Bayangkan, berbulan-bulan hujan turun menumpahkan cintanya pada bumi, menumbuhkan tanaman, menghidupkan lagi yang sekarat, membasahi tanah yang retak dan membasuhi kerongkongan bumi yang kerontang. Lalu, ketika Juni datang, dia harus pamit.
"Apa kau pikir begitu mudah menanggalkan cinta dan meninggalkan yang dicinta?"
Aku menggeleng.
Begitulah, maka hujan menumpahkan cintanya yang berat di bulan Juni. Hujan yang mengandung pesan bahwa ia begitu mencintai bumi dan, karenanya, ia akan kembali. Jika kau bisa mendengar ucapannya, dia berkata; tabahlah selama aku tak ada karena kehidupan akan menjadi lebih berat tanpa ketabahan. Maka, Juni adalah bulan cinta yang agung.
"Apakah ada yang lebih agung dari cinta yang memberi pengharapan dan mewanti-wanti?"
"Kalau begitu, kenapa Ayah tak menamaiku Hujan Bulan Juni saja daripada sekadar Juni?"
Ayah tergelak.
"Ayah tak sempat bertemu Sapardi waktu kau lahir, jadi Ayah tak bisa menamaimu begitu tanpa seijinnya,"
Kami pun tertawa.
Itulah ayahku, selalu menemukan makna pada setiap hal.
Dan, saat ini, aku merindukannya. Ini adalah hari keseratus Ayah berpulang. Aku mengenangnya bersama secangkir kopi hitam kesukaan Ayah. Kopi yang kuseduh sendiri tanpa perlu belajar menjadi barista.