Ilmu pengetahuan telah menjadi kekuatan utama yang membentuk cara kita memahami dunia. Dengan eksperimen, observasi, dan teori-teori yang mendalam, sains telah mengungkap banyak misteri alam semesta, dari skala mikroskopis hingga kosmos yang tak terbatas. Namun, di balik pencapaian-pencapaian ilmiah tersebut, ada pertanyaan-pertanyaan mendalam yang sering kali terlupakan: Bagaimana ilmu itu sendiri bekerja? Apa dasar-dasar metodologi ilmiah? Dan apa implikasi etis serta ontologis dari penemuan ilmiah?
 Filsafat sains adalah cabang filsafat yang mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Filsafat sains bukan hanya sekadar mempertanyakan bagaimana kita memperoleh pengetahuan ilmiah, tetapi juga mencoba memahami apa yang terjadi ketika kita tahu sesuatu, bagaimana kita tahu bahwa kita tahu, dan apa artinya temuan ilmiah itu dalam konteks yang lebih besar.
Positivisme adalah pandangan dalam filsafat sains yang menekankan bahwa ilmu pengetahuan adalah satu-satunya cara yang sah untuk memperoleh pengetahuan yang benar tentang dunia. Dalam pandangan ini, hanya pengetahuan yang diperoleh melalui metode ilmiah yang dapat dianggap valid. Positivisme berakar pada pemikiran Auguste Comte, seorang filsuf asal Prancis yang percaya bahwa ilmu sosial dan alam dapat dipahami dengan cara yang sama seperti ilmu alam, yaitu melalui pengamatan yang terukur, eksperimen, dan verifikasi.
Positivisme menganggap bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini dapat dijelaskan dengan hukum-hukum alam yang dapat diuji dan dibuktikan. Untuk itu, pengamatan yang objektif dan terukur adalah kunci untuk memahami dunia secara akurat. Pendekatan ini menekankan bahwa kenyataan hanya dapat dipahami dengan cara yang dapat diuji melalui eksperimen atau pengamatan langsung. Jika sesuatu tidak dapat dibuktikan atau diuji, maka itu tidak dapat dianggap sebagai pengetahuan yang sah.
Namun, meskipun positivisme menawarkan cara yang sangat sistematis dan terstruktur untuk memahami dunia, ada kritik terhadap pandangan ini. Salah satu kritik utama adalah bahwa tidak semua aspek kehidupan manusia dapat dipahami hanya melalui pengamatan dan eksperimen ilmiah. Misalnya, aspek moral, estetika, atau pengalaman subjektif manusia sering kali sulit diukur atau diuji dengan cara yang sama seperti fenomena fisik. Oleh karena itu, beberapa filsuf berpendapat bahwa positivisme terlalu sempit dalam pandangannya terhadap apa yang bisa diketahui.
Falsifiabilitas
Salah satu konsep yang sangat penting dalam filsafat sains adalah falsifiabilitas, yang dipopulerkan oleh filsuf Karl Popper. Menurut Popper, teori ilmiah harus dapat diuji dan dibuktikan salah melalui eksperimen atau observasi. Falsifiabilitas adalah prinsip bahwa suatu teori ilmiah tidak dapat dianggap benar selamanya, tetapi harus dapat diuji dengan kemungkinan untuk dibuktikan salah. Jika suatu teori tidak dapat diuji atau dibuktikan salah, maka teori itu tidak dapat dianggap sebagai teori ilmiah.
Popper menyarankan bahwa teori ilmiah yang baik adalah teori yang dapat diuji dan memiliki potensi untuk diuji kembali seiring dengan perkembangan eksperimen dan teknologi. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan berkembang melalui proses pengujian dan pembuktian kesalahan. Teori yang bertahan dari uji falsifikasi dan terus konsisten dengan bukti yang ada akan semakin diterima, sementara teori yang gagal diuji atau dibuktikan salah akan ditinggalkan atau disempurnakan.
Konsep ini menekankan bahwa ilmu tidak pernah mencapai kebenaran mutlak, tetapi selalu berkembang melalui proses pengujian dan perbaikan. Ini adalah pandangan yang lebih terbuka terhadap kemungkinan kesalahan dan perubahan dalam ilmu pengetahuan. Falsifiabilitas mengajarkan bahwa ilmu adalah proses yang selalu berkembang, dan kita harus siap untuk mengubah pandangan kita ketika bukti baru ditemukan yang bertentangan dengan teori yang ada.