Seandainya kita punya kuasa untuk menentukan siapa-siapa saja yang layak menjadi anggota DPR, maka kitapun akan membuat list sesuai dengan pemahaman dan keterkenalan kita terhadap si calon. Sadar tidak sadar kita juga dipengaruhi oleh faktor kesukaan kita terhadap pilihan yang akan kita pilih. Persoalannya kita lebih banyak hanya mengenal luarnya saja, kita tidak kenal luar dalam dari seseorang yang akan kita pilih.
Salah satu kelemahan sistem demokrasi adalah bahwa pemenang tidak selalu yang "terbaik" menurut aturan keilmuan, kompetensi, kapasitas ataupun keahlian. Tetapi pemenang di alam demokrasi ialah berdasarkan banyaknya jumlah dukungan yang didapatkan, dan kita harus terima bahwa jumlah dukungan ini tidak selalu berdasarkan pengetahuan dan pengenalannya terhadap calon yang dipilih.
Dalam banyak hal, kita juga lupa bahwa dalam alam demokrasi, harga dari sebuah suara adalah sama, tidak peduli apa statusnya, orang kaya ataupun miskin sama, pemimpin atau rakyat biasa sama, pendidikan tinggi atau orang yang bahkan buta huruf juga sama, Ini yang sering kita lupa, sehingga jika kita mengetahui Si A terpilih, kita mungkin gak bisa terima, Si B terpilih kita juga belum tentu terima. Ini yang membuat kita sering menjadi hakim bagi sebuah proses. Ini seringkali dialami oleh orang yang katakan merasa punya "wawasan" atau bahkan ada yang merasa diri pakar sehingga sah saja dia mengatakan dirinya pengamat. Dan Pengamat juga lupa bahwa harga suaranya tetaplah sama dengan orang yang bukan pengamat.
Dan kita akhirnya meragukan kualitas seseorang yang terpilih. Kita bahkan sebelah mata memandang artis-artis yang terpilih menjadi anggota Dewan. Mengapa? Karena kita menganggap mereka tidak punya kemampuan. Padahal jika kita sadari, betapa persaingan untuk memenangkan diri menjadi anggota Dewan terpilih adalah sesuatu yang susah dan membuat strategi yang harus hebat. Itu sebabnya kita melihat, berapa banyak tokoh-tokoh nasional yang gagal terpilih dalam Pileg 2014 ini.
Secara pribadi, saya sendiri sangat menghargai setiap orang yang terpilih menjadi anggota Dewan, oleh karena menurut pendapat saya, mereka telah menunjukkan kualitasnya dalam bersaing untuk merebut satu kursi anggota Dewan. Selain itu, sebagai orang yang paham demokrasi, saya menerima pilihan orang terhadap calon anggota Dewan yang menang. Saya paham bahwa harga suara setiap orang sama. Tidak boleh kita menghakimi pilihan orang dalam alam demokrasi.
Dan akhirnya kita akan tiba pada kesimpulan bahwa kita suka dan tidak suka dengan seseorang yang terpilih tersebut. Ketika berbicara suka dan tidak suka, maka kita diperhadapkan pada pokoknya bla bla....Kita menjadi tidak bisa menerima orang yang tidak kita suka dan disaat bersamaan kita seperti memaksakan bahwa yang kita sukalah yang benar.
Sumber foto : republika.co.id
Serupa kita memandang Ruhut Sitompul yang juga dikatakan lolos kembali ke Senayan. Seperti yang saya katakan diawal tulisan ini bahwa ketika kita berbicara Ruhut Sitompul. Kita diperhadapkan pada pemikiran pro dan kontra terhadap kemenangannya.
Memahami Keterpilihan Ruhut Sitompul.
Ruhut Sitompul mencalonkan diri dari Sumut I meliputi Medan, Deli Serdang, Tebing Tinggi. Daerah ini adalah kota-kota besar di Sumut yang pemilihnya adalah penduduk kota yang padat dengan berbagai tipe dan karakter manusia.
Saya menduga suara yang mendukung Ruhut Sitompul, terutama datang dari komunitas orang Batak, dimana peran marga-marga sangat mendominasi. Di kota Medan, Orang Batak yang bermarga Sitompul itu sangat banyak, belum diambil dari marga ibunya ruhut Sitompul, dan marga-marga lain. Dalam halnya, sudah berhubungan dengan kesukuan, kita juga diperhadapkan pada pilihan sulit, ketika harus memilih, apalagi tidak ada caleg yang menonjol di daerah itu, maka ketika kita memilih, satu-satunya alasan kita adalah faktor kedaerahan. Dan ini tidak bisa disalahkan, sebab itulah esensi yg namanya wakil rakyat, artinya itu mewakili rakyat yang memilihnya.