Ada suatu negeri bernama Zim-Zalabim, negeri ini dihuni oleh para penyihir dan manusia biasa. Dulunya mereka hidup berdampingan dengan damai, di negeri ini penyihir dianggap sebagai makhluk abadi karena penyihir tidak akan bisa mati jika tidak dengan keinginannya sendiri.Â
Sampai suatu ketika ada penyihir bernama Alexander, dia jatuh cinta dengan manusia biasa dan rela mengorbankan separuh nyawanya untuk manusia yang dicintai itu.Â
Namun dalam adat penyihir tidak diperbolehkan untuk mencintai manusia biasa apapun alasannya jika dilanggar maka penyihir itu akan dikutuk menjadi batu untuk selama-lamanya, jika tidak mengutuk penyihir itu maka Negeri Zim-Zalabim akan lenyap.
Cerita tersebut sudah tidak asing lagi bagi penduduk Negeri Zim-Zalabim. Semenjak kejadian hari itu kehidupan manusia biasa dan penyirhir dipisah oleh Kek Allan yang merupakan tetua penyihir atau bisa dibilang dengan penyihir sepuh yang masih hidup hingga saat ini, sedangkan para penyihir tidak ada yang berani melawan perintah macam Alexander, meski kejadian itu sudah terjadi berabad-abad yang lalu.Â
Aku masih belum bisa memakai sihir dengan baik jika dibandingkan dengan anak-anak lainnya yang usianya sama denganku, bahkan anak kecil saja bisa menggunakan sihir dengan baik.Â
Oleh karena itu aku sering sekali berkunjungi ke rumah Kek Allan untuk sekedar menemaninya agar tidak kesepian sembari mendalami dan mengatur keseimbangan ilmu sihirku, sihirku masih sering meleset tidak sesuai sasaran, entah mengapa bisa seperti itu Kek Allan pun juga ikut penasaran.
Pada saat perjalanan pulang ke rumah aku sering bertemu dengan Henry dia selalu mengusiliku mulai dari menyemrotkan air dari tongkatnya dan mengarahkan ke mukaku, membuat jebakan, dan lain sebagainya itu dilakukannya hampir setiap hari.Â
Akhir-akhir ini aku sering menghabiskan waktuku bersama Kek Allan, karena menurutku lebih sering berlatih maka akan lebih cepat juga aku bisa mengendalikan sihir dengan baik. Entah kenapa hari ini sebelum aku mengetuk pintu rumah Kek Allan pintunya sudah terbuka, saat aku mulai mendekat Kek Allan berkata "Rebeca, hari ini kau kemari lagi", "Eeh kakek, iya kek aku harus giat berlatih agar cepat bisa" jawabku.Â
Kemudian kakek memberiku buku mantra yang lengkap dengan tata caranya untuk kupelajari, kemudian suara kakek memecah keheningan suasana saat berkata "Apa kau masih menunggu pangeran berambut pirang yang kau idam-idamkan saat kau kecil dulu Eca?". Sontak aku kaget dan kebingungan saat kakek berkata hal itu ternyata dia masih ingat dengan perkataanku dulu, "Eey, kenapa kau memasangan raut muka seperti itu? Kau bahkan kesini setiap hari hingga larut malam, apa kau tidak ingin berkencan". Lalu aku menjawab "Apa sih kek, jangan bicarakan itu saat ini", dan kakek hanya tersenyum saja melihatku lalu aku mengayunkan tongkat sihirku dan berkata "Accio" ke arah makanan yang ada didapur untuk kutaruh di depan mejanya.
Betapa kagetnya ekspresi kakek saat itu melihat sihirku tepat sasaran lalu dia memintaku untuk mencoba mantra yang lainnya, kemudian aku mulai mencoba mengayunkan tongkat dan berkata "Lux diode" dan tongkatku berhasil memancarkan cahaya pada bagian ujungnya.Â
Setelah berlatih sekian lama hari ini aku sudah bisa menggunakan sihirku dengan baik hari itu aku sangat senang sekali karena impianku sudah terwujud, dan mungkin aku akan mencari pangeran yang aku impi-impikan itu dari dulu, pria berambut pirang berbagan tinggi dan gagah, baik hati serta suka menolong.Â