Di tengah danau yang airnya keruh, kami duduk berdua di atas sampan. Aku dan saudaraku. Sejauh mata memandang, pepohonan dengan sulur-sulur akar yang menggantung dari dahannya, lalu jatuh mencium danau.
Tak ada angin. Kami yang bertelanjang, tiada sedikit pun merasakan dingin.
"Apakah kau masih ingat ucapan Bapak?" tanyanya.
"Tentang apa?"
"Tentang kita,"
"Tentu. Aku tak akan pernah melupakannya,"
Mendadak air danau bergelombang. Sampan kami bergoyang, dan kami berpegangan.
"Apa jadinya jika tiba-tiba air danau ini surut?" tanyaku ketika danau kembali tenang.
"Itu artinya kita akan berpisah,"
"Kita akan masuk ke pusarannya, dan membawa ke dalam cermin. Dan saat itu terjadi, itulah saatnya kita akan berpisah.
Aku diam.
"Dan itu artinya kau akan pelan-pelan melupakan percakapan kita dan ucapan Bapak," lanjutnya.
"Kau terlalu menganggapku lemah," timpalku.
"Tidak. Bukan seperti itu. Tapi kau akan segera menemukan keasyikanmu. Dan keasyikan adalah muslihat yang menipumu. Saat itu terjadi, kau akan melupakan apa yang telah terjadi selama ini,"
"Kau," lanjutnya, bagaikan mata yang lama terpejam, yang hanya melihat gelap, kemudian terbuka dan melihat segala sesuatu. Kau terpukau oleh segala sesuatu yang tak pernah kau lihat sebelumnya. Hingga kau sibuk mengenalinya satu persatu sampai-sampai kau lupa mengenali dirimu. Kau mengambilnya satu persatu dari mereka yang menyenangkanmu. Kau makin jauh meninggalkan dirimu, makin tak mengenali dirimu. Jangankan mengingat aku, kesibukanmu itu akan membawamu makin melupakan dirimu dan Bapak.
Aku berusaha tersenyum sambil memeluknya.