"Serius Soeharto mundur?" tanyaku.
"Beneran mundur? kok bisa? Maju aja nggak pernah," timpal Anang, teman kami yang orang Sumbawa.
"Wis ta lah, ojok guyon ae," sergah Tomy. Sudah lah, jangan bercanda saja.
"Lho saya nggak becanda, ini serius, Soeharto kan memang nggak pernah maju. Yang ada, dia tuh didorong maju," sambung Anang.
"Cuk!" kami pun misuh berjamaah.
"Bener, rek.... Suharto ate mundur... Suharto mau mundur" ucap Rido dengan nafas masih tersengal-sengal.
Sebenarnya kami hampir saja meneruskan bermain bola, namun lambat laun kami mendengar suara riuh dari jalanan: "Reformasi! Reformasi! Merdeka!"
Setelah sempat saling berpandangan, kami pun sontak berlari pulang menuju rumah kos. Jarak lapangan IKIP Malang dengan kosan kami kurang lebih 700 meter. Kami harus menyeberangi Jalan Veteran sebelum masuk ke komplek rumah kosan kami di Gang Panjaitan. Beberapa tank dan truk militer masih berbaris di sepanjang Jalan Veteran.Â
Saya juga melihat beberapa mahasiswa berjalan berkelompok menuju ke arah kampus Universitas Brawijaya dan Universitas Muhammadiyah sambil tak henti-hentinya berteriak dan bernyanyi, larut dalam euforia.
Sesampainya di rumah kos, dua orang teman kami yang tidak ikut main bola nampak sedang duduk menonton televisi. Kami segera bergerombol di depan kotak gambar bergerak itu. "Soeharto lengser, rek!" seru salah satu kawan saya itu, Agus namanya.
"Lagi ate lengser opo wis mari?" Tanya Tomy. Baru mau lengser atau sudah?