris.

Semoga bermanfaat.

KL: 16052022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun