Mohon tunggu...
Thoriq Ahmad Taqiyuddin
Thoriq Ahmad Taqiyuddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Audaces Fortuna Iuvat

Hidup dimulai dari mimpi, dilanjutkan dengan membaca, memetakan, merencanakan, melaksanakan lalu terus berimprovisasi.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filsafat sebagai Ibu Kandung dari Ilmu Pengetahuan

4 Maret 2022   23:51 Diperbarui: 5 Mei 2022   09:29 2686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Apabila seseorang berkata tentangmu soal filsafat. Apayang kamu fikirkan?

Apa kamu mulai merasa khawatir untuk tergiring pemikiran filsafat dan menjadi berfikiran bebas selayaknya para filsuf yang pernah kamu ketahui?

Atau kamu menjadi tertarik dan ingin mendengarkan lebih dalam tentang cara pandang filsafat yang sedang diceritakan?

Ataukah justru kamu merasa tidak peduli karna tidak berhubungan dengan ilmu-ilmu praktikal yang mudah dipelajari dan tidak membutuhkan cara pandang yang mendalam?

Andai kamu tahu, ketiga cara pandang tersebut dalam menanggapi filsafat adalah salah satu objek yang dibahas dalam filsafat, karnaketiganya mmbahas tentang cara pandang dan sikap.

Apabila berbicara sikap, mungkin sebagian memandang perilaku itu bersifat sadar ataupun tidak sadar. Secara aksi bersifat sadar, namun dari keyakinan yang tertanam di dalam benak kamu memiliki landasan yang sebenarnya cukup filosofis. Keseluruhannya mencerminkan tentang cara pandang orang-orang di sekitarmu dalam menyikapi permasalahan dunia yang cukup kompleks.

Terkait pertanyaan di atas, apabila pandangan kamu yang pertama, saya kamu adalah seorang dari latar belakang penganut konservatifisme. Konservatif berarti melestarikan, sama halnya dengan konservasi, dan alirannya dinamakan konservatifisme. Sikap penolakan kamu terkait filsafat berlandaskan pada kekhawatiran akan perubahan haluan pemikiran yang menjunjung kebebasan, yang memang menjadi salah satu budaya para filsuf, yaitu kebebasan berfikir.

Apabila sikap kamu adalah yang kedua, saya yakin kamu adalah penganut liberalisme. Bisa jadi kamu telah menggolongkan diri ke dalamnya, atau justru kamu baru mengetahuinya dari tulisan ini. Keliaran dari pemikiran yang dilakukan oleh para filsuf telah merubah peradaban. Seperti Komunitas masyarakat yang kamu lihat, pemerintahan yang berkuasa saat ini, baik di daerah ataupun secara nasional dan berbagai keilmuan yang saat ini kamu pelajari di sekolah ataupun Universitas semuanya berasal dari filsafat, dan dimulai dari pertanyaan kenapa?

Memang ada apa dengan pertanyaan ini? Jawabannya ada dalam diri kalian sendiri. Saat kamu merasa cukup tertarik dengan sebuah hal, ataupun ingin mendalami sebuah permasalahan tentu saja pertanyaan ini yang kalian ajukan kepada orang lain kan. Atau bisa jadi pada diri kalian sendiri dalam kondisi kalian yang bermeditasi setelah melakukan kesalahan.

Begitupun segala peradaban dan ilmu pengetahuan yang saat ini kita ketahui, dan bahkan menjadi profesi yang kita lihat sehari-hari, semuanya memiliki latar pemikiran yang mendalam. Adanya dokter sebagai pengelola kesehatan, guru sebagai fasilitator keilmuan, polisi sebagai penjaga keamanan dan tentara sebagai penjaga kedaulatan wilayah. Semuanya memiliki alas an dibalik kehadirannya. Atau bisa juga disebut sebagai nilai esensil.

Banyak ilmuan berkata bahwa filsafat adalah ibu dari semua ilmu pengetahuan, karna filsafat melahirkan banyak disiplin ilmu baru, menjaga pengasuhan mereka, dan, setelah memastikan bahwa setiap disiplin keilmuan telah mencapai usia yang cukup dewasa, melepaskannya untuk berdiri sendiri tanpa pengasuhan saat sebuah keilmuan telah cukup matang. Dengan demikian, setiap ilmu pastilah memiliki asal-usul filosofis.

Dan tentu saja ini argumentasi yang tepat. Dimulai dari pertanyaan kenapa, dan dilanjutkan degan proses untuk mencari kebenaran dari pertanyaan yang kita ajukan itu. Jawabannya bisa jadi beragam, dan varietas dari jawaban itu yang dinamakan probabilitas. Namun yang terpenting adalah proses mencari kebenaran dalam filsafat yang tidak pernah berhenti untuk menemukan titik kebenaran yang mendekati kesepakatan umum.

Keraguan dan kerancuan adalah hal yang didalami dalam keilmuan filsafat, karna kebernaran bisa jadi tidak berlaku secara universal. Sebagai contoh, hukuman mati tidak dibenarkan di banyak di Eropa dan Amerika. Alasannya?

Kalau kita telusuri dari latar sejarah, hukuman mati adalah hukum purba yang masih digunakan hingga era modern. Apabila di masa lalu hukuman dilakukan dengan hukuman gantung dan pancung, kemudian Guilontine (Alat Jagal yang berasal Perancis), di kemudian hari hukuman mati diberlakukan dengan hukum tembak ataupun dengan menyuntikan racun yang mematikan ke dalam tubuh.

Namun seperti sebagaimana banyak orang yakini, hukuman mati adalah cara penghukuman yang cukup primitive, dengan menghilangkan nyawa dari seseorang pelaku kejahatan. Namun kajian tentang kejahatan ini kembali ditanyakan dengan "Mengapa seseorang melakukan kejahatan ini?"

Jawabannya bisa jadi sangat variatif dan kebenaran yang mendekatinya pun relative. Tapi kejahatan yang dilakukan oleh seseorang umumnya berasal dari alam bawah sadar, pengaruh lingkungan social (misalnya dalam kasus konspirasi) dan kebutuhan individu (misalnya dalam kasus perampokan). Kedua hal tersebut adalah dorongan bawah sadar yang terjadi atas kebutuhan dasar seorang manusia, tentu sangat tidak adil untuk menghukum mati seseorang yang terdorong alam bawah sadarnya. Beberapa kasus hukuman mati dinyatakan salah tuduh, sehingga menghukum mati orang yang tidak bersalah, sebagai contoh kasus Collin Campbel, ataupun kasus Timothy Evans.

 Begitupun pandangan yang percaya bahwa tidak ada satupun manusia yang berhak untuk mencabut nyawa orang lain, dan ini berkenaan dengan konsep Hak Asasi Manusia (Human Rights) yang juga berdasarkan landasan filosofis terkait hak hidup dan kekhawatiran akan kemungkinan adanya fitnah di ruang pengadilan.

Terakhir, sikap ketiga seseorang saat mendengar filsafat (yang saya tuliskan di awal). Hal ini merupakan karakter seorang penganut Pragmatisme, yang dalam filsafat pandangan pragmatis cenderung mengedepankan cara-cara yang praktis untuk menggapai tujuan yang maksimal. Bisa jadi ia adalah seorang pedagang yang memiliki urusan untuk memenuhi keperluan materil nya dan tak inggin berjibaku dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis. Tentu saya hanya memperkirakan, hanya pembaca yang mengetahui alasannya masing masing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun