Ketika George W. Bush menggantikan Clinton pada 2001, dunia berubah dengan cepat. Hanya delapan bulan setelah menjabat, Bush harus menghadapi serangan 9/11, peristiwa yang mengubah arah politik global dan domestik AS.Â
Serangan ini memaksa AS untuk beralih dari periode damai di bawah Clinton menuju peperangan yang tak berkesudahan. Bush melancarkan apa yang dikenal sebagai "War on Terror," dengan invasi ke Afghanistan dan Irak yang mendominasi dua periode kepemimpinannya.
Namun, seiring dengan berlangsungnya perang, terutama di Irak, kritik terhadap pemerintahannya mulai meningkat. Banyak yang mempertanyakan alasan invasi Irak, terutama setelah tidak ditemukan senjata pemusnah massal yang dijadikan alasan awal perang.Â
Perang ini merusak citra AS di mata internasional dan menyebabkan pengurasan besar-besaran sumber daya negara. Di dalam negeri, Amerika pun semakin terpecah antara pendukung dan penentang perang.
Pada akhir masa jabatan Bush, AS menghadapi krisis ekonomi terbesar sejak Depresi Besar: krisis finansial 2008. Kebijakan deregulasi di sektor perbankan dan keuangan yang diadopsi pemerintahannya dianggap menjadi salah satu penyebab utama runtuhnya pasar perumahan dan memicu krisis global.Â
Pada akhirnya, meski Bush memenangkan dua pemilihan, warisannya sebagai presiden sering kali terfokus pada perang yang tak selesai dan krisis ekonomi yang menghancurkan banyak keluarga Amerika.
Jika Clinton dan Bush mewakili dua sisi Amerika yang berusaha menemukan keseimbangan antara pragmatisme dan konservatisme, Donald Trump mewakili kebangkitan populisme dan politik identitas yang membelah masyarakat. Pada 2016, Trump memenangkan kursi presiden dengan mengusung slogan "Make America Great Again," sebuah pesan yang penuh nostalgia namun juga polarisasi.Â
Banyak yang melihat Trump sebagai politisi yang secara eksplisit memainkan emosi kelas pekerja yang merasa ditinggalkan oleh globalisasi.
Kepemimpinan Trump sangat berbeda dari Clinton dan Bush. Sebagai pebisnis yang tidak memiliki pengalaman politik, dia mengambil pendekatan langsung dan sering kali tidak konvensional terhadap pemerintahan.Â
Hal ini tercermin dalam kebijakan luar negerinya, seperti negosiasi langsung dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un, dan dalam kebijakan domestik seperti deregulasi besar-besaran di berbagai sektor industri.
Namun, warisan Trump lebih diingat karena kontroversi politik dan sosial yang ia ciptakan. Sejak awal pemerintahannya, Trump diselimuti oleh tuduhan kolusi dengan Rusia, yang menyebabkan penyelidikan panjang oleh FBI dan pemakzulan pertamanya. Kemudian, pada akhir masa jabatannya, Trump menghadapi pemakzulan kedua, kali ini terkait serangan terhadap Capitol oleh pendukungnya yang tidak puas dengan hasil Pemilu 2020. Polarisasi politik di bawah kepemimpinannya mencapai titik yang belum pernah terjadi sebelumnya di Amerika modern.