Di sisi lain, selebritas sering kali hanya menjadi wajah partai, tanpa peran signifikan dalam pengambilan keputusan. Ini membuat mereka rentan menjadi alat partai, bukan sebagai wakil rakyat yang sebenarnya.
Dengan semakin banyaknya selebritas yang masuk ke dunia politik, kita perlu bertanya, apakah ini pertanda krisis representasi? Jika pemilih terus memilih hanya berdasarkan popularitas, kita mungkin akan melihat penurunan kualitas legislasi.
Solusi yang mungkin adalah memperkuat pondasi bagi pendidikan politik bagi masyarakat, agar pemilih lebih memahami tugas dan tanggung jawab seorang legislator. Media juga harus lebih bertanggung jawab dalam memberikan informasi mendalam tentang kandidat, tidak hanya mengandalkan popularitas mereka.
Masuknya 25 selebritas ke parlemen periode 2024-2029 menunjukkan bahwa popularitas memainkan peran besar dalam demokrasi kita. Namun, untuk memastikan demokrasi yang sehat, kita membutuhkan pemimpin yang tidak hanya populer, tapi juga kompeten dan mampu menjalankan tugas mereka dengan baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H