Mohon tunggu...
thrio haryanto
thrio haryanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Penikmat Kopi Nusantara

Menyukai kopi tubruk dan menikmati Srimulat. Pelaku industri digital. Pembaca sastra, filsafat, dan segala sesuatu yang merangsang akalku. Penulis buku Srimulatism: Selamatkan Indonesia dengan Tawa (Noura Book Publishing, 2018).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Majelis Kera

17 April 2017   11:44 Diperbarui: 17 April 2017   20:00 657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kera Hijau kemudian turun mimbar meskipun tetua memintanya untuk memaparkan lebih jauh tentang alasan penolakannya. Namu Kera Hijau bergeming, baginya semua jelas sudah. Tak ada yang perlu dijelaskan lagi.

Kini giliran Kera Putih yang mengambil podium, mewakili kelompok kera yang menerima teori Darwin.

“Saudara-saudaraku dalam kekeraan, baik yang sependapat maupun yang tidak, yang sekubu maupun tidak. Salam sejahtera untuk kita semua. Selama ini nenek moyang kami mengajarkan kepada kami untuk bersyukur dan berbangga karena kita telah melahirkan manusia. Mereka adalah keturunan terbaik yang pernah ada, hasil evolusi kera terbaik yang pernah tercipta. Mereka memiliki otak yang lebih besar daripada kita. Mereka memiliki rasa malu, dan dibekali agama sebagai pedoman hidup,”

“Yang karena otaknya itu, mereka memiliki akal dan kecerdikan untuk menciptakan kemudahan. Yang karena rasa malunya itu mereka menciptakan norma, yang karena agama itu mereka tahu tujuan hidup sesungguhnya. Kita harus bangga dan bersyukur atas itu semua,”

Sempat timbul keriuhan dari kubu Kera penolak Darwin sebelum ditenangkan kembali oleh tetua. Kera Putih diam sesaat. Rona wajahnya mendadak sayu, ia tertunduk sejenak lalu menarik nafas dalam-dalam sebelum kemudian menghelanya.

“Kami terus memegang dan meyakini pendapat nenek moyang kami itu. Namun kini, kami melihat manusia seperti mahluk berotak yang tak berakal budi. Mereka menciptakan teknologi untuk memudahkan hidup namun mereka kemudian terperangkap dalam lingkaran setan modernitas. Teknologi yang diharapkan membantu hidup malah kemudian mengikat kaki, tangan, dan pikiran mereka hingga mereka pun menjadi mahluk pemalas yang lebih suka mengistirahatkan otak, menyerahkan fungsinya kepada mesin, kepada algoritma yang ditanamkan pada perangkat-perangkat mereka,”

“Mereka bahkan menyimpan otaknya setiap kali berbicara agama. Padahal, salah satu alasan Tuhan menurunkan agama adalah karena manusia dibekali otak. Yang tak kalah memprihatinkan, mereka menggunakan agamanya untuk menghakimi agama lain. Sebagian dari mereka bahkan tanpa malu lagi mencuri jubah agung Tuhan, yaitu kesombongan,”

Semua kera, tanpa kecuali, tanpa pandang kubu, tanpa pandang bulu, takjim mendengar pidato Kera Putih.

“Tentang rasa malu, itu lebih memalukan,” lanjut Kera Putih, “Manusia yang dibekali rasa malu tak malu-malu lagi melakukan tindakan kotor. Bukannya mengurus, mereka yang mendapat amanah justru menguras kepercayaan yang diembannya untuk kepentingan diri sendiri dan golongannya. Mereka tetap tersenyum dan berkelit meskipun tertangkap tangan sedang mencuri. Padahal, kita sebagai kera pun harus diam-diam jika ingin mencuri meskipun kita tidak dibekali rasa malu,”

“Saudara-saudaraku dalam kekeraan, hari ini, di hadapan majelis tertinggi ini, ijinkan kami menyampaikan penyesalan pernah menerima pendapat Darwin. Kami menyesal pernah mengimani bahwa manusia adalah keturunan kami. Semoga nenek moyang kami memaklumi,” tutup Kera Putih.

Semua hadirin di majelis itu terpaku. Sunyi. Senyap. Semua terdiam tak percaya, tak terkecuali sang tetua. Ia hanya sanggup menggelengkan kepalanya, tak percaya atas apa yang baru saja didengarnya. Dia pikir Kera Putih yang mewakili kubu penerima Darwin akan berapi-api menyampaikan pendapatnya agar semua kera turut mengimani bahwa manusia adalah keturunan mereka. Namun ternyata tidak. Justru Kera Putih itu menyampaikan penyesalan kelompoknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun