Mohon tunggu...
Thoriq Ahmad Taqiyuddin
Thoriq Ahmad Taqiyuddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Audaces Fortuna Iuvat

Hidup dimulai dari mimpi, dilanjutkan dengan membaca, memetakan, merencanakan, melaksanakan lalu terus berimprovisasi.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Penonton Kecewa dengan Debat Pilgub Jakarta 2024, Minim Adu Gagasan dan Menunjukan Krisis Politik Jakarta

7 Oktober 2024   23:11 Diperbarui: 8 Oktober 2024   07:13 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jakarta 2024 telah memasuki babak pertama debat publik pada hari Minggu kemarin. Debat Calon Gubernur Jakarta 2024 ini diselenggarakan di JIExpo Kemayoran. Debat yang mempertemukan tiga pasangan calon, yaitu Ridwan Kamil-Suswono, Dharma Pongrekun-Kun Wardana, dan Pramono Anung-Rano Karno, berlangsung selama dua jam, tetapi meninggalkan banyak kekecewaan bagi para penonton, baik yang hadir di tempat ataupun yang menonton di televisi.

 Bukan karena kurangnya durasi atau format yang tidak sesuai, tetapi lebih pada substansi yang dihadirkan dalam forum yang seharusnya menjadi ajang adu gagasan dan visi bagi masa depan Jakarta.

Debat Pilkada Jakarta kali ini seakan berjalan di permukaan saja, tanpa ada perdebatan sengit yang lebih mendalam. Padahal, perdebatan sengit yang biasanya menjadi daya tarik utama Pilkada Jakarta. 

Pengamat politik, seperti Direktur Eksekutif Aljabar Strategic, Arifki Chaniago, dan Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro, turut angkat bicara, menyebutkan bahwa dinamika debat perdana kali ini jauh dari harapan. Mereka menilai minimnya adu gagasan antar kandidat menjadi tanda turunnya standar kompetisi politik di Jakarta.

Jika dibandingkan dengan Pilgub Jakarta 2017, atmosfer Pilgub kali ini terasa jauh berbeda. Pada 2017, debat publik yang mempertemukan Anies Baswedan, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dan Agus Harimurti Yudhoyono dipenuhi dengan ketegangan, perdebatan sengit, serta adu argumentasi yang kuat. 

Publik disuguhkan berbagai gagasan yang saling bertentangan, yang membuka ruang bagi pemilih untuk menilai secara kritis visi dan misi dari para kandidat.

Pasangan Ridwan-Suswono. sumber gambar: Nasional Tempo
Pasangan Ridwan-Suswono. sumber gambar: Nasional Tempo

Namun, dalam debat Pilkada 2024 ini, suasana tersebut tampak tidak ada. Arifki Chaniago mengataka bahwa tidak ada serangan atau sanggahan yang berarti antara para kandidat. Padahal, debat seharusnya menjadi ajang bagi setiap calon untuk mengkritik atau menantang gagasan lawan, sekaligus memperkuat argumen mereka sendiri. 

Bukannya memperdebatkan ide, ketiga pasangan justru lebih sering memaparkan program masing-masing tanpa menanggapi argumen lawan.

Ini terlihat jelas pada momen ketika Suswono, pasangan dari Ridwan Kamil, diberi kesempatan untuk menanggapi gagasan Dharma Pongrekun dan Kun Wardana. Alih-alih menyampaikan kritik atau sanggahan, Suswono memilih untuk kembali mempresentasikan programnya sendiri, seolah tidak ada perbedaan ide di antara ketiga pasangan yang bertarung. Hal ini tentu menimbulkan kekecewaan, mengingat publik mengharapkan adanya diskusi yang lebih substansial dan produktif.

Pasangan Pram-Doel. sumber gambar : Jawa Pos
Pasangan Pram-Doel. sumber gambar : Jawa Pos

Salah satu faktor yang dinilai turut berkontribusi dalam minimnya adu gagasan adalah ketiadaan petahana dalam Pilgub kali ini. Dalam Pilgub Jakarta 2017, Ahok yang kala itu menjadi petahana harus berhadapan dengan berbagai kritik tajam dari para pesaingnya. 

Keberadaan petahana kerap kali memicu kandidat lain untuk melontarkan kritik yang tajam sebagai bentuk serangan terhadap kebijakan dan program yang telah berjalan.

Namun, dalam Pilgub 2024 ini, tidak ada petahana yang dapat menjadi sasaran kritik. Ini membuat para kandidat lebih memilih untuk memaparkan program mereka tanpa ada urgensi untuk menyerang atau mempertahankan diri dari serangan lawan. 

Agung Baskoro menambahkan bahwa ketiadaan petahana membuat situasi menjadi lebih dingin karena tidak ada pasangan calon yang merasa perlu untuk berdebat sengit mempertahankan atau menyerang gagasan.

Pasangan Dharma-Kun. sumber gambar: Bisnis.com
Pasangan Dharma-Kun. sumber gambar: Bisnis.com

Selain itu, ketiga pasangan calon yang bertarung juga tidak memposisikan diri sebagai oposisi. Agung menjelaskan bahwa baik Pramono Anung-Rano Karno, Ridwan Kamil-Suswono, maupun Dharma Pongrekun-Kun Wardana memiliki hubungan atau kedekatan dengan Istana. Ridwan Kamil, misalnya, sudah lama dikenal sebagai salah satu tokoh yang memiliki kedekatan dengan lingkaran pemerintahan. 

Begitu pula dengan Pramono Anung, yang merupakan bagian dari kabinet pemerintahan saat ini. Dharma Pongrekun, meskipun disebut-sebut sebagai pasangan independen, juga memiliki latar belakang di kepolisian yang tidak jauh dari pemerintah.

Hal ini membuat tidak ada kandidat yang secara eksplisit memposisikan diri sebagai oposisi, yang biasanya memiliki peran penting dalam membawa kritik tajam terhadap status quo. Ketiga pasangan calon justru terlihat seperti berlomba-lomba untuk menonjolkan diri sebagai kandidat yang mampu melanjutkan kebijakan pemerintah pusat, tanpa ada yang benar-benar berani tampil berbeda.

Debat Pilgub Jakarta 2024 tidak hanya menunjukan dinamika politik yang sedang terjadi di Jakarta, tetapi juga berkaitan erat dengan situasi politik nasional. Arifki Chaniago menyinggung posisi politik PDIP yang hingga kini masih belum jelas dalam pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming yang akan datang. 

Mungkin, hal ini jadi salah satu alasan mengapa pasangan Pramono Anung-Rano Karno, yang berasal dari PDIP, terlihat enggan untuk menyerang secara tajam pasangan Ridwan Kamil-Suswono, yang juga memiliki hubungan dengan Istana.

Tidak dapat dipungkiri, Pilgub Jakarta kali ini akan menjadi barometer penting bagi kekuatan politik nasional, terutama bagi PDIP dan koalisi pemerintah Prabowo-Gibran. Pertemuan yang dikabarkan akan terjadi antara Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto kemungkinan besar akan mempengaruhi sikap politik dari para kandidat dalam Pilgub Jakarta. 

Jika PDIP akhirnya memutuskan untuk bergabung dalam pemerintahan Prabowo-Gibran, hal ini bisa memperkuat kesan bahwa Pilgub Jakarta lebih merupakan ajang pertarungan internal daripada kompetisi ideologis yang sejati.

Tidak mengherankan jika gaya debat yang minim serangan antar kandidat diprediksi akan terus berlanjut pada debat-debat berikutnya. Dalam kondisi politik yang sedemikian cair dan penuh dengan kompromi, adu gagasan mungkin bukan lagi menjadi prioritas utama bagi para kandidat.

Minimnya adu gagasan dalam debat Pilgub Jakarta 2024 bagi sebagian orang diahggap lebih dari sekadar gagasan pokok yang dapat dinikmati, tapi juga pertahanan diri dari tiap paslon untuk memulai perdebatan sengit. Debat tadi malam menunjukkan krisis yang lebih dalam dalam politik Jakarta, di mana pemilih tidak lagi disuguhkan dengan pilihan gagasan yang jelas dan berbeda. Padahal, Jakarta sebagai ibu kota negara merupakan pusat dari berbagai isu kompleks yang memerlukan solusi-solusi yang berani dan inovatif. Mulai dari masalah kemacetan, polusi udara, banjir, hingga tata kelola urban yang berkelanjutan, semuanya membutuhkan ide dan gagasan yang matang dan disajikan lewat perdebatan yang produktif.

Sayangnya, debat pertama ini menunjukkan bahwa para kandidat cenderung menghindari perdebatan substantif. Alih-alih menguji dan mengadu gagasan, mereka lebih memilih untuk menyampaikan program mereka tanpa memperhatikan perbedaan ide di antara para pesaing. Ini membuat publik sulit untuk melihat perbedaan yang signifikan antara ketiga pasangan calon.

Yang paling disayangkan, tentu saja, adalah hilangnya kesempatan bagi pemilih untuk menilai secara kritis visi dan misi dari setiap pasangan calon. Tanpa adanya perdebatan yang tajam, pemilih terpaksa harus mengandalkan janji-janji program yang disampaikan secara sepihak oleh masing-masing pasangan, tanpa adanya uji coba atau verifikasi dari pihak lawan.

Debat perdana Pilgub Jakarta 2024 meninggalkan banyak kekecewaan karena minimnya adu gagasan dan dinamika yang lemah di antara para kandidat. Ketiadaan petahana dan oposisi membuat debat ini kehilangan ketegangan yang biasa muncul dalam ajang politik sebesar Pilkada Jakarta. 

Sementara pengaruh politik nasional turut mempengaruhi sikap para kandidat yang cenderung menjaga hubungan dengan pemerintah pusat.

Jika pola ini terus berlanjut, Pilgub Jakarta 2024 mungkin kehilangan esensi dari sebuah demokrasi, di mana perdebatan ide seharusnya menjadi inti dari kompetisi politik. Bagi para pemilih Jakarta, debat-debat berikutnya harus diharapkan menjadi lebih hidup, dengan perdebatan yang lebih substansial agar kita semua bisa melihat siapa calon pemimpin terbaik untuk Jakarta yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun