Mohon tunggu...
Thoriq Ahmad Taqiyuddin
Thoriq Ahmad Taqiyuddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Audaces Fortuna Iuvat

Hidup dimulai dari mimpi, dilanjutkan dengan membaca, memetakan, merencanakan, melaksanakan lalu terus berimprovisasi.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Artificial Love (Cinta Buatan)

20 Oktober 2022   01:24 Diperbarui: 20 Oktober 2022   01:29 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membeludaknya informasi yang tak sanggup untuk dicerna oleh pikiran kita membuat keresahan meningkat, karna ketidakmampuan kita mengiringi proses berfikir dengan arus informasi. Dalam kondisi seperti ini, keheningan dan kesunyianlah yang kita butuhkan untuk tetap hidup.

Semua orang menjadi semakin gila dengan keinginan yang tidak tertahankan, mobil mewah, rumah megah, kisah cinta ideal dan berbagai kehidupan fana yang kita cerna dengan mentah. 

Akhirnya semua orang memainkan peran yang tak seharusnya mereka mainkan. Sadar ataupun tidak sadar, mereka ter setting untuk menjadi seorang manusia ideal yang layak  mendapatkan apapun yang mereka inginkan di dunia.

Begitupun pengalaman cinta yang selayaknya dimaknai sebagaimana pengalaman spiritual, kehilangan esensinya menjadi sebuah kisah cinta yang sedap untuk didengarkan oleh siapa saja. Air mata jadi hal yang mudah untuk kita temukan di pojok-pojok toko kopi. 

Curhatan beralih jadi keluhan akan keinginan untuk memenuhi standar kasih sayang yang distandarisasi. Tagar #relatioshipgoals menjadi doktrin paling lumrah untuk memaksa sepasang kekasih untuk menampilkan kehidupan cintanya sebagai kisah cinta paling ideal di muka bumi.

Namun sayang, diantara tontonan yang kemudian menjadi tuntunan dan tuntutan oleh banyak orang dalam memandang cinta, kehidupan cinta menjadi semakin garing dan kehilangan saripatinya. Pengalaman mencintai ataupun icintai sudah jadi konsumsi yang kehilangan maknanya, gaun keindahannya sirna dan kepuasan untuk merasakannya pun sirna ditelan bumi.

Sepasang kekasih dengan mudahnya kehilangan arti dari perasan yang mereka jalani setelah beranjak 3 bulan dalam proses saling mencintai. 

Semua pihak menjadi korban ketidakbahagiaan dari timbal balik kehidupan cinta yang berjalan tanpa keindahan. Semua terstandarisasi dan kehidupan cinta menjadi rupa tanpa makna, wujud tanpa rasa, dan gairah tanpa ketenangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun