Sebagai contoh, seseorang yang mengalami kecelakaan mobil mungkin merasa cemas setiap kali mendengar suara rem mendadak. Atau seseorang yang pernah patah hati bisa merasakan sakit yang sama ketika mendengar lagu, tempat ataupun kalimat yang dulu ia dengarkan dari pasangannya. Ini semua  adalah bukti paling sederhana dan nyata tentamg bagaimana otak bekerja. Ia mencatat detail kecil, menyimpannya dalam memori, dan menghubungkannya dengan emosi yang dirasakan pada saat itu. Â
Mengapa Memori Traumatis Begitu Melekat di Kepala?
Ada alasan biologis di balik sulitnya melupakan trauma. Ketika kita mengalami sesuatu yang traumatis, otak kita mengaktifkan respons "lawan atau lari" (fight or flight). Hormon stres seperti kortisol dan adrenalin dilepaskan dalam jumlah besar, memperkuat memori pengalaman itu. Ini adalah mekanisme bertahan hidup yang dirancang untuk membantu kita menghindari bahaya di masa depan. Namun, mekanisme ini juga berarti bahwa trauma terekam dengan sangat kuat di otak, hampir seperti luka bakar yang meninggalkan bekas. Â
Selain itu, otak tidak pandai membedakan antara ancaman nyata dan ancaman yang hanya diingat. Itulah sebabnya seseorang yang mengalami PTSD bisa merasa seolah-olah mereka kembali ke momen traumatisnya, meskipun sebenarnya mereka berada di lingkungan yang aman. Â
Tidak semua trauma berasal dari pengalaman yang jelas mengancam jiwa. Patah hati, misalnya, sering kali dianggap sebagai sesuatu yang sepele, tetapi dampaknya pada otak dan kesehatan mental tidak boleh diremehkan. Ketika seseorang kehilangan orang yang dicintai, otaknya bereaksi hampir seperti kehilangan fisik. Area yang sama di otak yang aktif ketika kita mengalami rasa sakit fisik juga aktif ketika kita mengalami rasa sakit emosional. Â
Lebih buruk lagi, patah hati sering kali membawa rasa gagal, penyesalan, dan kehilangan harapan. Semua ini memperburuk kondisi mental seseorang, membuat mereka terjebak dalam lingkaran setan dari memori yang menyakitkan. Â
Sedikit Banyak Hal yang Bisa kita Dilakukan.Â
Meskipun memori trauma sulit dihapus, ada cara untuk mengurangi dampaknya. Salah satu pendekatan yang paling efektif adalah terapi, khususnya terapi kognitif perilaku (CBT) atau terapi desensitisasi dan pemrosesan ulang gerakan mata (EMDR). Terapi ini bertujuan untuk membantu otak memproses trauma dengan cara yang lebih sehat, mengurangi intensitas emosional yang terkait dengan memori tersebut. Â
Namun, proses ini tidak mudah. Bagi banyak orang, menghadapi trauma mereka adalah seperti membuka luka yang belum sembuh. Tapi dengan dukungan yang tepat, banyak yang akhirnya bisa menemukan cara untuk hidup berdampingan dengan trauma mereka tanpa membiarkannya mendominasi hidup mereka. Â
Memahami soal bagaimana memori bekerja adalah kunci untuk memahami banyak gangguan mental. Ketika kita menyadari bahwa banyak dari perjuangan kita berasal dari memori yang tertanam di otak, kita dapat mulai melihat gangguan mental bukan sebagai kelemahan, tetapi sebagai respons alami terhadap pengalaman hidup yang sulit. Â
Ini juga membantu kita untuk lebih memahami orang lain. Ketika seseorang tampak terlalu emosional atau sulit melupakan sesuatu, kita bisa melihatnya sebagai hasil dari bagaimana otak mereka memproses pengalaman, bukan sebagai sesuatu yang sepenuhnya dalam kendali mereka. Â