Mohon tunggu...
Thoriq Ahmad Taqiyuddin
Thoriq Ahmad Taqiyuddin Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca, Penulis dan Analis Sosial

Hidup dimulai dari mimpi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Generasi Boomers Memimpin AS, Bill Clinton, George W Bush, dan Donald Trump

7 Oktober 2024   21:08 Diperbarui: 7 Oktober 2024   21:26 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 sumber gambar : rollcall.com

Pada tanggal 5 November 2024 mendatang, Amerika Serikat akan sekali lagi menentukan siapa yang akan duduk di Gedung Putih, Pilpres 2024 yang akan segera diselenggarakan di Amerika Serikat. Kali ini, persaingan sengit terjadi antara Wakil Presiden Kamala Harris dan mantan Presiden Donald Trump, yang dengan segala isu hangat dan perdebatan keras dan saling serang untuk memimpin negeri Adidaya Amerika Serikat.

Tanpa melupakan sejarah, Pilpres 2024 kali ini membawa kita kembali mengingat pada berbagai pemimpin AS di masa sebelumnya, khususnya tiga presiden yang lahir pada tahun 1946, yakni Bill Clinton, George W. Bush, dan Donald Trump. Ketiganya bukan hanya sosok penting dalam sejarah politik Amerika, tetapi juga produk dari satu generasi yang menghadapi tantangan global yang hampir serupa.

Tiga nama besar dalam sejarah politik Amerika Serikat, Bill Clinton, George W. Bush, dan Donald Trump, memiliki sesuatu yang tidak biasa, yaitu secara kebetulan lahir pada tahun yang sama, yakni 1946 dan memimpin AS di periode waktu yang hampir beriringan, kecuali Trump yang masa kepemimpinannya terseling oleh Barrack Obama, sang Presiden kulit hitam pertama dalam sejarah AS.

Bagi saya, tahun kelahiran ini bukan sekedar kebetulan angka. Kelahiran mereka di era pasca-Perang Dunia II menjadikan mereka masuk ke dalam bagian dari generasi baby boomer, generasi yang menikmati kemakmuran ekonomi, mobilitas sosial yang meningkat, dan juga perubahan sosial yang begitu dramatis. 

Namun, di luar kesamaan tanggal lahir, apa yang membuat mereka serupa? Dan lebih jauh lagi, bagaimana cara mereka memimpin dan warisan yang mereka tinggalkan mencerminkan generasi ini?

Lahir hanya beberapa bulan terpisah, Clinton, Bush, dan Trump tumbuh dalam konteks Amerika yang penuh dinamika. Mereka menjadi dewasa di tahun 1960-an, era yang penuh dengan pergolakan sosial, seperti pergerakan hak-hak sipil, pemberontakan budaya anak muda, hingga protes besar-besaran terhadap Perang Vietnam. Seiring mereka beranjak dewasa, mungkin mereke melihat AS sebagai kekuatan yang merajai dunia, namun juga terpecah di dalam.

Ketika masing-masing dari mereka menduduki jabatan presiden, Amerika berada di tengah-tengah perubahan global yang cepat. Clinton memimpin di era ekspansi ekonomi yang luar biasa, Bush dihadapkan pada salah satu krisis teror terbesar dalam sejarah AS, dan Trump memerintah dalam lanskap politik yang sangat terpolarisasi dan penuh tidak terduga. Namun, satu hal yang jelas, ketiganya mewarisi Amerika di saat-saat yang penuh dengan ketidakpastian global dan domestik.

Bill Clinton, yang menjabat dari 1993 hingga 2001, menjadi presiden di era yang sering dilihat sebagai periode kebangkitan ekonomi besar-besaran. Di bawah pemerintahannya, AS mengalami surplus anggaran untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade. Clinton membawa pendekatan yang lebih modern terhadap pemerintahan, menggabungkan kebijakan sosial liberal dengan reformasi ekonomi berbasis pasar.

Namun, terlepas dari kesuksesan ekonomi, pemerintahannya tidak bebas dari kontroversi. Clinton terperangkap dalam skandal seksual dengan Monica Lewinsky, yang memunculkan pemakzulan pertamanya. Ini adalah momen di mana moralitas pribadi pemimpin diuji secara publik, sesuatu yang terus menjadi relevan dalam politik modern. Walaupun Clinton berhasil menyelesaikan dua periode dengan cukup baik, skandal tersebut selamanya membayangi warisan politiknya.

Kesuksesan dan kontroversi ini menggarisbawahi sifat dualistik Clinton. Di satu sisi, ia adalah politisi yang cerdas, pragmatis, dan sering kali berfokus pada hasil ekonomi yang konkret. Di sisi lain, ia memperlihatkan sisi manusia yang mudah tersandung oleh kesalahan pribadi.

Ketika George W. Bush menggantikan Clinton pada 2001, dunia berubah dengan cepat. Hanya delapan bulan setelah menjabat, Bush harus menghadapi serangan 9/11, peristiwa yang mengubah arah politik global dan domestik AS. 

Serangan ini memaksa AS untuk beralih dari periode damai di bawah Clinton menuju peperangan yang tak berkesudahan. Bush melancarkan apa yang dikenal sebagai "War on Terror," dengan invasi ke Afghanistan dan Irak yang mendominasi dua periode kepemimpinannya.

Namun, seiring dengan berlangsungnya perang, terutama di Irak, kritik terhadap pemerintahannya mulai meningkat. Banyak yang mempertanyakan alasan invasi Irak, terutama setelah tidak ditemukan senjata pemusnah massal yang dijadikan alasan awal perang. 

Perang ini merusak citra AS di mata internasional dan menyebabkan pengurasan besar-besaran sumber daya negara. Di dalam negeri, Amerika pun semakin terpecah antara pendukung dan penentang perang.

Pada akhir masa jabatan Bush, AS menghadapi krisis ekonomi terbesar sejak Depresi Besar: krisis finansial 2008. Kebijakan deregulasi di sektor perbankan dan keuangan yang diadopsi pemerintahannya dianggap menjadi salah satu penyebab utama runtuhnya pasar perumahan dan memicu krisis global. 

Pada akhirnya, meski Bush memenangkan dua pemilihan, warisannya sebagai presiden sering kali terfokus pada perang yang tak selesai dan krisis ekonomi yang menghancurkan banyak keluarga Amerika.

Jika Clinton dan Bush mewakili dua sisi Amerika yang berusaha menemukan keseimbangan antara pragmatisme dan konservatisme, Donald Trump mewakili kebangkitan populisme dan politik identitas yang membelah masyarakat. Pada 2016, Trump memenangkan kursi presiden dengan mengusung slogan "Make America Great Again," sebuah pesan yang penuh nostalgia namun juga polarisasi. 

Banyak yang melihat Trump sebagai politisi yang secara eksplisit memainkan emosi kelas pekerja yang merasa ditinggalkan oleh globalisasi.

Kepemimpinan Trump sangat berbeda dari Clinton dan Bush. Sebagai pebisnis yang tidak memiliki pengalaman politik, dia mengambil pendekatan langsung dan sering kali tidak konvensional terhadap pemerintahan. 

Hal ini tercermin dalam kebijakan luar negerinya, seperti negosiasi langsung dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un, dan dalam kebijakan domestik seperti deregulasi besar-besaran di berbagai sektor industri.

Namun, warisan Trump lebih diingat karena kontroversi politik dan sosial yang ia ciptakan. Sejak awal pemerintahannya, Trump diselimuti oleh tuduhan kolusi dengan Rusia, yang menyebabkan penyelidikan panjang oleh FBI dan pemakzulan pertamanya. Kemudian, pada akhir masa jabatannya, Trump menghadapi pemakzulan kedua, kali ini terkait serangan terhadap Capitol oleh pendukungnya yang tidak puas dengan hasil Pemilu 2020. Polarisasi politik di bawah kepemimpinannya mencapai titik yang belum pernah terjadi sebelumnya di Amerika modern.

Meskipun latar belakang politik dan gaya kepemimpinan mereka berbeda, ada satu benang merah yang menghubungkan Clinton, Bush, dan Trump, yaitu kontroversi besar selama masa jabatan mereka. Clinton dengan skandal Lewinsky, Bush dengan perang Irak yang kontroversial dan krisis ekonomi, serta Trump dengan serangan Capitol dan dua kali pemakzulan. 

Ketiganya menghadapi tantangan yang secara langsung memengaruhi cara orang Amerika memandang institusi kepresidenan dan demokrasi itu sendiri.

Yang menarik adalah bagaimana setiap presiden ini mengelola kontroversi yang melekat pada masa kepemimpinan mereka. Clinton berhasil melewati masa pemakzulan dan tetap memiliki popularitas tinggi hingga hari ini. 

Bush, meskipun di akhir kepemimpinannya terjun bebas dalam peringkat popularitas, berhasil menjaga kehormatan dan mulai mendapat pandangan yang lebih positif di tahun-tahun setelahnya. Trump, di sisi lain, terus menimbulkan polarisasi besar bahkan setelah meninggalkan Gedung Putih, dengan banyak pendukung setianya tetap membela setiap kebijakannya.

Ketiga presiden ini juga menghadapi tantangan besar dalam kebijakan luar negeri. Clinton mencoba menjadi mediator global, terutama dalam konflik Timur Tengah dan Balkan. Bush mengalihkan fokus AS ke perang global melawan terorisme, dan Trump mengambil pendekatan "America First" yang mengutamakan kepentingan domestik di atas keterlibatan global. Mereka sama-sama menandai era di mana Amerika mencoba menyesuaikan diri dengan dunia yang berubah dengan cepat, baik itu dari segi teknologi, politik, atau ekonomi.

Namun, meskipun kebijakan mereka beragam, hasilnya sama: Amerika tetap berada di pusat panggung global, meskipun dengan reputasi yang berfluktuasi di mata dunia. Clinton dianggap sebagai pejuang diplomasi, Bush sebagai figur yang memicu perang yang tak berakhir, dan Trump sebagai disruptor yang menantang norma-norma internasional.

Sebagai bagian dari generasi baby boomer, Clinton, Bush, dan Trump mewarisi Amerika yang berubah drastis dari masa muda mereka. Mereka adalah generasi yang menikmati hasil dari kemakmuran pasca-Perang Dunia II, namun juga menyaksikan pergolakan sosial yang memecah belah. Ini mungkin menjelaskan mengapa mereka menghadapi tantangan besar saat memimpin negara: mereka mencoba menavigasi masa-masa ketidakpastian yang mendefinisikan era modern.

Clinton dikenang sebagai presiden yang memimpin era kemakmuran ekonomi, Bush sebagai presiden perang, dan Trump sebagai presiden yang membawa populisme ke puncak kekuasaan. Namun, dalam satu hal mereka serupa: ketiganya akan selalu menjadi figur yang mendefinisikan perubahan besar di Amerika Serikat, baik di bidang ekonomi, sosial, maupun politik. 

Terakhir, mereka juga menunjukkan bahwa menjadi presiden di era modern Amerika adalah pekerjaan yang lebih dari sekadar menjadi seorang pemimpin. Ini adalah pertarungan terus-menerus melawan kontroversi, kebijakan yang berubah-ubah, dan dunia yang semakin tidak pasti.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun