Mohon tunggu...
T.H. Salengke
T.H. Salengke Mohon Tunggu... Petani - Pecinta aksara

Ora et Labora

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Seloto, Benteng Terakhir di Sumbawa, Saksi Perjuangan "Lalu Unru" Menentang Belanda

22 November 2017   20:08 Diperbarui: 23 November 2017   15:37 4994
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peta Perang Kemutar Telu. Dok. Swartz 1908

Desa Seloto terletak sekitar 10 Km dari pusat Kota Taliwang sebagai Ibu Kota Wilayah Kesultanan Sumbawa Kedatuan Taliwang sebelum jatuh di tangan pemerintahan Kolonial Belanda 1930. Di Seloto, sebuah perkampungan masyarakat yang awalnya dihuni oleh keturunan bangsawan Kedatuan Taliwang dan juga para pejuang Kemutar Telu yang enggan berkompromi dengan penjajah Belanda.

Seloto adalah benteng alam tempat persembunyian para pejuang tanah "Kemutar Telu." Dari sanalah para pejuang merancang perlawanan terhadap penjajah Belanda.

Kelompok masyarakat ini terbentuk di bagian timur Lebo atau danau besar yang menghubungkan antara wilayah Taliwang, Meraran, Air Suning, Seran, Seteluk dan Seloto. Diperkirakan orang-orang "Kemutar Telu" mulai mendiami wilayah Seloto sejak 10 generasi yang lalu yang tidak terpisahkan dari perangkat adat Kedatuan Taliwang.

Desa terpencil dan tersembunyi itu, dikelilingi oleh gugusan pegunungan sehingga sulit sekali penjajah Belanda dan antek-antek Belanda untuk mengesan keberadaan dan aktivitas masyarakat di situ. Seloto termasuk daerah yang subur, suhu udaranya yang sejuk, dari tiap gunung terpancar mata air yang mengalir bak sungai kecil yang jernih, di dalamnya banyak ikan, kepiting dan udang. 

Sungai kecil yang oleh masyarakat setempat disebut "erat" bermuara ke sungai utama yang melewati pinggir desa Seloto. Sebuah desa yang asri, dengan suasana kehidupan masyarakat yang solid memegang teguh adat istiadatdan syariat Islam. Pada umumnya, masyarakat Seloto bekerja sebagai petani.

Latar belakang nama Seloto
Karena lokasi perkampungan itu hanya satu, maka diberilah nama "Seloto" yang diambil dari kata "se" artinya satu, dan "loto" yang artinya beras. Jadi secara harfiah, Seloto bermasud sebiji atau sebutir beras, merupakan terminologi yang memberi maksud satu desa atau satu kelompok masyarakat yang mendiami wilayah terpencil tanpa ada hubungan transportasi khusus ke daerah lain secara komersial.

Di zaman kolonial, para pejuang banyak bersembunyi di Seloto dan dari sana sekaligus menyusun strategi perlawanan terhadap penjajah yang menguasai wilayah yang Kemutar Telu. Sejak awal, karakter masyarakat Seloto adalah berpegang teguh dengan perinsip dan tidak mudah terpengaruh dan berkompromi dengan penguasa dan penjajah yang zalim.

Salah satu tokoh sentral atau pejuang di Seloto adalah Papun Ja'far. Beliaulah yang mengetuai perjuangan masyarakat setempat dalam melawan Belanda ketika bangsa kolonial itu dapat mengesan keberadaan masyarakat Seloto yang terkenal enggan mematuhi kehendak Belanda dan penguasa setempat yang tidak sesuai dengan syariat agama dan adat istidat yang dianuti oleh masyarakat Seloto.

Di awal terbentuknya masyarakat Seloto,desa itu bisa dikatakan tidak memiliki akses kendaraan. Hal tersebut disengaja supaya pihak luar tidak mudah mengesannya. Untuk pergi ke Seloto, hanya bisa menelusuri jalan setapak dengan menunggang kuda. Akses hubungan antara pejuang di Seloto dan pejuang dari luar Seloto hanya dengan mengendarai kuda-kuda perang yang hebat.

Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa situasi seperti ini disengaja supaya Belanda tidak menemukan keberadaan masyarakat Seloto. Dalam waktu yang cukup lama, akhirnya Belanda dapat menemukan keberadaan Seloto lewat mata-mata yang tertangkap dan dipaksa berbicara oleh Belanda.

Papun Ja'far, pejuang dari Seloto
Dalam cerita para sepuh Seloto yang saya peroleh tahun 1980 silam, ternyata di Seloto ada seorang pejuang bernama Papun Ja'far. Beliau merupakan lelaki yang tangguh menunggang kuda dan sangat pemberani. Papun Ja'far dipercayai memiliki ilmu bertarung dan memainkan senjata seperti tombak dan pedang yang sangat hebat.

Papun Ja'far menghimpun prajuritnya dan mengadakan latihan perang di sebuah gunung yang tidak jauh dari Desa Seloto yaitu "Olat Jaleka". Puncaknya yang mereka sebut sebagai "Sampar Jaleka" merupakan tempat untuk mengadakan pertemuan dengan para pejuang dari daerah lain di Kemutar Telu, karena di samparatau puncakbukit itu, mereka bisa lepas pandang ke arah sekitar Lebo seperti Taliwang dan daerah sekitarnya untuk memantau pergerakan aktivitas penjajah.

Perjuangan terakhir Lalu Unru
Lalu Unru adalah anak dari Mangkubumi Kesultanan Sumbawa Kedatuan Taliwang yang memiliki nama lengkap I Mappatunru (Lalu Unru) bin I Mannawari Daeng Manggalle Karaeng Panaikang (Lalu Alle). 

Lalu Unru yang juga keponakan Sultan Sumbawa Datu Taliwang I Pangurisang Daeng Paewa Karaeng Bontoa (Lalu Paewa) bin Mahmud Daeng Sila Karaeng Barrowanging Datu Jereweh Sultan Sumbawa. Jauh sebelum perang Taliwang 1908, Kondisi Kedatuan Taliwang terus mengalami penekanan dari pihak Belanda sejak 1847 . Peperangan Taliwang yang dipimpin Lalu Unru terjadi 1908 akibat memuncaknya tekanan Belanda.

Papun Ja'far memiliki hubungan yang erat dengan Lalu Unru, sang pejuang tersohor di seluruh wilayah Kedatuan Kemutar Telu. Antara Papun Ja'far dan Lalu Unru sering bertemu di tempat khusus di Sampar Jaleka, yang dijadikan markas latihan prajurit dan juga menyusun strategi perang. Selain itu, mereka mengelak terjadinya peperangan di dalam perkampungan karena akan jatuhnya korban jiwa dari mereka yang lemah seperti orang tua, perempuan, dan anak-anak. 

Oleh karena itu, musuh atau orang asing yang datang ke wilayah tersebut akan dicegat di jalan setapak seperti "tengkal," yang posisinya persis di ujung utara Olat Jaleka.

Aksi Lalu Unru dan Papun Ja'far telah mengganggu rencana Belanda dalam upaya menguasai wilayah Kemutar Telu. Oleh karena itu, Lalu Unru dan Papun Ja'far menjadi buruan serdadu Belanda. Oleh mata-mata Belanda, diketahuilah lokasi persembunyian Lalu Unru dan prajurit perangnya yaitu di Seloto. 

Maka suatu saat pasukan Belanda datang ke Seloto untuk menangkap Lalu Unru dan menghabisi prajurit-prajuritnya. Namun Lalu Unru dan Papun Ja'far tak gentar sama sekali. Seperti strategi perang yang telah mereka atur, serdadu Belanda yang juga dibantu oleh pribumi yang mendukung Belanda dicegat dan dipancing ke Selak Tepek yaitu area terbuka yang sempit antara Olat Jaleka dan Olat Purang Bai. Maka terjadilah perang yang dahsyat antara pasukan Belanda dan pasukan Lalu Unru yang bergabung dengan pasukan Papun Ja'far.

Pertempuran tersebut terjadi di "Selak Tepek" yaitu area persawahan antara Olat Purang Bai dan Olat Jaleka sehingga penjajah tidak bisa mengesan keberadaan sebenar letak area perkampungan Desa Seloto yang menjorok kearah utara dari lokasi perang.

Dari informasi itu, diketahui bahwa Lalu Unru tewas oleh timah panas yang menembusi tubuh Lalu Unru. Kuda perang yang ditunggangi Lalu Unru juga tertembak dan tersungkur bersama tuannya. Selain Lalu Unru, banyak juga para prajurit pejuang yang tewas ketika itu baik prajurit Papun Ja'far maupun prajurit Lalu Unru. 

Dari cerita yang terhimpun, jenazah Lalu Unru dimakamkan di Sampar Olat Jaleka bersama kuda tunggangannya. Semua peralatan perang baik yang dipakai Lalu Unru maupun yang ada pada kuda perangnya, yang terbuat dari emas dan tembaga murni juga dimasukkan ke dalam liang yang dalam. Agar aman, para prajurit menutup kuburan tersebut dengan batu besar, selain untuk mengelabui penjajah akan keberadaan kuburan tersebut.

Para prajurit Lalu Unru dan Raden Jaleka yang gugur dalam pertempuran tersebut dimakamkan secara terpisah yaitu di "Olat Purang Bai,"sebuah gunung kecil yang berada di tengah-tengah area persawahan sekitar dua kilo meter dari Olat Jaleka. Hal ini juga supaya makam Lalu Unru tidak mudah dikesan oleh orang-orang yang memiliki kepentingan dan niat yang tidak baik seperti aktivitas komersial dan juga pemujaan yang berbau khurafat.

**

Lalu Unru sangat dihormati oleh masyarakat Seloto, terutama oleh prajurit Papun Ja'far. Orang Seloto juga memanggil Lalu Unru dengan sebutan "Raden" yang bermaksud orang yang dihargai dan dipanuti. Karena di "Sampar Jaleka" telah dimakamkan jasad Lalu Unru, maka puncak gunung itu disebut dengan "Puncak Raden Jaleka," dan gunungnya disebut dengan Olat Raden Jaleka.

Lalu Unru merupakan tokoh sentral dan pejuang hebat menentang penjajah Belanda di Pulau Sumbawa. Sangat direkomendasikan supaya Lalu Unru mendapat penghargaan yang layak dari Pemerintah Indonesia dengan mengesahkannya sebagai Pahlawan Tanah Sumbawa. Hal ini sangat penting supaya masyarakat menghargai jasa para pejuang Tanah Sumbawa dan sekaligus dapat menjiwai semangat patriotismeLalu Unru dan juga para pejuang lain di Tanah Sumbawa.(*)

Tulisan ini dikembangkan dari catatan asal yang penulis susun pada tahun 2000 di Universitas Kebangsan Malaysia (UKM).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun