Mau tidak mau, setiap penulis akan terbawa untuk berpihak, apakah berpihak kepada seseorang tokoh, berpihak kepada isu yang sedang diangkat semisal korupsi, isu insfrastruktur dan lain sebagainya. Dalam soal ini, setiap kompasianer mau tidak mau akan kelihatan berpihak. Jika demikian halnya, sama seperti hak suara tadi, maka sudah menjadi hak si kompasianer memihak si A misalnya, kompasianer yang lain memihak si B misalnya. Lalu sebagai kompasianer, mestinya beradu argumentasi, beradu gagasan, tidak perlu sesama kompasianer saling menyerang, menfitnah. Mari kita sama-sama menuliskan opini, ide, gagasan, saran demi masa depan bangsa yang lebih baik.
Ahok mencium kekalahan.
Kembali ke soal pilkada DKI. Mengapa pilkada DKI sangat memanas, cenderung brutal menurut saya. Kita telah ikuti berbagai intrik politik, kita juga telah ikuti berbagai cara menelanjangi para lawan politik. Semuanya, cenderung negatif, para pendukung tidak membangun permainan ide dan gagasan untuk membangun DKI Jakarta, yang lebih ditonjolkan adalah menyerang pribadi calon.
Lebih memanas lagi, ketika Ahok dengan lantang mendeklarasikan diri maju lewat jalur Independen yang akan berpasangan dengan Heru, sang pejabat DKI. Keputusan Ahok ini terang saja langsung membuat para pihak lain, utamanya para politisi berhitung kembali, hingga banyak dari mereka yang keblinger, kebakaran jenggot dan bahkan ada yang rada-rada frustasi. Dan mungkin banyak yang tidak percaya akan keputusan Ahok itu.
Salahnya, mereka tidak kenal Ahok atau pura-pura tidak kenal Ahok. Mereka tidak tahu, Ahok tidak punya beban. Dialah orang, yang jika diberikan kemenangan, kemenangan itu datang dari sebuah kepercayaan, bukan dari hasil nego sana nego sini. Ahok adalah orang yang rela dimusuhi banyak elit, tetapi berharga di mata Tuhan dan di mata rakyatnya. Mereka lupa, Ahok adalah pemimpin yang nothing to lose.
Mereka lupa, bahwa Ahok tidak akan pernah berlutut, menyembah si empunya kekuasaan di partai. Dia bukanlah tipe yang senang memuja muji jika tidak pada tempatnya.
Oleh sebab itu, ketika Ahok memutuskan ikut pilkada lewat jalur independen bersama Teman Ahok. Hal yang pertama sekali disiapkan oleh Ahok adalah sikapnya tentang kekalahan. Ahok mengingatkan Teman Ahok bahwa Ahok rela mengambil resiko untuk kalah, demi menjaga kepercayaan masyarakat yang rela mendukungnya lewat mengumpulkan fotocopy KTP mereka. Ahok tahu betul arti dari sebuah kepercayaan.
 Ahok ingin, jika dia nanti menang, dia tahu karena dia masih diinginkan oleh rakyat. Murni karena keinginan rakyat, sehingga sewaktu dia nanti menjabat kembali sebagai Gubernur, dia hanya berhutang kepada masyarakat. AHOK TIDAK MAU BERHUTANG BUDI KEPADA PARA POLITISI YANG SUATU SAAT PASTI AKAN SELALU MENAGIH JANJI, KARENA BEGITULAH CARA KERJA PARTAI POLITIK. Dengan demikian, Ahok bisa fokus membenahi Jakarta tanpa utang kepada para politisi, apalagi masih banyak politisi BUSUK (baca, koruptor).
Dan jikapun dia kalah, dia boleh berbangga hati, bahwa dia tidak dapat dibeli, dengan cara apapun. Dengan cara yang sama, Ahok mengajarkan kepada masyarakat, utamanya kepada Teman Ahok agar bekerja keras, iklas dan tentunya berdoa, agar jalan dilapangkan.
Tentunya banyak pihak yang menginginkan kekalahan Ahok, mereka saat ini telah berkumpul, bermufakat, saling bersilaturahmi, malam ke malam, siang ke siang, mereka mengatur strategi untuk mengalahkan Ahok. Tentunya, apapun akan mereka lakukan untuk mengalahkan Ahok.
Sekalipun Ahok mencium bau kekalahan, bukan berarti dia bakal kalah dengan gampang. Justru sebaliknya, resiko yang dihadapinya akan menjadi pemacu untuk bekerja bagi tim pendukung Ahok. Kerja keras dibarengi dengan doa yang tulus dari masyarakat tentunya akan mendatangkan kemenangan. Justru dengan mencium bau kekalahan itu, Ahok bersama timnya, menjadi tahu membuat strategi pemenangan.Â