“Enam belas tahun. Dan itu bukan urusan Anda,” ucap polisi itu sekaligus menegaskan suatu perkara di luar perkara yang sedang diperkarakan.
“Bagaimana cara dia membunuh korbannya?” tanya polisi berusaha mengembalikan pembicaraan mereka pada jalur yang semestinya.
“Sepertinya lidah Anda tidak terlalu licin,” ucap si pelapor tak menjawab pertanyaan polisi.
“Apa maksud Anda?”
“Ah, saya hanya mengomentari,” jawab si pelapor, kemudian dengan sedikit berbisik dia melanjutkan, “atas nama pribadi.”
Polisi itu hampir kehilangan kesabarannya jika saja tak segera sadar bahwa ia sedang bertugas dan ia adalah seorang polisi. “Sebaiknya Anda menjawab pertanyaan saya. Bagaimana dia membunuh korbannya?”
Si pelapor menghela nafas. Belati yang semula di atas meja kini berpindah sudah ke dalam genggaman tangan kanannya. Kemudian ia menyondongkan badannya ke depan. Refleks, polisi itu memundurkan badannya. Gerakan keduanya seperti dua medan magnet sejenis yang saling bertemu.
“Aku adalah utusan Tuhan,” ucap si pelapor, “Ketahuilah, kematian adalah jalan terbaik bagi orang-orang baik agar tak terseret dalam keburukan dunia.” Mata lelaki itu mendadak berkilatan seperti mata kucing yang memantulkan cahaya di tengah kegelapan.
Bersamaan dengan akhir ucapan si pelapor, lampu ruangan Polsek seketika padam. Gelap. Senyap. Entah ke mana perginya suara.
Kurang lebih lima menit setelah kejadian itu, dua orang polisi datang memasuki ruangan. Salah satunya menyalakan lampu. Betapa kagetnya mereka ketika menemukan seorang rekannya duduk terpaku dengan tatapan mata kosong. Tiada siapa pun selain dia. Tiada darah setetes pun keluar dari tubuhnya. Pun, tiada lagi nafas di tubuhnya.
***