Pagi baru saja melek. Sinarnya mengintip dari sela-sela pepohonan. Embun belum luruh dari pucuk dedaunan. Burung-burung berkicau bersahutan. Delapan ekor kera berjumpalitan dari satu pohon ke pohon lainnya pada delapan penjuru mata angin yang berbeda. Mereka membawa tugas untuk mengingatkan kera-kera lainnya agar segera berkumpul di majelis. Kera-kera yang masih tidur dibangunkan, yang masih nyantai disegerakan, dan yang sedang bersenggama dileraikan.
Ini adalah hari penting buat para kera. Hari dimana sebuah sikap akan ditetapkan dan dikitabsucikan. Hari dimana eksistensi mereka sebagai kera akan dinoktahkan.
Tetua kera berdiri di podium. Pandangan matanya disebarkan ke seluruh hadirin yang menyesaki majelis. Diangkatnya tangan kanannya untuk meredam keriuhan. Majelis pun mendadak senyap. Acara akan segera dimulai, tetua akan segera menyampaikan petuah.
“Saudara-saudaraku dalam kekeraan, salam sejahtera untuk kita semua. Apa yang akan kita bicarakan hari ini adalah sama dengan apa yang pernah dibicarakan oleh nenek moyang kita seratus tahun lalu,” Tetua membuka pidatonya, “Di tempat ini, di majelis ini pula nenak moyang kita berkumpul,”
“Dan selama seratus tahun itu pula kita, bangsa kera, terbelah dalam dua sikap, dalam dua kelompok, dalam dua isme,” lanjutnya, “Meskipun demikian kita harus bersyukur karena perbedaan tersebut tidak sampai membuat kita terpecah belah, tidak membuat kita saling mencaci dan memboikot satu sama lain,”
“Saudara-saudaraku dalam kekeraan. Seperti kita tahu, ada seorang manusia yang pernah berhujah bahwa mereka adalah keturuan kita. Manusia itu, Darwin namanya, telah dengan sepihak mengatakan bahwa manusia adalah hasil evolusi kita,”
Mendengar bagian ini, majelis tiba-tiba riuh oleh teriakan, “Huuuuu…..!” Tetua pun segera mengangkat tangan kanannya untuk meredam keriuhan tersebut.
“Saudara-saudaraku,” lanjut Tetua, “Karena pendapat itulah maka nenek moyang kita mewariskan perbedaan pendapat. Ada yang setuju, ada pula yang menolak. Perbedaan pendapat itu masing-masing punya argumen kuat hingga tak menemukan titik temu. Maka dibiarkanlah perbedaan itu secara turun temurun hingga ke anak, cucu, cicitnya. Dan sampailah ke jaman kita sekarang ini,”
“Hari ini, di majelis yang tertinggi ini, kita akan kembali menyikapi teori Darwin itu. Apakah kita akan menerima, menolak, atau membiarkan kondisinya seperti saat ini,” ucap Tetua kera yang rambutnya mulai memutih itu.
Sesuai undang-undang yang berlaku, Tetua kemudian mempersilahkan masing-masing kelompok untuk mengajukan juru argumen. Dari kelompok yang menolak Darwin dipilihlah seekor kera berambut hijau, dan dari kelompok yang menerima dipilihkan seekor kera putih.
Kera Hijau mendapatkan kesempatan pertama, “Saudara-saudaraku dalam kekeraan, baik yang sependapat maupun yang tidak, yang sekubu maupun tidak. Salam sejahtera untuk kita semua. Tidak ada yang perlu disampaikan panjang lebar lagi. Kami masih mengimani pendapat dari nenek moyang kami. Percayalah, kita tidak seburuk itu hingga kita memiliki keturunan manusia. Bagi kami, Darwin telah lancang berpendapat seperti itu tanpa bertabayun terlebih dahulu dengan kita. Maka, sekali lagi, kami tegas menolak pendapat Darwin. Kita tidak seburuk itu hingga memiliki keturunan manusia!”
Kera Hijau kemudian turun mimbar meskipun tetua memintanya untuk memaparkan lebih jauh tentang alasan penolakannya. Namu Kera Hijau bergeming, baginya semua jelas sudah. Tak ada yang perlu dijelaskan lagi.
Kini giliran Kera Putih yang mengambil podium, mewakili kelompok kera yang menerima teori Darwin.
“Saudara-saudaraku dalam kekeraan, baik yang sependapat maupun yang tidak, yang sekubu maupun tidak. Salam sejahtera untuk kita semua. Selama ini nenek moyang kami mengajarkan kepada kami untuk bersyukur dan berbangga karena kita telah melahirkan manusia. Mereka adalah keturunan terbaik yang pernah ada, hasil evolusi kera terbaik yang pernah tercipta. Mereka memiliki otak yang lebih besar daripada kita. Mereka memiliki rasa malu, dan dibekali agama sebagai pedoman hidup,”
“Yang karena otaknya itu, mereka memiliki akal dan kecerdikan untuk menciptakan kemudahan. Yang karena rasa malunya itu mereka menciptakan norma, yang karena agama itu mereka tahu tujuan hidup sesungguhnya. Kita harus bangga dan bersyukur atas itu semua,”
Sempat timbul keriuhan dari kubu Kera penolak Darwin sebelum ditenangkan kembali oleh tetua. Kera Putih diam sesaat. Rona wajahnya mendadak sayu, ia tertunduk sejenak lalu menarik nafas dalam-dalam sebelum kemudian menghelanya.
“Kami terus memegang dan meyakini pendapat nenek moyang kami itu. Namun kini, kami melihat manusia seperti mahluk berotak yang tak berakal budi. Mereka menciptakan teknologi untuk memudahkan hidup namun mereka kemudian terperangkap dalam lingkaran setan modernitas. Teknologi yang diharapkan membantu hidup malah kemudian mengikat kaki, tangan, dan pikiran mereka hingga mereka pun menjadi mahluk pemalas yang lebih suka mengistirahatkan otak, menyerahkan fungsinya kepada mesin, kepada algoritma yang ditanamkan pada perangkat-perangkat mereka,”
“Mereka bahkan menyimpan otaknya setiap kali berbicara agama. Padahal, salah satu alasan Tuhan menurunkan agama adalah karena manusia dibekali otak. Yang tak kalah memprihatinkan, mereka menggunakan agamanya untuk menghakimi agama lain. Sebagian dari mereka bahkan tanpa malu lagi mencuri jubah agung Tuhan, yaitu kesombongan,”
Semua kera, tanpa kecuali, tanpa pandang kubu, tanpa pandang bulu, takjim mendengar pidato Kera Putih.
“Tentang rasa malu, itu lebih memalukan,” lanjut Kera Putih, “Manusia yang dibekali rasa malu tak malu-malu lagi melakukan tindakan kotor. Bukannya mengurus, mereka yang mendapat amanah justru menguras kepercayaan yang diembannya untuk kepentingan diri sendiri dan golongannya. Mereka tetap tersenyum dan berkelit meskipun tertangkap tangan sedang mencuri. Padahal, kita sebagai kera pun harus diam-diam jika ingin mencuri meskipun kita tidak dibekali rasa malu,”
“Saudara-saudaraku dalam kekeraan, hari ini, di hadapan majelis tertinggi ini, ijinkan kami menyampaikan penyesalan pernah menerima pendapat Darwin. Kami menyesal pernah mengimani bahwa manusia adalah keturunan kami. Semoga nenek moyang kami memaklumi,” tutup Kera Putih.
Semua hadirin di majelis itu terpaku. Sunyi. Senyap. Semua terdiam tak percaya, tak terkecuali sang tetua. Ia hanya sanggup menggelengkan kepalanya, tak percaya atas apa yang baru saja didengarnya. Dia pikir Kera Putih yang mewakili kubu penerima Darwin akan berapi-api menyampaikan pendapatnya agar semua kera turut mengimani bahwa manusia adalah keturunan mereka. Namun ternyata tidak. Justru Kera Putih itu menyampaikan penyesalan kelompoknya.
Seekor kera berbadan besar kemudian berdiri, matanya menitikkan air mata haru. Sambil tersenyum, kera besar itu kemudian bertepuk tangan. Satu persatu kera-kera lain mengikutinya hingga semua hadirin di majelis itu memberikan standing ovation. Mata mereka berkaca-kaca penuh keharuan.
Bintaro, 17 April 2017
@thriologi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI