Mohon tunggu...
thrio haryanto
thrio haryanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Penikmat Kopi Nusantara

Menyukai kopi tubruk dan menikmati Srimulat. Pelaku industri digital. Pembaca sastra, filsafat, dan segala sesuatu yang merangsang akalku. Penulis buku Srimulatism: Selamatkan Indonesia dengan Tawa (Noura Book Publishing, 2018).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Zaman Terbolak-balik

2 Januari 2018   15:40 Diperbarui: 2 Januari 2018   16:17 1267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada yang menarik dari dua cuitan @srimulatism pada Senin, 1 Januari 2018. Yang pertama adalah cuitan yang dilontarkan pada pukul 20:44 WIB

Jaman wolak-walik.

Ngomong waton, dipuja-puja. Ngomong nganggo waton, dikuya-kuya.

Pada baris selanjutnya, masih dalam cuitan yang sama, akun twitter yang diikuti oleh lebih dari 604 ribu followers tersebut menampilkan terjemahan bebasnya dalam bahasa Indonesia. "Asal ngomong, dipuja-puja. Ngomong pakai landasan jelas, diolok-olok."

Cuitan kedua disampaikan pada pukul 21:51 WIB, masih pada tanggal yang sama.

Gepeng: Saya ini pernah bodoh

Asmuni: Pandai?

Gepeng: Belum pernah.

Asmuni: Hehe~ Jaman skrg (sekarang, pen.) orang model kamu itu banyak. Paribasane; blilu tau, pinter durung nglakoni (bodoh pernah, pandai belum mengalami). Hasile, kakehan cangkem kurang cangkruk!

Meskipun kedua cuitan tersebut disampaikan secara terpisah, tidak menggunakan fitur thread, namun keduanya memiliki hubungan yang erat. Cuitan kedua yang disampaikan menggunakan gaya khas -- dalam bentuk dialog -- srimulatism ini seperti ingin  memperkuat cuitan pertamanya.

Jaman wolak-walik

Wolak-walik dalam bahasa Jawa berarti terbolak-balik. Hitam jadi putih, putih jadi hitam. Benar nampak salah, salah nampak benar. Sebuah situasi yang dalam peribahasa Jawa digambarkan sebagai Dhandhang diunekake kuntul, kuntul diunekake dhandhang. Burung elang (hitam) dibilang bangau kecil, bangau kecil dibilang elang (hitam).

Cuitan @srimulatism tersebut menjadi menarik ketika kita mencernanya sambil mencermati situasi yang terjadi akhir-akhir ini. Di era media sosial yang memungkinkan informasi berseliweran tanpa kendali ini membuka peluang sangat lebar bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menyebarkan informasi palsu/bohong (hoaks) serta menyebarkan kebencian.

Celakanya, informasi palsu tersebut menyebar sangat masif dan bertubi-tubi. Informasi sekeliru apa pun jika disampaikan secara terus menerus bisa berubah menjadi informasi 'benar' alias dianggap benar.

Tampaknya, para pihak yang tidak bertanggung jawab tersebut tengah mempraktikkan teknik Paul Joseph Goebbels seorang Menteri Penerangan Publik dan Propaganda Nazi periode 1933 -1945. 

Teknik yang bernama Argentum ad nausem itu sejatinya sebuah teknik sederhana. Namun kesederhanaannya tidak lantas membuatnya menjadi tumpul. Sebaliknya, teknik yang juga dikenal dengan istilah Big Lie Technique itu sangat mematikan. Prinsip dari teknik ini adalah menyebarluaskan berita bohong sebanyak mungkin dan sesering mungkin hingga kebohongan tersebut dianggap sebagai suatu kebenaran.

Dan teknik itu menjadi semakin runcing dengan keberadaan media sosial. Kita tahu, siapa pun dapat membuat akun media sosial. Jika untuk membuat sebuah media massa tradisional -- seperti koran -- membutuhkan modal teramat besar, untuk membikin akun media sosial hanya membutuhkan alamat email, nomor handphone, dan koneksi internet. Jauh dari kata rumit dan mahal. Wal hasil, siapa pun bisa menjadi penerbit!

Sifat media sosial yang terbuka, siapa pun dapat mengunggah informasi dan siapa pun dapat mengomentari, menyukai, dan menyebarkannya, menjadikan informasi semakin gampang tersiar-luas. 

Ditunjang lagi oleh alam demokrasi yang menjamin kebebasan berpendapat maka jadilah barang itu. Yang salah diposisikan benar, yang benar diposisikan salah. Fakta dan data dinihilkan, angan-angan dan ilusi ditinggikan. Yang asal bicara (sepanjang sekubu) dipuja-benarkan, yang bicara menggunakan ilmu dan data (sepanjang beda kubu) dinisbikan, diolok-olok, dipojokkan, bahkan disingkirkan.

Kebisingan demi kebisingan terus lahir setiap hari, setiap jam, setiap detik. Akun-akun media sosial terus bermunculan dan berebut panggung, menarik perhatian, bergabung dengan pemikiran yang cocok lalu turut serta dalam gerakan rawe-rawe rantas memberantas yang tak sebarisan. Tak peduli ia mengerti betul atau tidak apa yang disampaikannya, yang penting lantang. Tak peduli ia memiliki ilmu atau tidak, yang penting berteriak. Salah benar urusan nanti, bahkan bukan urusan sama sekali.

Oalah, tobil, tobil! Benar-benar jaman edan!

Duh, Gusti Allah, selamatkan kami dari tipu daya Iblis yang menampakkan gelap seolah terang.

***

Jakarta, 2 Januari 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun