Mohon tunggu...
Thoriq Ahmad Taqiyuddin
Thoriq Ahmad Taqiyuddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Audaces Fortuna Iuvat

Hidup dimulai dari mimpi, dilanjutkan dengan membaca, memetakan, merencanakan, melaksanakan lalu terus berimprovisasi.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Artificial Love (Cinta Buatan)

20 Oktober 2022   01:24 Diperbarui: 20 Oktober 2022   01:29 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pengalaman mengasihi dan dikasihi yang terinduksi dalam diri seorang manusia dewasa membuat kita sadar kalau perasaan ini adalah repetisi dari perasaan kita di masa kecil. 

Keyakinan kita untuk mencintai tidak sadar adalah hasil dari pengalaman di masa lalu, yaitu kesadaran kasih sayang yang pernah kita alami dan rasakan di masa kecil.

Artificial Love secara harfiah dapat diartikan sebagai Cinta Buatan. Memang, dalam memandang cinta ini semua orang memiliki sudut pandangnya masing-masing. 

Semua orang bebas bicara, karna perasaaan ini adalah salah satu ekspresi kebebeasan yang dimiliki oleh manusia. Sejak kita dilahirkan dan mulai menyadari kalau kebiasaan, kepedulian, perhatian dan pemberian tumbuh bersama dengan kasih sayang, disana kita menyadari kalau cinta bersemi diantara semuanya.

Hanya saja seperti 2 sisi koin, perasaan ini memiliki 2 spektrum yang saling bertolak belakang. Di satu sisi ia adalah keindahan, namun di sisi yang lain ia adalah derita yang tak kunjung usai. 

Dimanapun kita duduk, selalu ada sepasang telinga yang sedang khusyuk mendengarkan curhatan rekannya yang sedang kasmaran ataupun patah hati.

Cinta adaah sebuah pengalaman yang tidak dapat digeneralisasi menjadi satu perwujudan tertentu. Sebuah pengalaman yang unik dan memaksa kita untuk terus bereksplorasi dengannya, menciptakan kejutan bersama seorang yang kita cintai ataupun sekedar mengikuti romansa cinta khas tayangan televise dan lagu yang sering kita dengarkan.

Voltaire pernah mengatakan kalau "Cinta adalah kemenangan kebodohan atas akal". Saya sependapat dengan pernyataan ini. Kesadaran kita akan menurun bersama seorang yang kita cintai. 

Keinginan kita untuk bersama mengalahkan segala keinginan lain yang kita rasakan dalam ambisi akal dan logika kita. Kegilaan adalah hal  terakhir yang kita rasakan saat mengalami jatuh cinta.

Melihat dunia modern dengan pesatnya arus informasi, dan terbanjirinya kita dengan informasi-informasi yang tidak kita maksudkan membuat imajinasi kita tentang suatu hal menjadi sangatlah tinggi. Keinginan kita untuk mencapai puncak dari segala sesuatu menjadi semakin tidak teriringi dengan detil-detil terperinci tentang sebuah hal tertentu.

Keinginan kita untuk menjadi kaya secara instan dengan berbagai investasi model skema Ponzi, ataupun mendapatkan kehidupan cinta ideal selayaknya tayangan populer. 

Membeludaknya informasi yang tak sanggup untuk dicerna oleh pikiran kita membuat keresahan meningkat, karna ketidakmampuan kita mengiringi proses berfikir dengan arus informasi. Dalam kondisi seperti ini, keheningan dan kesunyianlah yang kita butuhkan untuk tetap hidup.

Semua orang menjadi semakin gila dengan keinginan yang tidak tertahankan, mobil mewah, rumah megah, kisah cinta ideal dan berbagai kehidupan fana yang kita cerna dengan mentah. 

Akhirnya semua orang memainkan peran yang tak seharusnya mereka mainkan. Sadar ataupun tidak sadar, mereka ter setting untuk menjadi seorang manusia ideal yang layak  mendapatkan apapun yang mereka inginkan di dunia.

Begitupun pengalaman cinta yang selayaknya dimaknai sebagaimana pengalaman spiritual, kehilangan esensinya menjadi sebuah kisah cinta yang sedap untuk didengarkan oleh siapa saja. Air mata jadi hal yang mudah untuk kita temukan di pojok-pojok toko kopi. 

Curhatan beralih jadi keluhan akan keinginan untuk memenuhi standar kasih sayang yang distandarisasi. Tagar #relatioshipgoals menjadi doktrin paling lumrah untuk memaksa sepasang kekasih untuk menampilkan kehidupan cintanya sebagai kisah cinta paling ideal di muka bumi.

Namun sayang, diantara tontonan yang kemudian menjadi tuntunan dan tuntutan oleh banyak orang dalam memandang cinta, kehidupan cinta menjadi semakin garing dan kehilangan saripatinya. Pengalaman mencintai ataupun icintai sudah jadi konsumsi yang kehilangan maknanya, gaun keindahannya sirna dan kepuasan untuk merasakannya pun sirna ditelan bumi.

Sepasang kekasih dengan mudahnya kehilangan arti dari perasan yang mereka jalani setelah beranjak 3 bulan dalam proses saling mencintai. 

Semua pihak menjadi korban ketidakbahagiaan dari timbal balik kehidupan cinta yang berjalan tanpa keindahan. Semua terstandarisasi dan kehidupan cinta menjadi rupa tanpa makna, wujud tanpa rasa, dan gairah tanpa ketenangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun