“Kita pilih hidup dalam kematian, atau mati dalam kehidupan; terserahku, terserahmu. Namun jika kau ingin menguasai salah satu – atau keduanya, maka kau harus berteman dengan Waktu: karena dialah penguasanya.”
Aku terhenyak membaca rentetan pesan pendek yang panjang itu. Berkali-kali kubaca pesan tersebut, berkali-kali pula dahiku berkerut mencoba memaknainya. Sebenarnya aku ingin menanggapinya namun kuurungkan. Aku malah terbawa dalam rasa penasaran, siapa sebenarnya si pengirim pesan itu. Maka kukirimlah pesan pendek kepadanya, “Maaf, Anda siapa ya?”
Sembari menunggu jawabannya, aku kembali membaca rentetan SMS itu. Jam di ponselku menunjukkan pukul 01:10. Sepuluh menit sudah kukirim pesan pendek itu, dan tak kunjung berbalas.
Maka kuputuskan untuk meneleponnya. Namun hanya suara wanita dari mesin penjawab otomatis operator selular yang kudengar, “Maaf, nomor yang anda putar salah. Silakan periksa kembali nomor tujuan anda!”. Karuan saja hal itu bikin aku makin penasaran.
Kuperhatikan kembali nomor itu; Kucoba mengingat-ingat, siapa gerangan pemilik nomor tersebut. Namun otakku sama sekali tak mampu mengeluarkan rekaman nomor itu.
Sekali lagi kucoba meneleponnya. Kali ini kupinjam ponsel lama istriku. Kupencet nomor-nomor itu pada papan ketik ponsel istriku. Dan alangkah kagetnya aku ketika kemudian di layar ponsel itu muncul namaku. Segera kumatikan sambungannya. Dan kuperiksa kembali nomor tersebut. Ya ,Tuhan! itu adalah nomorku yang telah lama mati!
Jakarta, 11 Agustus 2016