Mohon tunggu...
Thoriq Ahmad Taqiyuddin
Thoriq Ahmad Taqiyuddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Audaces Fortuna Iuvat

Hidup dimulai dari mimpi, dilanjutkan dengan membaca, memetakan, merencanakan, melaksanakan lalu terus berimprovisasi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Khalil Gibran, Keabadian dari Cinta yang Tak Saling Memiliki

10 Mei 2022   05:09 Diperbarui: 10 Mei 2022   13:32 2530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: thehumanfront.com

Melihat beranda Instagram, kita pasti seringkali melihat kutipan Khalil Gibran bertebaran di explore instagram dengan ribua, atau justru jutaan like di tiap postingannya. 

Bagi kalian yang telah mengenal siapakah dia, ataupun telah membaca salah satu dari karya syairnya yang fenomenal mungkin cukup mengerti mengapa Kahlil Gibran begitu digandrungi, tapi bagi kalian yang belum cukup mengenalinya, saya akan menuliskan selayang pandang tentang perjalanan hidup, karya dan kisah cintanya yang begitu inspiratif.

Khalil Gibran adalah seorang pelukis dan penyair terkenal di era 1900an, lahir di Lebanon pada tanggal 6 Januari 1883. 

Seorang penyair apik, yang melahirkan banyak cerpen serta puisi romantis, yang sarat akan makna religi. Mengandung kritik sosial yang tersampaikan secara lembut dan humanis. 

Kelihaian Kahlil Gibran dalam merangkai kata, tersampaikan secara mendalam dan penuh makna, membuat seiap kata yang tersampaikan ibarat udara sejuk di tengah padang pasir yang tandus. Puluhan buku karyanya telah diterbitkan hampir di seluruh dunia. Jutaan orang di dunia telah membaca karyanya

Perjalanan Khalil dalam menghasilkan karyanya tidak lepas dari perjalanan spiritual yang ia tempuh dalam hidupnya. Melakukan hijrah ke Amerika namun tetap melabuhkan hatinya di Lebanon, negri dimana ia dilahirkan. 

Terlahir sampai menginggal dalam agama Kristen, namun mengakui Muhammad sebagai panutan hidupnya, bahkan menjadikan Al-Quran sebagai panduan hidupnya. Begitupun perjalanan cintanya, warna-warni kehidupan yang sangat inspiratif, namun juga penuh ironi.

Beberapa wanita pernah masuk dalam perjalanan cinta sang penyair. Mereka adalah wanita-wanita yang pernah Khalil cintai dengan silih berganti. Wanita-wanita inilah yang menjadi subjek penggambaran Khalil tentang cinta yang ia tuliskan dalam banyak buku, lagu dan puisi karyanya.

Wanita pertama yang Khalil begitu cintai adalah Hala Dahir, keduanya saling jatuh cinta di usia yang relatif muda, yaitu 18 tahun. Sosok wanita yang Khalil rasa telah mengambil kesunyiannya yang ada dalam dirinya menjadi saat-saat bahagia. Juga mengisi malam-malam sunyi lainnya untuk menciptakan musik dan menyanyikan lagu.

Perbedaan kasta dan budaya Lebanon yang di masa itu masih sarat dengan nilai tradisi, menjadi latar ketidaksetujuan Orang tua dari Hala Dahir pada Khalil, sehingga memutuskan untuk menjodohkan Hala pada pria lain. 

Hala mati dalam usia muda, dan ini adalah awal perjalanan cinta dan spiritual dari Khalil Gibran.  Dalam bukunya yang berjudul ‘Broken Wings’ atau ‘Sayap-sayap patah’, Khalil menyamarkan Hala dengan nama Selma Karamy.

Wanita Kedua adalah Mary Haskell, seorang wanita yang memiliki peran penting dalam karyanya yang berjudul ‘The Prophet’ atau dalam terbitan Pversi Indonesia dengan judul ‘Sang Nabi’ yang berkisah tentang agama, kesenangan, kematian dan persahabatan. Ia adalah sahabat dan teman diskusi dari Khalil, sekaligus editor dari tulisan-tulisannya.

Sedang, wanita ketiga  adalah May Ziadah, seorang penulis kelahiran Palestina yang mempelopori banyak tulisan tentang aliran Feminisme Timur, atau Oriental Feminism. Kepada May, Kahlil menjatuhkan hatinya. 

Sebuah kisah cinta antara dua penulis, sekaligus dua penyair yang bekelana di dua Benua yang saling berjauhan. Khalil berada di new York, Amerika Serikat sampai akhir hayatnya, sedangkan May berada di Kairo, Mesir sampai ajal menjemput.

Lewat sepucuk surat, keduanya berkomunikasi selama hampir 20 tahun. Rasa cinta Gibran kepada May mengalir begitu lembut, mesra dan sangat mendalam. Perjalanan cinta inilah yang mengantarkan Khalil pada karya lainnya yang berjudul Love Letters

Kisah cinta ini bermula saat mereka yang mereka jalin awalnya terjadi pada tahun 1912, saat May mengirimkan sebuah surat tentang tokoh dalam buku Kahlil yang berjudul ‘Broken Wings’, atau kita kenal sebagai ‘Sayap-sayap patah’. 

Dalam buku itu, May menuliskan kritiknya kepada sang tokoh utama,  yaitu Selma Karameh. May tersentuh dengan kisah cita yang dibawakan oleh Khali namun ia merasa kalau penggambaran tentang Selma Karameh terlalu liberal.

May, berpendapat kalau gambaran Khalil tentang Selma merupakan gambaran rasa ketidakadilan atas hak-hak perempuan. Sejak saat itu, keduanya saling berkirim surat dan menuangkan argumen-argumen dalam surat balasan yang mereka kirimkan. Saat Khalil Gibran berada di Amerika, May sempat menggantikan Mary Haskell menjadi editor dari tulisan-tulisan Khalil.

Kisah cinta antara May dan Gibran memanglah unik, melalui khayalan dan mimpi, mereka membayangkan rasa cinta yang hadir dalam hati masing-masing. 

Dalam masa-masa sulitnya Khalil dan waktu sesaat sebelum Khalil menghadapi kematian, Khalil masih menyempatkan diri untuk  menuliskan surat kepada May, yang tertuliskan “I am, May, a small volcano whose opening has been closed”, sebagai gambaran akan ketakutan kematian yang ia hadapi. Kemudian pada tanggal 10 April 1931, Gibran menghembuskan nafas terakhirnya di New York Hospitals, ia mengalami kompilasi penyakit yang diakibatkan oleh kangker yang menyebar ke hatinya.

Kematian Khalil membuat May merasa sangat kehilangan. Kematian ayah, ibu, sahabat, dan Kahlil Gibran sebagai satu-satunya pria yang May cintai membuat kesehatan tubuh May terganggu dan harus menjalani pengobatan keberbagai negara. 

Beberapa kali ia mencoba untuk bunuh diri, namun berhasil diselamatkan. Seorang sahabatnya juga berhasil membut May memiliki kepercayaan diri lagi, sehingga ia melanjutkan kegiatan menulisnya dan menciptakan karyanya.

Selama sisa hidupnya, may pernah mengisi kuliah umum di American University, di kota Beirut ia menyampaikan tentang ‘Amanah Penulis Bagi Kehidupan Arab’. Namun sisa waktu yang ia miliki membuat May lebih suka menyendiri. Tiga tahun kemudian, yaitu tanggal 19 0ktober 1941  May meninggal dalam kesunyiannya.

Inilah perjalanan cinta antara Khalil Gibran dan May Ziadeh.  Tidak berakhir indah, namun kisah cinta mereka tetaplah abadi dalam lembaran-lebaran surat yang penuh makna, tertuang juga dalam buku Khalil yang berjudul ‘Love Letters’. 

Buku yang diterbitkan saat Khalil telah berpulang. Walau kisah cinta yang mereka jalani tidak bertemu di dunia, keduanya telah menjadi keagungan cinta yang dikenang oleh pengagum sastra di seluruh penjuru dunia. Begitulah cinta, walaupun tidak bisa dimiliki, namun keagungan cinta membuat kisah cinta ini tidak akan pernah mati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun