Mohon tunggu...
thrio haryanto
thrio haryanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Penikmat Kopi Nusantara

Menyukai kopi tubruk dan menikmati Srimulat. Pelaku industri digital. Pembaca sastra, filsafat, dan segala sesuatu yang merangsang akalku. Penulis buku Srimulatism: Selamatkan Indonesia dengan Tawa (Noura Book Publishing, 2018).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kehidupan dan Kematian

11 Agustus 2016   09:06 Diperbarui: 11 Agustus 2016   09:14 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber image: http://www.solara.org.uk

Sebuah SMS dari nomor yang tak kukenali masuk; Apakah kematian itu abadi? Aku diam sesaat memerhatikan pesan pendek itu. Bukan memikirkan jawaban apa yang tepat, namun mengapa orang yang entah siapa itu bertanya seperti itu? Kepadaku pula!

Ah, mungkin dia hanya ingin tahu, pikirku. Maka kubalas pesan pendek itu dengan jawaban yang sangat pendek; Tidak.

Tengah malam, dan aku baru saja mematikan televisi dan lampu ruang tengah untuk bersiap tidur ketika telepon genggamku berdering mengantarkan SMS itu. Dan hawa dingin dari AC ruang tengah yang baru saja kumatikan masih terasa ketika SMS keduanya masuk; Apakah kematian itu memisahkan?

“Memisahkan dan mempertemukan,” balasku.

“Memisahkan apa?” balasnya lagi.

“Materi dan imateri. Jasad dan ruhnya,”

“Mempertemukan apa?”

“Materi dan materi, jasad dan jasadi, imateri dan imateri, ruh dan Ruhi,”

“Apakah ruh itu?”

“Dia yang tersembunyi di balik jasad,”

“Apakah Jasad itu?”

“Badan wadag yang menyembunyikan ruh,”

“Apakah keduanya akan mati?”

“Hanya yang nampak yang akan mati. Yang tak nampak tak pernah mati,”

Si entah siapa itu lama tak membalas. Kupikir dia sudah puas dengan jawaban-jawabanku, atau mungkin pulsanya sudah habis. Tetapi tidak. Setelah kurang lebih lima menit, ia malah memberondongku dengan rentetan pesan pendek.

Kehidupan dan kematian adalah dua alam yang berhimpitan. Mereka hanya dibatasi oleh kelambu tipis,”

“Saking tipisnya, banyak orang yang tak sadar bahwa dia hidup dalam kematian, atau mati dalam kehidupan,”

“Saking tipisnya, banyak orang yang bahkan untuk kaget pun tak sempat ketika tiba-tiba dia sudah berada di alam kematian.”

“Kehidupan dan kematian adalah dua pendulum yang dimainkan waktu. Begitulah, karena mereka dalam penguasaannya,”

“Dan sampai kapan pun, kehidupan dan kematian tak dapat menguasai waktu. Jika ada kehidupan yang abadi maka itu adalah kematian, jika ada kematian yang abadi maka itu adalah kehidupan.”

“Ada yang bilang, kehidupan adalah misteri; kita tidak tahu apa yang akan terjadi dalam kehidupan kita. Kepada mereka, aku lebih suka bilang, misteri adalah kehidupan; karena ketidaktahuan maka kita hidup.”

“Ada yang bilang, kematian adalah misteri; kita tidak tahu kapan kematian akan datang. Kepada mereka, aku lebih suka bilang, misteri adalah kematian; karena ketidaktahuan maka kita mati.”

“Kita pilih hidup dalam kematian, atau mati dalam kehidupan; terserahku, terserahmu. Namun jika kau ingin menguasai salah satu – atau keduanya, maka kau harus berteman dengan Waktu: karena dialah penguasanya.”

Aku terhenyak membaca rentetan pesan pendek yang panjang itu. Berkali-kali kubaca pesan tersebut, berkali-kali pula dahiku berkerut mencoba memaknainya. Sebenarnya aku ingin menanggapinya namun kuurungkan. Aku malah terbawa dalam rasa penasaran, siapa sebenarnya si pengirim pesan itu. Maka kukirimlah pesan pendek kepadanya, “Maaf, Anda siapa ya?”

Sembari menunggu jawabannya, aku kembali membaca rentetan SMS itu. Jam di ponselku menunjukkan pukul 01:10. Sepuluh menit sudah kukirim pesan pendek itu, dan tak kunjung berbalas.

Maka kuputuskan untuk meneleponnya. Namun hanya suara wanita dari mesin penjawab otomatis operator selular yang kudengar, “Maaf, nomor yang anda putar salah. Silakan periksa kembali nomor tujuan anda!”. Karuan saja hal itu bikin aku makin penasaran.

Kuperhatikan kembali nomor itu; Kucoba mengingat-ingat, siapa gerangan pemilik nomor tersebut. Namun otakku sama sekali tak mampu mengeluarkan rekaman nomor itu.

Sekali lagi kucoba meneleponnya. Kali ini kupinjam ponsel lama istriku. Kupencet nomor-nomor itu pada papan ketik ponsel istriku. Dan alangkah kagetnya aku ketika kemudian di layar ponsel itu muncul namaku. Segera kumatikan sambungannya. Dan kuperiksa kembali nomor tersebut. Ya ,Tuhan! itu adalah nomorku yang telah lama mati!

Jakarta, 11 Agustus 2016

@thriologi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun