Mohon tunggu...
Thomson Cyrus
Thomson Cyrus Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta, blogger, vlogger

Untuk Kerjasama, Bisa hub Kontak Email : thomsoncyrus74@gmail.com DM IG : @thomsoncyrus74

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok Mencium Kekalahan!

11 Maret 2016   12:16 Diperbarui: 11 Maret 2016   12:25 7720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="gambar, jakartakita.com"][/caption]Dalam suatu kontestasi, dalam setiap pertandingan, kemenangan dan kekalahan adalah dua sisi yang melekat dan berhadap hadapan. Jika ada yang menang, harus pula ada yang kalah. Tetapi dalam prakteknya pihak yang kalah sering kali tidak dapat menerima kekalahan, meskipun ukuran kemenangan sudah jelas dan sudah dipahami bersama sebelumnya. Kekalahan seringkali membawa amarah, kekalahan bahkan dapat memicu pertikaian, hingga terjadi perpecahan.

Persoalan yang sering terjadi adalah bahwa para pihak menganggap merekalah yang layak menang. Jika pihak lain menang, mesti ada cara untuk menuduh mereka melakukan kecurangan, melakukan segala cara untuk menempuh kemenangan. Padahal hakekat dari pertandingan, pertarungan, kontestasi adalah mendapatkan yang terbaik dari pilihan pilihan yang baik. Artinya kita memilih dari beberapa pilihan yang baik dan itulah yang terbaik menurut ukuran orang yang lebih banyak. Jika demikian halnya, suka tidak suka, rela tidak rela kita harus menerimanya sebagai suatu hasil pertandingan. Just simple!

Idem, dengan pilkada.

Seyogyanya, pilkada adalah event kegemberiaan bagi masyarakat setempat untuk memilih pemimpin terbaik dari pilihan-pilihan yang baik. Masyarakat yang mengajukan calon terbaik, baik lewat partai politik maupun jalur independen, yang tidak kita sadari, kan masyarakat juga yang memilihnya. Setiap warga diberi hak dan kewajiban yang sama, semua masyarakat memiliki harga suara yang sama. 

Yang kaya dan si miskin harga suaranya sama, sekali mencoblos. Konglomerat dan pemulung, harga suaranya sama. Swasta dan PNS, harga suaranya sama, tetap sekali mencoblos, demikian yang lain. Tetapi seringkali pesta rakyat itu berakhir kepada ketidakharmonisan, bahkan bisa berujung kepada caos...prihatin memang, tetapi itu faktanya.

Jika demikian halnya, kita setara dalam soal pemilihan, setiap warga negara juga berhak untuk dipilih dan memilih. Jika calon yang diajukan oleh partai politik tidak sejalan dengan pilihan kita. Ada calon yang diajukan lewat jalur independen, setiap orang berhak dan mampu untuk mengajukan pasangan calon, asal memenuhi syarat. Jika syaratnya agak berat, bekerja keraslah untuk mencapainya, tiada lain.

Pilkada DKI sudah di depan mata, belum apa-apa, sudah memanas, tegang dan penuh intrik. Medannya keruh, ibarat kubangan kerbau di ladang, kita tidak dapat melihat dengan jelas, siapa musuh, siapa lawan, siapa kawan, siapa teman. Jika sebelumnya kompak dan bersahabat, pilkada dapat merusak segalanya. Begitulah hukum politik, semua bermuara pada kepentingan.

Kita penulis, juga kena getahnya. Jika kita menulis yang baik tentang seseorang, maka label kita akan bertambang, cebongers, cecenguk, panasbung, congor, dan semacamnya.

Dunia medsos memang sangat vital belakangan ini. Bukan lagi dipandang sebelah mata, tetapi dunia medsos, sudah dijadikan alat. Alat untuk berjuang, alat untuk menjual, alat untuk membunuh karakter, alat untuk memuji, alat untuk mengancam, alat untuk berbagai kepentingan lainnya. Kita tidak dapat menafikan dunia medsos lagi, terpulang kepada kita, mau kita gunakan untuk apa dunia media sosial ini?

Pilihan ada pada kita.

Sebagai kompasianer, kita ibarat pengamat, setiap hari harus mengikuti isu yang sedang hangat diperbincangkan. Secara tidak langsung, sebagai makluk sosial kita akan terpengaruh dengan berbagai isu dari hari ke hari. Sebagai kompasianer, sebagai penulis, alangkah sayangnya jika kita tidak ambil bagian dalam berbagai isu yang sedang berkembang. Kita pasti akan tergerak untuk menggores isu yang sedang hangat. Akibatnya kita menulis. Menulis pasti akan berusaha untuk membawa pembaca ke arah yang diinginkan oleh penulis. 

Mau tidak mau, setiap penulis akan terbawa untuk berpihak, apakah berpihak kepada seseorang tokoh, berpihak kepada isu yang sedang diangkat semisal korupsi, isu insfrastruktur dan lain sebagainya. Dalam soal ini, setiap kompasianer mau tidak mau akan kelihatan berpihak. Jika demikian halnya, sama seperti hak suara tadi, maka sudah menjadi hak si kompasianer memihak si A misalnya, kompasianer yang lain memihak si B misalnya. Lalu sebagai kompasianer, mestinya beradu argumentasi, beradu gagasan, tidak perlu sesama kompasianer saling menyerang, menfitnah. Mari kita sama-sama menuliskan opini, ide, gagasan, saran demi masa depan bangsa yang lebih baik.

Ahok mencium kekalahan.

Kembali ke soal pilkada DKI. Mengapa pilkada DKI sangat memanas, cenderung brutal menurut saya. Kita telah ikuti berbagai intrik politik, kita juga telah ikuti berbagai cara menelanjangi para lawan politik. Semuanya, cenderung negatif, para pendukung tidak membangun permainan ide dan gagasan untuk membangun DKI Jakarta, yang lebih ditonjolkan adalah menyerang pribadi calon.

Lebih memanas lagi, ketika Ahok dengan lantang mendeklarasikan diri maju lewat jalur Independen yang akan berpasangan dengan Heru, sang pejabat DKI. Keputusan Ahok ini terang saja langsung membuat para pihak lain, utamanya para politisi berhitung kembali, hingga banyak dari mereka yang keblinger, kebakaran jenggot dan bahkan ada yang rada-rada frustasi. Dan mungkin banyak yang tidak percaya akan keputusan Ahok itu.

Salahnya, mereka tidak kenal Ahok atau pura-pura tidak kenal Ahok. Mereka tidak tahu, Ahok tidak punya beban. Dialah orang, yang jika diberikan kemenangan, kemenangan itu datang dari sebuah kepercayaan, bukan dari hasil nego sana nego sini. Ahok adalah orang yang rela dimusuhi banyak elit, tetapi berharga di mata Tuhan dan di mata rakyatnya. Mereka lupa, Ahok adalah pemimpin yang nothing to lose.

Mereka lupa, bahwa Ahok tidak akan pernah berlutut, menyembah si empunya kekuasaan di partai. Dia bukanlah tipe yang senang memuja muji jika tidak pada tempatnya.

Oleh sebab itu, ketika Ahok memutuskan ikut pilkada lewat jalur independen bersama Teman Ahok. Hal yang pertama sekali disiapkan oleh Ahok adalah sikapnya tentang kekalahan. Ahok mengingatkan Teman Ahok bahwa Ahok rela mengambil resiko untuk kalah, demi menjaga kepercayaan masyarakat yang rela mendukungnya lewat mengumpulkan fotocopy KTP mereka. Ahok tahu betul arti dari sebuah kepercayaan.

 Ahok ingin, jika dia nanti menang, dia tahu karena dia masih diinginkan oleh rakyat. Murni karena keinginan rakyat, sehingga sewaktu dia nanti menjabat kembali sebagai Gubernur, dia hanya berhutang kepada masyarakat. AHOK TIDAK MAU BERHUTANG BUDI KEPADA PARA POLITISI YANG SUATU SAAT PASTI AKAN SELALU MENAGIH JANJI, KARENA BEGITULAH CARA KERJA PARTAI POLITIK. Dengan demikian, Ahok bisa fokus membenahi Jakarta tanpa utang kepada para politisi, apalagi masih banyak politisi BUSUK (baca, koruptor).

Dan jikapun dia kalah, dia boleh berbangga hati, bahwa dia tidak dapat dibeli, dengan cara apapun. Dengan cara yang sama, Ahok mengajarkan kepada masyarakat, utamanya kepada Teman Ahok agar bekerja keras, iklas dan tentunya berdoa, agar jalan dilapangkan.

Tentunya banyak pihak yang menginginkan kekalahan Ahok, mereka saat ini telah berkumpul, bermufakat, saling bersilaturahmi, malam ke malam, siang ke siang, mereka mengatur strategi untuk mengalahkan Ahok. Tentunya, apapun akan mereka lakukan untuk mengalahkan Ahok.

Sekalipun Ahok mencium bau kekalahan, bukan berarti dia bakal kalah dengan gampang. Justru sebaliknya, resiko yang dihadapinya akan menjadi pemacu untuk bekerja bagi tim pendukung Ahok. Kerja keras dibarengi dengan doa yang tulus dari masyarakat tentunya akan mendatangkan kemenangan. Justru dengan mencium bau kekalahan itu, Ahok bersama timnya, menjadi tahu membuat strategi pemenangan. 

Semangat muda yang dimiliki oleh Teman Ahok akan berpacu dengan bau amis dari persekongkolan jahat para politisi busuk (catetan, banyak juga politisi baik, jangan berkesimpulan bahwa saya tidak percaya kepada politisi, justru sebaliknya, saya percaya dari partai politik akan lahir pemimpin tangguh dan hebat, tetapi masih butuh waktu).

Memang Ahok mencium ada setitik bau kekalahan menghinggapinya. Tetapi jangan salah. Tidak gampang mengalahkannya.

Justru sebaliknya, Ahok maju lewat jalur independen, agar para koruptor yang bersekongkol dengan para politisi busuk mencium aroma kekalahan, sebab dengan menangnya nanti Ahok, mereka akan merasakan sulitnya membancak APBD DKI Jakarta. Yang terbiasa makelar proyek akan uring-uringan kembali di 5 tahun yang akan datang, sebab tidak bisa lagi menjual proyek, tidak bisa lagi menjual nama pejabat untuk mendapatkan fee.

Ahok akan mengirim kekalahan kepada mereka yang selama ini tidak profesional bekerja untuk pengadaan sarana dan prasarana DKI. Ahok akan mengirim PNS DKI pemalas ke tempat-tempat tidak terhormat, tetapi sebaliknya bagi PNS yang baik kinerjanya, jabatan dan pangkat akan cepat melesit.

Kekalahan para haters Ahok tentunya di depan mata, sebab masyarakat sudah merasakan benar, manfaat yang dikerjakan oleh Ahok. Merekalah penentunya.

Kita hanyalah suara-suara yang berkicau di dumay, masyarakat Jakarta sudah pintar, mereka sudah cerdas untuk menentukan pilihan yang terbaik bagi mereka. Jika apa yang dilakukan oleh Ahok selama ini baik bagi mereka, tentunya dengan segala hormat, segala perbedaan akan mereka lupakan, dan akan memilih Ahok sebagai pemimpinnya kembali. Sebaliknya, jika mereka memilih selain Ahok, tentu kita harus dapat menerima pilihan itu.

Lewat pilkada ini, kita akan mendapat gambaran, seperti apa sih sebenarnya watak masyarakat Jakarta, apakah pro Ahok atau justru sebaliknya. Gambaran itu akan sangat jelas nanti di gambarkan kepada kita, karena merekalah yang menentukan.

Ahok hanyalah salah satu pilihan, dan masyarakat Jakarta yang menentukan. Mari membangun pilkada damai untuk Jakarta.

Salam kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun