Tahun 1945 hampir akan berakhir, sisa-sisa pertempuran masih berupa puing-puing dari bangunan hancur akibat pengeboman dimana-mana belum dapat dipulihkan seutuhnya. Butuh biaya yang cukup besar atas penanggulangan dampak perang yang terjadi, dibutuhkannya juga dalang yang paling bertanggungjawab atas terjadinya perang besar di muka bumi.Â
Seseorang yang lenyap seakan dimakan oleh Bumi pasca Pasukan Merah dari Uni Soviet berhasil menerobos masuk ke Ibukota Nazi di Berlin, Jerman.
Akhir dari perang dunia kedua adalah dunia yang baru akan terlahir kembali setelah hancur lebur oleh perang paling mematikan dalam sejarah manusia, yaitu Perang Dunia II. Setelah Jerman menyerah, kota Nuremberg yang merupakan saksi proses monumental kelahiran dan awal kelahiran NSDAP, yang dikenal sebagai Nazi saat itu akan jadi akhir dari kejayaan Nazi. Dimana 24 pejabat tinggi Nazi akan segera diadili dan mungkin dihukum mato.Â
Di kota inilah, para petinggi Nazi yang masih hidup diadili atas kejahatan yang telah mereka lalukan dengan menafikan nilai-nilai kemanusiaan.Â
Pembantaian etnis minoritas atas dasar kebencian dan stereotip yang ditularkan melalui propaganda media. Numberg, jadi pengadilan yang tidak hanya akan menjatuhkan hukuman, tetapi juga mencoba merangkai kembali moralitas manusia yang tercerai-berai. Â
Pengadilan Bagi Para Petinggi Nazi Jerman.
Setelah Perang Dunia II berakhir, Sekutu menghadapi dilema besar. Apa yang harus dilakukan terhadap para pemimpin Nazi yang bertanggung jawab atas kematian jutaan orang? Dunia mendesak keadilan, tetapi keadilan apa yang pantas bagi mereka yang telah melampaui batas kejahatan manusia? Â
Pada 20 November 1945, 24 terdakwa utama dihadirkan di depan Mahkamah Militer Internasional di Nuremberg. Mereka bukan sembarang orang. Ini adalah tokoh-tokoh puncak rezim Hitler. Di antaranya adalah Hermann Gring, pendiri Gestapo dan otak di balik Holocaust; Joachim von Ribbentrop, menteri luar negeri Nazi yang terlibat dalam konspirasi perang; Rudolf Hess, wakil pemimpin partai Nazi; hingga Albert Speer, arsitek utama Hitler dan "teknokrat" Holocaust. Â
Bayangkan pemandangan ruang sidang itu. Aula besar yang dingin, penuh dengan pengacara, hakim, wartawan, dan terdakwa yang mengenakan headphone besar untuk mendengar terjemahan. Wajah-wajah terdakwa tampak dingin, sebagian mencoba bersikap angkuh, sementara lainnya terlihat pasrah atau justru ketakutan. Â
Menyelami Kejahatan Perang dan Genosida
Kejahatan yang mereka lakukan bukan hanya soal perang biasa. Ini adalah kejahatan yang melampaui imajinasi. Kejahatan terhadap perdamaian, yang mencakup perencanaan dan pelaksanaan perang agresif. Kejahatan perang, yang meliputi pembunuhan, perbudakan, dan penjarahan. Namun, tuduhan yang paling mengerikan adalah *kejahatan terhadap kemanusiaan*: genosida, pembersihan etnis, dan pemusnahan sistematis terhadap jutaan orang Yahudi, Roma, disabilitas, dan kelompok lainnya. Â
Contohnya, Gring. Sebagai tokoh kunci, ia tidak hanya berpartisipasi dalam merancang kamp kematian tetapi juga memperkaya dirinya sendiri dengan mencuri harta benda korban Holocaust. Atau Rudolf Hess, yang tetap setia pada ideologi Nazi hingga akhir. Ia terlihat seperti bayang-bayang dari manusia yang pernah berkuasa---rapuh, bingung, tetapi tetap tidak menyesali tindakannya. Â
Lalu ada Speer, seorang tokoh unik. Ia tidak menyangkal keterlibatannya, tetapi mencoba menjauhkan dirinya dari kekejaman Nazi dengan menyatakan bahwa ia hanya "seorang teknokrat". Dalam kesaksiannya, Speer menunjukkan penyesalan, meski banyak yang meragukan ketulusannya. Â
Hasil Pengadilan, Hukuman dan Harapan Dunia Baru.
Pada 1 Oktober 1946, setelah hampir setahun persidangan, putusan dijatuhkan. Dari 24 terdakwa, 12 dijatuhi hukuman mati, termasuk Gring (meskipun ia akhirnya bunuh diri di selnya sebelum dieksekusi). Tiga terdakwa dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, termasuk Hess. Beberapa dijatuhi hukuman penjara lebih ringan, sementara tiga lainnya dibebaskan karena kurangnya bukti. Â
Namun, pengadilan ini lebih dari sekadar menjatuhkan hukuman. Ini adalah upaya membangun kembali standar moralitas global yang telah dihancurkan oleh perang. Dunia ingin menunjukkan bahwa bahkan dalam kekacauan, prinsip hukum dan keadilan tetap harus ditegakkan. Â
Kacamata Hannah Arendt dalam Melihat Pengadilan Numberg.
Di tengah hiruk-pikuk pengadilan, seorang filsuf asal Jerman, yang juga merupakan ilmuan keturunan Yahudi turut terlibat untuk mengamati kejadian ini dengan sorotan perspektif politik yang amat tajam dari Hannah Arendt.Â
Bagi Arendt, pengadilan ini adalah eksperimen besar dalam memahami kejahatan manusia. Ia mempertanyakan, apakah kejahatan yang dilakukan oleh para terdakwa itu semata-mata hasil dari monster dalam diri mereka, ataukah akibat dari sistem yang memanipulasi manusia untuk melakukan hal-hal diluar kemanusiaan? Â
Ia berbicara tentang "kebrutalan dan kejahatan," gagasan bahwa pelaku kejahatan terbesar seringkali adalah individu biasa yang gagal berpikir secara moral sebagaimana tercantum dalam salah satu karya tulisnya yang berjudul "Banality of Evil". Dalam konteks Nuremberg, ini sangat relevan. Banyak terdakwa, seperti Speer, berusaha mengecilkan peran mereka dengan alasan bahwa mereka hanya "mengikuti perintah". Â
Pelajaran Berharga dari Pengadilan Nuremberg.
Pengadilan Nuremberg adalah lebih dari sekadar persidangan; itu adalah pernyataan global bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan tidak akan dibiarkan tanpa balasan. Meskipun tidak sempurna dan penuh kontroversi, pengadilan ini membuka jalan bagi pengadilan internasional di masa depan, termasuk Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). Â
Dari perspektif kemanusiaan, Nuremberg mengingatkan kita pada kebutuhan untuk terus menjaga hati nurani kita tetap hidup, bahkan di tengah kekacauan. Dunia mungkin tidak pernah sepenuhnya adil, tetapi Nuremberg menunjukkan bahwa kita bisa, dan harus, berusaha ke arah itu. Â
Di sinilah letak keindahan pengadilan ini, bukan pada kesempurnaan penerapannya, tetapi pada keberaniannya untuk memulai langkah dalam melindungi hak asasi manusia. Karena tanpa usaha untuk mencari keadilan, kita hanya akan tenggelam dalam lautan amnesia moral.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H