Otak manusia sering digambarkan sebagai sebuah suprastruktur dan inti dari kehidupan seorang manusia. Di kepala kita, otak bekerja sebagai komputer super canggih yang bekerja tanpa henti, menyimpan, mengolah, mereduksi dan mereproduksi informasi yang kita terima dari berbagai sumber. Menghasilkan output yang secara presisi berguna dalam memgolah data menjadi sebuah informasi yang diterapkan dalam fungsi harian, baik sebagai Komputer ataupun Manusia.
Seperti halnya komputer yang bisa mengalami gangguan ketika ada kerusakan pada chip memori, otak juga rentan terhadap masalah ketika "memori" di dalamnya mengalami tekanan dan benturan, secara harfiah ataupun secara istilah. Sebuah peristiwa yang membentuk kesadaran individual dari diri seorang manusia yang ke depan akan sangat mempengaruhi pola langkahnya dalam menilai dan mengambil keputusan.
Salah satu bentuk konflik itu adalah ketidaksesuaian antara nilai-nilai yang tertanam di kepala dengan realitas di lapangan. Hal semacam ini sering kali menjadi akar dari gangguan psikologis, trauma, atau bahkan gangguan mental yang parah. Â
Mereduksi Memori di Kepala Manusia. Â
Setiap pengalaman hidup kita meninggalkan jejak di otak. Pengalaman positif menciptakan kenangan yang memberi rasa hangat, sedangkan pengalaman negatif, terutama yang traumatis, sering kali menjadi bayangan gelap yang sulit dihapus, atau justru dibiarkan menetap selamany. Otak, dengan kapasitasnya yang luar biasa untuk menyimpan detail, kadang seperti "chip" yang tidak memiliki tombol delete. Bukan perintah yang bisa dikostumisasi dengan gaya bahasa pemrograman, sebagaimaa para programmer menggunakan VSCode Studio. Atau, bahkan ketika kita mencoba untuk melupakan sesuatu, memori itu tetap ada, mengendap dalam struktur otak yang dikenal sebagai hippocampus. Â
Trauma, khususnya, meninggalkan jejak yang dalam. Ketika seseorang mengalami peristiwa traumatis, seperti pengalaman kehilangan orang yang dicintai, post-trauma dari fase kecelakaan, atau kekerasan, Â secara langsung otak memprosesnya dengan cara yang berbeda dibandingkan dengan pengalaman biasa. Alih-alih hanya disimpan sebagai memori biasa, trauma sering kali terekam dengan intensitas emosional yang tinggi. Hal ini membuatnya mudah terpicu kembali, bahkan oleh detail kecil yang mungkin tampak tidak signifikan bagi orang lain. Â
Menghadapi Realitas yang Terbalik dari Harapan.
Gangguan psikologis sering kali muncul dari ketidaksesuaian antara apa yang kita yakini sebagai ideal dengan apa yang kita hadapi dalam kenyataan. Misalnya, seseorang yang dibesarkan dengan nilai-nilai kejujuran akan merasa hancur ketika dihadapkan pada dunia yang penuh kebohongan. Atau seseorang yang memiliki prinsip yang dilekatkan terlalu kuat tentang cinta sejati akan kehilangan arah ketika menghadapi patah hati yang tidak direncanakan, sebuah perasaan hancur yang mendalam. Â
Berbagai konflik dalam kehidupan nyata yang menciptakan tekanan yang besar bagi otak manusia. Secara biologis, otak dirancang untuk menyelesaikan masalah, mencari pola, dan menciptakan harmoni dalam kehidupa . Ketika ada ketidakselarasan antara apa yang otak harapkan dan apa yang terjadi, stres mulai muncul. Dalam beberapa kasus, konflik ini bisa menjadi begitu parah hingga mengganggu fungsi normal otak, menyebabkan gangguan mental seperti depresi, kecemasan, atau bahkan gangguan stres pascatrauma (PTSD). Â
Memori Pasca Trauma Tidak Pernah Benar-Benar Pergi. Banyak yang berharap bahwa waktu akan menyembuhkan segalanya, termasuk trauma. Tetapi kenyataannya, trauma jarang benar-benar hilang. Ia tetap ada, bersembunyi di sudut otak, menunggu untuk muncul kembali ketika dipicu oleh sesuatu yang serupa dengan pengalaman traumatis tersebut. Â
Sebagai contoh, seseorang yang mengalami kecelakaan mobil mungkin merasa cemas setiap kali mendengar suara rem mendadak. Atau seseorang yang pernah patah hati bisa merasakan sakit yang sama ketika mendengar lagu, tempat ataupun kalimat yang dulu ia dengarkan dari pasangannya. Ini semua  adalah bukti paling sederhana dan nyata tentamg bagaimana otak bekerja. Ia mencatat detail kecil, menyimpannya dalam memori, dan menghubungkannya dengan emosi yang dirasakan pada saat itu. Â
Mengapa Memori Traumatis Begitu Melekat di Kepala?
Ada alasan biologis di balik sulitnya melupakan trauma. Ketika kita mengalami sesuatu yang traumatis, otak kita mengaktifkan respons "lawan atau lari" (fight or flight). Hormon stres seperti kortisol dan adrenalin dilepaskan dalam jumlah besar, memperkuat memori pengalaman itu. Ini adalah mekanisme bertahan hidup yang dirancang untuk membantu kita menghindari bahaya di masa depan. Namun, mekanisme ini juga berarti bahwa trauma terekam dengan sangat kuat di otak, hampir seperti luka bakar yang meninggalkan bekas. Â
Selain itu, otak tidak pandai membedakan antara ancaman nyata dan ancaman yang hanya diingat. Itulah sebabnya seseorang yang mengalami PTSD bisa merasa seolah-olah mereka kembali ke momen traumatisnya, meskipun sebenarnya mereka berada di lingkungan yang aman. Â
Tidak semua trauma berasal dari pengalaman yang jelas mengancam jiwa. Patah hati, misalnya, sering kali dianggap sebagai sesuatu yang sepele, tetapi dampaknya pada otak dan kesehatan mental tidak boleh diremehkan. Ketika seseorang kehilangan orang yang dicintai, otaknya bereaksi hampir seperti kehilangan fisik. Area yang sama di otak yang aktif ketika kita mengalami rasa sakit fisik juga aktif ketika kita mengalami rasa sakit emosional. Â
Lebih buruk lagi, patah hati sering kali membawa rasa gagal, penyesalan, dan kehilangan harapan. Semua ini memperburuk kondisi mental seseorang, membuat mereka terjebak dalam lingkaran setan dari memori yang menyakitkan. Â
Sedikit Banyak Hal yang Bisa kita Dilakukan.Â
Meskipun memori trauma sulit dihapus, ada cara untuk mengurangi dampaknya. Salah satu pendekatan yang paling efektif adalah terapi, khususnya terapi kognitif perilaku (CBT) atau terapi desensitisasi dan pemrosesan ulang gerakan mata (EMDR). Terapi ini bertujuan untuk membantu otak memproses trauma dengan cara yang lebih sehat, mengurangi intensitas emosional yang terkait dengan memori tersebut. Â
Namun, proses ini tidak mudah. Bagi banyak orang, menghadapi trauma mereka adalah seperti membuka luka yang belum sembuh. Tapi dengan dukungan yang tepat, banyak yang akhirnya bisa menemukan cara untuk hidup berdampingan dengan trauma mereka tanpa membiarkannya mendominasi hidup mereka. Â
Memahami soal bagaimana memori bekerja adalah kunci untuk memahami banyak gangguan mental. Ketika kita menyadari bahwa banyak dari perjuangan kita berasal dari memori yang tertanam di otak, kita dapat mulai melihat gangguan mental bukan sebagai kelemahan, tetapi sebagai respons alami terhadap pengalaman hidup yang sulit. Â
Ini juga membantu kita untuk lebih memahami orang lain. Ketika seseorang tampak terlalu emosional atau sulit melupakan sesuatu, kita bisa melihatnya sebagai hasil dari bagaimana otak mereka memproses pengalaman, bukan sebagai sesuatu yang sepenuhnya dalam kendali mereka. Â
Keistimewaan Otak, adalah Kekurangannya.
Otak dirancang sebagai Penyimpan Kenangan, menghidupkan kesan dan menghancurkan seseorang. Otak manusia adalah alat yang luar biasa, tetapi juga bisa menjadi sumber penderitaan ketika memori yang disimpannya menjadi beban. Trauma, konflik nilai, dan patah hati adalah beberapa hal yang menunjukkan betapa kuatnya pengaruh memori terhadap kesehatan mental kita. Â
Meskipun memori buruk tidak dapat dihapus sepenuhnya, dengan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana otak bekerja, kita bisa belajar untuk hidup berdampingan dengannya. Kita bisa belajar untuk menghadapi masa lalu tanpa membiarkannya mendikte masa depan kita. Dan dalam proses itu, mungkin kita juga bisa menemukan kekuatan untuk tumbuh dan melanjutkan hidup, bahkan ketika memori itu terus mengintai di latar belakang. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H