Herbert Marcuse memilih untuk melangkah sedikit lebih jauh dengan memperkenalkan konsep one-dimensional man. Dalam sistem kapitalisme modern, manusia dipaksa untuk menjadi satu dimensi, yang hanya peduli pada produktivitas dan konsumsi. Ide-ide alternatif, seperti solidaritas, emansipasi, atau revolusi, ditindas atau diabaikan. Akibatnya, masyarakat kehilangan kemampuan untuk membayangkan dunia yang berbeda,tempat dimana dunja terjadi tanpa eksploitasi atau ketidakadilan.
Selain budaya, Marxisme kritis juga memperhatikan bagaimana psikologi manusia dipengaruhi oleh kapitalisme. Erich Fromm, seorang anggota Frankfurt School, menggabungkan Marxisme dengan psikoanalisis untuk menjelaskan bagaimana struktur kapitalis membentuk kepribadian manusia. Menurut Fromm, kapitalisme menciptakan "orientasi pasar," di mana nilai seseorang diukur berdasarkan kemampuannya untuk menjual, baik itu dalam bentuk barang, jasa, atau dirinya sendiri.
Fromm memandang bahwa dalam sistem ini, manusia kehilangan identitas sejatinya. Kita menjadi "manusia yang menjual," selalu mencoba menyesuaikan diri dengan permintaan pasar, daripada mengejar kebahagiaan yang sejati. Hal ini menciptakan rasa hampa dan depresi yang meluas di masyarakat modern.
Tujuan akhir Marxisme kritis bukan hanya menganalisis, tetapi juga membebaskan. Ia berusaha menciptakan dunia di mana manusia tidak lagi didefinisikan oleh kerja atau konsumsi, tetapi oleh kreativitas, solidaritas, dan kebebasan sejati.
Namun, Marxisme kritis menyadari bahwa jalan menuju emansipasi tidak mudah. Sistem kapitalisme telah menancapkan akar yang begitu dalam dalam budaya, ideologi, dan psikologi manusia. Oleh karena itu, perjuangan melawan kapitalisme harus dimulai dengan menyadarkan masyarakat tentang bagaimana mereka dikontrol, baik melalui pendidikan, seni, dan aktivisme.
Frankfurt School, misalnya, percaya bahwa seni memiliki potensi revolusioner. Walter Benjamin berargumen bahwa seni, jika digunakan dengan benar, dapat mengganggu hegemoni kapitalis dan membuka jalan bagi cara berpikir baru. Ia memberikan contoh seni avant-garde yang tidak tunduk pada logika pasar, tetapi berfungsi sebagai alat refleksi dan kritik.
 Marxisme Kritis dan Relevansinya Hari Ini
Di era modern, relevansi Marxisme kritis menjadi pisau analisa yang cukup nyata. Ketimpangan ekonomi global semakin dalam, dengan segelintir orang menguasai sebagian besar kekayaan dunia. Di sisi lain, teknologi dan media sosial telah menjadi alat dominasi baru yang memperkuat hegemoni kapitalis.
Misalnya, platform seperti Facebook atau Instagram tidak hanya menjual iklan, tetapi juga membentuk cara kita berpikir dan berinteraksi. Dalam sistem ini, kita bukan hanya konsumen tetapi juga produk, dimana data kita dijual kepada perusahaan untuk keuntungan mereka. Ini adalah bentuk eksploitasi baru yang bahkan lebih tersembunyi daripada yang dibahas oleh Marx di abad ke-19.
 Nyatanya, perubahan tidak akan datang dengan sendirinya. Kita harus aktif mengkritisi sistem yang ada dan mencari cara untuk menciptakan alternatif. Dengan memahami bagaimana struktur ekonomi, kekuasaan, dan budaya bekerja, kita dapat mulai membayangkan dunia yang lebih adil dan manusiawi.
Marxisme kritis mengajarkan lebih dari sekadar teori, ia adalah alat untuk memahami dan mengubah cara pandsng manusia tentang realitas yang terjadi secara nyata di dunia. Dalam analisisnya tentang kapitalisme, kekuasaan, dan budaya, ia mengungkap bagaimana dominasi bekerja di level yang paling mendalam. Tetapi ia juga menawarkan harapan melalui kesadaran dan aksi kolektif, kita dapat melawan sistem yang menindas dan menciptakan dunia yang lebih bebas dan adil.