MALAM itu, bus tiba-tiba berhenti di tengah kota. Sopir dan kondekturnya yang berasal dari Jawa Timur meminta saya turun. Ternyata bus yang saya tumpangi dari kota Miri, Malaysia Timur sudah sampai tujuan di kota Bandar Seri Begawan, ibu kota negara Brunei Darussalam.
Waktu sudah masuk magrib, gema azan sudah berkumandang dan terdengar nyaring di kejauhan. Saya bergegas turun dari bus dan terbaca sebuah papan bertuliskan “Tamu Kianggeh” persis beberapa meter dari tempat bus berhenti. Selintas saya baca kemudian berlalu dengan rasa penasaran.
Malam itu saya belum tahu tentang apa itu Tamu Kianggeh. Saya segera nyeberang jalan menuju ke sebuah penginapan murah yang direkomendasikan oleh sang kondektur bus. Jaraknya tidak jauh, cukup jalan kaki sekitar lima menit. Harga penginapan sangat terjangkau, 80 Dollar Brunei atau sekitar 250 ribu rupiah per malam.
Setelah beres-beres, tanpa menuggu lama, malam itu juga saya langsung menuju masjid Sultan Omar Ali Saefudin yang selama ini selalu saya lihat di televisi. Di masjid yang terkenal dengan masjid kuba emas itu, saya bertemu warga Indonesia asal Mentok, Bangka Belitung dan Lombok, NTB.
Brunei di malam hari sangat sepi. Tidak ada hiburan malam, tidak ada pusat perbelanjaan yang gemerlap, padahal itu di tengah-tengah ibu kota negara. Jam 10 malam, jalan raya bisa dibilang kosong, nyaris tidak ada kendaraan layaknya di Kuala Lumpur, Bangkok, Singapura dan Jakarta yang tak ada matinya.
**
Pagi-pagi, kota Bandar Seri Begawan sudah mulai ramai. Jalan raya penuhi dengan kendaraan pribadi dan angkutan kota. Toko dan warung mulai beroperasi. Pasar dipenuhi oleh pengunjung dari seluruh pelosok daerah.
Dari hotel, saya menuju papan Tamu Kianggeh yang saya lihat tadi malam. Ternyata itu nama sebuah pasar tradisional yang tentu tidak beda jauh dengan pasar-pasar tradisional lain di negara ASEAN. Kita pasti sudah punya gambaran apa saja isinya.
Bagi penduduk setempat, Tamu Kianggeh memiliki sejarah tersendiri karena merupakan pasar tertua, sudah berdiri lama sejak tahun 1060an dimana Brunei saat itu masih merupakan wilayah protektorat Inggris.
Ternyata dalam bahasa Melayu Brunei, tamu berarti pasar. Jadi Tamu Kuanggeh artinya Pasar Kianggeh. Supaya tidak sia-sia, saya coba masuk melihat-lihat ke dalam pasar, melewati jembatan kecil. Kondisi Tamu Kianggeh cukup bersih dan rapih.
Di dalam pasar, saya langsung berhenti di gerai batu akik yang menjajakan berbagai jenis batu. Saya coba beli batu jenis lumut katanya lumut Borneo. Karena perut sudah lapar, Saya beli sarapan makanan khas Brunei Darussalam yaitu Nasi Katok yang tak jauh dari gerai batu akik. Nasi Katok harganya cukup murah 1 Dollar Brunei atau setara dengan Rp. 3,000.
Nasi Katok sangat terkenal di negeri Sultan Hassanal Bolkiah ini. Nasi dengan lauk sederhana hanya ayam goreng dan sambal. Sama terkenalnya dengan nasi uduk di Indonesia, nasi lemak di Malaysia dan Singapura.
Untuk ke dalam pasar, ada jembatan kecil tetapi banyak masyarakat ibu kota Brunei Darussalam bahkan dari daerah jauh menggunakan taksi air. Ongkosnya tergantung jauh dekatnya jarak tempuh. Tetapi lumayan murahlah.
**
Yang menarik dengan Pasar Kianggeh adalah banyak pedagang asal Indonesia. Penjual sayur mayur banyak warga Indonesia berdarah Bugis, Banjar dan Jawa. Tamu Kianggeh sudah menjadi sentra ekonomi orang Indonesia di Brunei Darussalam.
Orang Indonesia cukup menguasai nadi ekonomi di Brunei. Beberapa angkot yang saya naiki ternyata sopirnya orang Jawa. Saya makan di beberapa warung, menu-menu yang disajikan makanan Indonesia seperti ayam penyet, soto, bakso, gado-gado, rawon, dan pecel karena pemilik warung orang Lamongan, Solo, Magelang dan Semarang.
Ketika saya ke Warnet, petugasnya orang Sunda. Setelah solat di masjid Sultan Omar Ali yang terkenal dengan Masjid Kuba Emas, banyak sekali terlihat warga Indonesia. Saya coba tegur beberapa orang lelaki yang kedengarannya berbahasa Indonesia, ternayata mereka dari Madura, Bawean dan Sulawesi.
**
Brunei merupakan negara ASEAN yang tergolong memiliki wilayah yang kecil. Hanya 5.765 kilometer persegi yang dihuni oleh sekitar 470 ribu jiwa.
Sedikit masalah yang saya hadapi selama di Brunei Darussalam yaitu minimnya transportasi umum. Tidak ada kreta api, taksi pun sering menolak kalau kita ingin bepergian agak jauh dari pangkalannya. Mungkin sopirnya tidak terlau butuh duit dan tidak dikejar setoran. Tapi membawa taksi hanya iseng untuk mengisi waktu laung.
Bagaimanapun, Brunei adalah negara Kesultanan di wilayah ASEAN yang sangat menarik untuk dikunjungi.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H