Kementrian Perdagangan merilis Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 2 tahun 2025. Regulasi baru ini mempeketat syarat persetujuan eksport minyak jelantah (used cooking oil) yang merupakan limbah (sisa) dari penggunaan minyak goreng baik dari industry, restoran dan rumahan. Permendag ini juga berlaku untuk limbah cair kelapa sawit (palm oil mill effluent/POME) dan residu minyak sawit asam tinggi (high acid palm oil residue/HAPOR).
Terbitnya peraturan baru ini, sontak memukul usaha yang digeluti oleh Masyarakat yang selama ini sudah melakukan usaha pengumpulan minyak jelantah. Dalam 5 tahun terakhir, usaha pengumpulan minyak jelantah ini sudah dilakukan oleh ribuan pelaku usaha diberbagai daerah selama ini. Tingginya permintaan dari eksportir minyak jelantah memicu tumbuhnya para pengumpul di berbagai daerah.
Usaha pengumpulan minyak jelantah diberbagai daerah selama ini, sudah banyak membuka lapangan kerja baru, terutama bagi mereka yang low skill. Hampir disetiap kota saat ini, sudah banyak bermunculan para pengepul minyak jelantah. Mereka mulai berani untuk mengkredit mobil box untuk mengumpulkan dari satu penghasil ke penghasil lainnya. Ada juga yang memanfaatkan sepeda motor berkeliling dan betor (becak motor/sepeda motor roda 3).
Namun peraturan Menteri Perdagangan ini, sontak memukul usaha kecil yang mereka geluti. Para eksportir mengumumkan menghentikan sementara penerimaan minyak jelantah sampai eksport minyak jelantah dibuka Kembali oleh Pemerintah.
Warsin, warga Cikampek, pengepul minyak jelantah yang sudah menggeluti usaha ini lebih dari 5 tahun, mempertanyakan Nasib usahanya saat ini. "kita kebingungan saat ini boss,"katanya. Minyak dari langganan, terpaksa belum kita ambil, padahal sudah pada minta diangkat, tambahnya kebingungan.
Boen, Pemilik usaha pengumpulan minyak jelantah di Bekasi, juga mengatakan hal yang sama. Saya punya karyawan yang menggantungkan hidupnya dari jelantah ini. Ada cicilan mobil pengangkut yang harus kita cicil setiap bulannya. Kalau eksport minyak jelantah ini terlalu lama ditutup, kami pengusaha kecil ini bisa kolaps. Pemerintah harus memperhatikan Nasib kami ini, tambah Boen, yang mempekerjakan puluhan karyawan.
Pemerintah tak boleh mengeluarkan peraturan secara mendadak tanpa sosialisasi terlebih dahulu. Pemerintah juga harus mendengar dan mengajak para pengepul untuk berbicara sebelum peraturan dibuat. Peraturan tak boleh sepihak. Itu namanya peraturan membunuh usaha Masyarakat kecil. Kita sebagai pelaku usaha jadi kebingungan dan merugi, tambah Boen.
Dari berbagai informasi yang penulis telusuri dalam 2 minggu ini, para pengepul minyak jelantah seperti pasrah menggantungkan hidupnya pada kelanjutan eksport minyak jelantah ini. Seperti diketahui minyak jelantah ini sangat bergantung pada eksport yang selama ini berjalan. Di dalam negeri sendiri masih minim penyerapan minyak jelantah. Bila pun kini, Pertamina katanya sudah mulai menerima minyak jelantah, tetapi belum ada kejelasan (sosialisasi) dari pihak Pertamina kepada para pengepul minyak jelantah.
Dikutip dari Kompas.id, melalui siaran pers, Mendag Budi Santoso, menuturkan Pemerintah merilis Permendag No 2/2025 itu untuk menjamin ketersediaan bahan baku industry minyak goreng, terutama program Minyak Goreng Rakyat dan implementasi program biodiesel berbasis minyak sawit sebesar 40 persen (B40).
Selain itu, Kemendag mendapati lonjakan Eksport UCO, POME dan HAPOR dalam kurun waktu lima tahun terakhir yang tidak wajar. Anomalinya, eksport minyak sawit mentah (CPO) justru turun signifikan. Untuk eksport POME dan HAPOR, Kemendag mencatat, volume ekspor tumbuh 20,74 persen periode 2019-2023. Sebaliknya dalam tahun yang sama, volume eksport CPO turun rata-rata 19,54 persen. Ditengarai, dalam ekspor POME dan HAPOR tersebut ada campuran CPO.
Nah, temuan inilah yang mendasari Permendag ini dan belum dapat diperkirakan, kapan keran ekspor jelantah Kembali di buka. Para pelaku usaha pengepul minyak jelantah hanya menggantungkan harapannya kepada kebijakan pemerintah agar segera membuka keran ekspor ini biar usaha mereka bisa jalan.
Ditambahkan oleh Boen, bila itu dasar Pemerintah untuk menerbitkan peraturan itu, seharusnya pengawasan yang diperketat, bukan ujug ujug mendadak melarang eksport. Yang korban adalah rakyat kecil seperti kami ini yang menggantungkan hidupnya pada usaha minyak jelantah ini. Kami hanya berharap usaha ini bisa hidup dan berjalan terus. Selain membuka lapangan pekerjaan, usaha ini untuk menjaga lingkungan hidup tidak tercemar, karena masih bisa didaur ulang untuk biodiesel, tutup Boen dalam ceritanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI