Keesokan harinya, aku berdiskusi dengan kakak persoalan tersebut. Kami sepakat untuk meminta tolong Pak Lik, adik ipar Ibu, yang tinggal di kampung untuk meminta penjelasan dari tetangga yang dimaksud. Rupanya, Pak Lik tahu betul perkara itu karena ia turut mendampingi petugas pertanahan dan perangkat desa ketika pengukuran bidang tanah bertahun-tahun lalu.
Pak Lik menyelesaikan perkara itu dengan tangkas dan disaksikan tetangga yang lain dan Pak Haji. Urusan selesai. Alhamdulillah.
Dua minggu sebelum berpulang, Ibu meminta Bi Etin -- istri Pak Lik -- membelikan baju baru untuk dipakai saat pernikahan Jamil, keponakannya yang adalah anak Pak Lik.
"Memangnya Eceu mau ikut ke Tangerang?" tanya Bi Etin.
"Ya, kalau masih dikasih umur," jawab Ibu.
Bi Etin belum sempat membelikannya baju namun Ibu sudah keburu pulang. Hari itu, Sabtu pagi, 29 Oktober 2022 Ibu pulang dengan cara yang lembut, seolah malaikat sudah memberitahukannya terlebih dahulu, atau memang begitu cara Ibu mengeja kematiannya?
Di samping tubuh Ibu yang terbujur kaku, aku tak sanggup menahan tangis. Sungguh, aku sebenarnya ingin menangis lebih keras jika tak teringat ucapan Ibu pada malam sebelumnya, "semua ini ketentuan Allah, kita harus ikhlas."
Ketika kupandangi wajah Ibu yang tenang, mendadak terlintas pula dalam ingatanku sebuah nasihat dari Ali Bin Abi Thalib, "Ketahuilah, sesungguhnya Pemilik kematian adalah juga Pemilik kehidupan. Pencipta adalah Dia Yang Mematikan. Yang membinasakan adalah Dia Yang menghidupkan kembali. Dan Yang memberikan cobaan adalah Dia yang memberi keselamatan."
*
Seperti yang Ibu katakan kepada Bibi, akhir Bulan Oktober semua anak-anaknya pulang. Bukan untuk bercengkerama seperti biasanya, namun untuk mengantar Ibu ke pusaranya.
Innalillahi wainnailaihi roji'uun. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa Ibu, menerima amal ibadahnya dan menjadikan kuburnya sebagai taman surga.
***