Mohon tunggu...
Thoriq Ahmad Taqiyuddin
Thoriq Ahmad Taqiyuddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Audaces Fortuna Iuvat

Hidup dimulai dari mimpi, dilanjutkan dengan membaca, memetakan, merencanakan, melaksanakan lalu terus berimprovisasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Etika, Cara Manusia Memahami Prinsip Moral dalam Tindakan

9 Januari 2025   04:10 Diperbarui: 9 Januari 2025   04:10 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beberapa sub-kategori dalam pemahaman etika filsafat (image source: meishahuru.com)

Etika adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang moralitas, tentang apa yang seharusnya kita lakukan dan bagaimana kita seharusnya bertindak. Dalam hidup sehari-hari, kita sering dihadapkan pada pilihan-pilihan yang melibatkan keputusan moral, baik itu mengenai tindakan yang benar, keadilan, atau bagaimana kita memperlakukan sesama. Etika berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan memberi panduan tentang tindakan yang benar dan bagaimana kita harus hidup dengan baik.

Namun, meskipun kita sering menghadapi dilema moral dalam kehidupan, prinsip-prinsip yang mendasari etika sangat beragam dan tidak selalu mudah dipahami. Ada banyak aliran pemikiran dalam etika yang masing-masing memiliki cara pandang berbeda tentang bagaimana kita harus bertindak dan apa yang membuat suatu tindakan benar atau salah. Tiga aliran etika yang paling dikenal adalah "deontologi", "utilitarianisme", dan "etika kebajikan". Ketiganya memberi perspektif yang berbeda tentang moralitas dan tindakan manusia, dan masing-masing mencoba menjawab pertanyaan mendasar tentang apa yang seharusnya kita lakukan di dunia ini.

Deontologi

Salah satu pandangan yang cukup kuat dalam etika adalah "deontologi", yang menekankan pentingnya kewajiban moral yang harus dipatuhi, terlepas dari hasil yang dihasilkan dari tindakan tersebut. Deontologi berasal dari kata Yunani "deon", yang berarti "kewajiban" atau "tugas". Menurut pandangan ini, ada aturan atau prinsip moral tertentu yang harus diikuti oleh setiap individu, tanpa memperhatikan konsekuensi atau hasil dari tindakan itu.

Salah satu tokoh utama dalam aliran deontologi adalah Immanuel Kant, seorang filsuf Jerman yang dikenal dengan teori moralnya yang terkenal. Kant berpendapat bahwa tindakan kita harus didorong oleh "kewajiban moral" yang bersifat universal. Artinya, kita harus bertindak berdasarkan prinsip yang jika diterapkan oleh semua orang, akan membawa kebaikan secara umum. Salah satu prinsip Kant yang terkenal adalah "imperatif kategoris", yang mengatakan bahwa kita harus bertindak hanya menurut prinsip yang bisa kita kehendaki sebagai hukum universal. Dengan kata lain, kita harus bertindak seolah-olah tindakan kita menjadi aturan yang bisa diterima oleh semua orang di seluruh dunia.

Sebagai contoh, dalam situasi di mana seseorang mungkin tergoda untuk berbohong, menurut deontologi, kebohongan itu tetap salah meskipun bisa memberi manfaat atau menghindari konsekuensi buruk. Hal ini karena berbohong bertentangan dengan kewajiban moral untuk menghormati kebenaran dan integritas. Oleh karena itu, meskipun hasil dari berbohong bisa terlihat positif, tindakan itu tetap dianggap tidak bermoral dalam pandangan deontologi, karena melanggar kewajiban moral yang lebih tinggi.

Deontologi mengajarkan kita untuk bertindak dengan cara yang bisa dipertanggungjawabkan secara moral, tanpa tergantung pada keuntungan atau kerugian yang akan kita peroleh. Ini memberi kita panduan yang jelas tentang apa yang harus dilakukan, meskipun dalam beberapa kasus hasilnya mungkin tidak selalu menguntungkan atau menyenangkan. Prinsip ini menegaskan bahwa "yang penting adalah niat dan kewajiban kita untuk bertindak dengan cara yang benar", bukan semata-mata hasil akhirnya.

Utilitarianisme

Berbeda dengan deontologi, yang lebih fokus pada kewajiban moral, utilitarianisme adalah pandangan yang menilai tindakan berdasarkan hasilnya. Dalam pandangan utilitarian, tindakan dianggap benar jika ia membawa kebahagiaan atau manfaat terbesar bagi jumlah orang yang terbesar. Ini berarti bahwa utilitarianisme mengutamakan konsekuensi dari tindakan kita, dan kita harus memilih tindakan yang memberikan manfaat terbaik bagi banyak orang, bahkan jika itu berarti mengorbankan kepentingan individu atau kelompok kecil.

Filsuf Inggris John Stuart Mill adalah salah satu tokoh utama dalam aliran ini. Mill berpendapat bahwa kebahagiaan manusia adalah tujuan utama dalam hidup, dan bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang membawa hasil terbaik dalam hal kebahagiaan. Dalam teori utilitarian, kebahagiaan didefinisikan sebagai "kesejahteraan" atau "kepuasan" yang dapat diperoleh dari tindakan kita. Oleh karena itu, kita harus selalu berusaha untuk melakukan tindakan yang akan memberi manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang, bahkan jika itu berarti membuat keputusan yang tampaknya tidak adil bagi sebagian orang.

Misalnya, dalam situasi di mana kita harus memilih antara menyelamatkan satu orang yang kita cintai atau menyelamatkan lima orang yang tidak kita kenal, seorang utilitarian akan memilih untuk menyelamatkan lima orang tersebut, karena keputusan tersebut akan menghasilkan kebahagiaan lebih besar bagi lebih banyak orang. Pandangan ini sangat memfokuskan pada "konsekuensi" dari tindakan kita dan mendorong kita untuk selalu mempertimbangkan bagaimana keputusan kita akan mempengaruhi kebahagiaan kolektif.

Utilitarianisme sangat populer dalam konteks "etika sosial" dan "politik", karena ia menilai kebijakan dan tindakan berdasarkan seberapa besar manfaat yang dihasilkan untuk kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Namun, meskipun sangat praktis, utilitarianisme sering kali mendapat kritik, terutama karena terkadang mengabaikan hak individu. Mengutamakan kebahagiaan jumlah orang terbanyak tidak selalu berarti bahwa hak individu akan dihormati atau dipertimbangkan dengan adil.

Etika Kebajikan

Selain deontologi dan utilitarianisme, ada satu aliran etika lain yang tidak berfokus pada aturan atau konsekuensi, melainkan pada karakter dan kebajikan moral individu itu sendiri. Aliran ini dikenal dengan nama "etika kebajikan", dan ia berakar pada ajaran filsuf Yunani kuno,Aristoteles. Aristoteles percaya bahwa moralitas bukanlah tentang mengikuti aturan atau memikirkan konsekuensi dari tindakan kita, melainkan tentang membentuk karakter kita sehingga kita mampu bertindak dengan kebajikan.

Menurut Aristoteles, kebajikan adalah kualitas moral yang memungkinkan kita untuk hidup dengan baik dan mencapai tujuan hidup kita, yang dalam pandangannya adalah mencapai "eudaimonia", atau kehidupan yang baik dan bahagia. Kebajikan, bagi Aristoteles, adalah kebiasaan untuk bertindak dengan cara yang seimbang, bukan berlebihan atau kekurangan. Misalnya, keberanian adalah kebajikan yang terletak di antara keberanian yang berlebihan (terlalu berani) dan ketakutan yang berlebihan (terlalu penakut). Kebajikan bukan hanya tentang apa yang kita lakukan, tetapi juga tentang siapa kita sebagai individu dan bagaimana kita mengembangkan kualitas moral kita.

Etika kebajikan menekankan pentingnya "pengembangan karakter". Ini bukan hanya tentang memilih tindakan yang benar dalam situasi tertentu, tetapi lebih kepada menjadi orang yang baik secara keseluruhan. Aristoteles berpendapat bahwa jika kita melatih kebajikan dalam kehidupan sehari-hari, kita akan menjadi lebih cerdas secara moral dan lebih mampu membuat keputusan yang baik.

Salah satu keuntungan utama dari etika kebajikan adalah bahwa ia mengajak kita untuk memperhatikan kualitas moral kita secara keseluruhan, bukan hanya terfokus pada hasil atau kewajiban tertentu. Dengan demikian, etika kebajikan menekankan pentingnya berlatih menjadi orang yang baik, yang mampu bertindak dengan bijaksana dan dengan pertimbangan moral yang matang, dalam segala aspek kehidupan kita.

Sub-kategori dalam kajian filsafat etika (image source: utophiaart.co.uk)
Sub-kategori dalam kajian filsafat etika (image source: utophiaart.co.uk)

Tiga Pendekatan dalam Etika

Ketiga aliran etika, yaitu "deontologi", "utilitarianisme", dan "etika kebajikan", dimana semuanya menawarkan pandangan yang berbeda namun saling melengkapi tentang bagaimana kita seharusnya bertindak sebagai individu dan masyarakat. Deontologi mengajarkan kita untuk bertindak berdasarkan kewajiban moral yang harus dipatuhi, sementara utilitarianisme menilai tindakan berdasarkan manfaat yang dihasilkan bagi kebahagiaan terbesar. Etika kebajikan, di sisi lain, menekankan pentingnya pengembangan karakter dan kebajikan moral dalam kehidupan kita.

Setiap aliran etika ini memberi kita perspektif yang berbeda dalam menghadapi dilema moral. Sementara beberapa situasi mungkin lebih cocok dengan pendekatan deontologis atau utilitarian, dalam banyak kasus, kita mungkin perlu mempertimbangkan karakter dan kebajikan kita dalam mengambil keputusan moral. Etika, dengan segala kerumitannya, tetap menjadi panduan yang tak ternilai dalam kehidupan kita, membantu kita untuk hidup dengan lebih bermoral, bijaksana, dan bertanggung jawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun