Meskipun latar belakang politik dan gaya kepemimpinan mereka berbeda, ada satu benang merah yang menghubungkan Clinton, Bush, dan Trump, yaitu kontroversi besar selama masa jabatan mereka. Clinton dengan skandal Lewinsky, Bush dengan perang Irak yang kontroversial dan krisis ekonomi, serta Trump dengan serangan Capitol dan dua kali pemakzulan.Â
Ketiganya menghadapi tantangan yang secara langsung memengaruhi cara orang Amerika memandang institusi kepresidenan dan demokrasi itu sendiri.
Yang menarik adalah bagaimana setiap presiden ini mengelola kontroversi yang melekat pada masa kepemimpinan mereka. Clinton berhasil melewati masa pemakzulan dan tetap memiliki popularitas tinggi hingga hari ini.Â
Bush, meskipun di akhir kepemimpinannya terjun bebas dalam peringkat popularitas, berhasil menjaga kehormatan dan mulai mendapat pandangan yang lebih positif di tahun-tahun setelahnya. Trump, di sisi lain, terus menimbulkan polarisasi besar bahkan setelah meninggalkan Gedung Putih, dengan banyak pendukung setianya tetap membela setiap kebijakannya.
Ketiga presiden ini juga menghadapi tantangan besar dalam kebijakan luar negeri. Clinton mencoba menjadi mediator global, terutama dalam konflik Timur Tengah dan Balkan. Bush mengalihkan fokus AS ke perang global melawan terorisme, dan Trump mengambil pendekatan "America First" yang mengutamakan kepentingan domestik di atas keterlibatan global. Mereka sama-sama menandai era di mana Amerika mencoba menyesuaikan diri dengan dunia yang berubah dengan cepat, baik itu dari segi teknologi, politik, atau ekonomi.
Namun, meskipun kebijakan mereka beragam, hasilnya sama: Amerika tetap berada di pusat panggung global, meskipun dengan reputasi yang berfluktuasi di mata dunia. Clinton dianggap sebagai pejuang diplomasi, Bush sebagai figur yang memicu perang yang tak berakhir, dan Trump sebagai disruptor yang menantang norma-norma internasional.
Sebagai bagian dari generasi baby boomer, Clinton, Bush, dan Trump mewarisi Amerika yang berubah drastis dari masa muda mereka. Mereka adalah generasi yang menikmati hasil dari kemakmuran pasca-Perang Dunia II, namun juga menyaksikan pergolakan sosial yang memecah belah. Ini mungkin menjelaskan mengapa mereka menghadapi tantangan besar saat memimpin negara: mereka mencoba menavigasi masa-masa ketidakpastian yang mendefinisikan era modern.
Clinton dikenang sebagai presiden yang memimpin era kemakmuran ekonomi, Bush sebagai presiden perang, dan Trump sebagai presiden yang membawa populisme ke puncak kekuasaan. Namun, dalam satu hal mereka serupa: ketiganya akan selalu menjadi figur yang mendefinisikan perubahan besar di Amerika Serikat, baik di bidang ekonomi, sosial, maupun politik.Â
Terakhir, mereka juga menunjukkan bahwa menjadi presiden di era modern Amerika adalah pekerjaan yang lebih dari sekadar menjadi seorang pemimpin. Ini adalah pertarungan terus-menerus melawan kontroversi, kebijakan yang berubah-ubah, dan dunia yang semakin tidak pasti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H