Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

"Mabuk" di Atas Kanvas Bersama Sidik Martowidjojo

18 November 2022   08:30 Diperbarui: 18 November 2022   17:41 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sidik Martowidjojo kala dirinya sedang melukis bersama pit kesayangannya | Property Rights of Sidik Martowidjojo

"Abstrak itu bukan seenak sendiri, namun terjadilah menurut kehendak"- Sidik Martowidjojo. 

Seni lukis Indonesia sedang menggeliat seiring dengan naiknya popularitas film "Mencuri Raden Saleh." Beberapa dari kita yang sudah menonton, mungkin akan memahami bahwa lukisan adalah suatu aset intelektual yang lahir dari olah rasa dan karsa manusia serta merupakan medium yang dapat menjelaskan berbagai peristiwa, perasaan, dan kritik terhadap sesuatu dengan cara yang tidak biasa, atau mudahnya, kreatif nan unik.

Salah satu pelukis kenamaan Indonesia yang lukisan-lukisanya telah diakui oleh dunia internasional sekaligus telah menorehkan berbagai prestasi kelas dunia adah Sidik Martowidjojo. Lewat kepiawaiannya dalam mengkawinkan teknik melukis Tiongkok dengan Barat serta kecerdikannya dalam menggunakan pendekatan filsafat Taoisme dalam lukisannya, membuat Sidik patut diakui sebagai salah satu maestro lukis Indonesia.

Perkenalan Singkat

Pelukis kelahiran Malang, 24 September 1936 itu telah lebih dari 25 tahun lamanya malang melintang di bidang kesenian lukis dengan memadukan konsep Tiongkok dan Barat dalam kanvasnya. Berbagai penghargaan bergengsi, eksibisi, kolaborasi ternama, penolakan, kegetiran hidup, dan titik terendah dalam berkesenian telah menghantarkannya menjadi salah satu pelukis kenamaan Indonesia yang patut untuk dihormati dan disegani.

Penulis beruntung dapat bertemu dengan Sidik secara langsung di hari terakhir acara eksibisi lukisannya yang berjudul "Voyage to Wisdom," pada tanggal 27 Oktober 2022 lalu di Museum Nasional Indonesia, Jakarta Pusat. Pelukis dengan nama kanvas "Pit Mabuk" itu mulai membagikan awal perjalanan hidupnya menjadi salah satu pelukis kenamaan Indonesia. Penulis pertama bertanya pada Sidik mengenai nama kanvasnya yang unik itu.

Taosime dan Asal Muasal sebuah Nama

Sidik bercerita jika nama "Pit Mabuk" terdiri dari dua kata, yakni "pit" yang artinya kuas untuk melukis kaligrafi Tiongkok dan kata "mabuk" itu sendiri. Kata mabuk dipilih karena Sidik terinspirasi oleh ajaran filsafat Taoisme mengenai konsep alam semesta. Dia menerangkan bahwa alam semesta itu menciptakan dirinya sendiri seperti orang yang sedang "mabuk," karena alam tercipta oleh kehendaknya sendiri tanpa direncanakan ataupun dikonsepkan.

Hal ini lah yang kemudian menginspirasi Sidik untuk meminjam istilah "mabuk" sebagai nama kanvasnya. "Mabuk" dalam pemahamannya itu dimaknai agar dirinya dapat selalu menyatu dengan kehendak dan keinginan alam semesta seutuhnya, utamanya ketika dirinya sedang membuat suatu karya lukis. Konsep "mabuk" ini tercermin dari berbagai lukisannya, yang menurut pengakuannya memang tidak pernah direncanakan atau dikonsepkan sebelumnya.

"Ya kata mabuk itu jangan dipikir negatif, karena mabuk itu ya segala sesuatu yang ga direncanakan dan dikonsepkan sebelumnya, dan dia terjadi sesuai dengan kehendaknya. Jadi ya kata mabuk itu saya pahami sebagai konsep karakter saya dalam melukis, tanpa rencana, tanpa persiapan, tanpa konsep," tutur Sidik.

Ajaran filsafat Taoisme yang dianut oleh Sidik sangat menekankan penghormatan terhadap alam semesta. Taoisme adalah salah satu ajaran yang unik, karena Taoisme tidak mengenal sosok Tuhan seperti yang diyakini oleh agama-agama wahyu kebanyakan. Namun, mereka menganggap bahwa Tuhan adalah alam semesta itu sendiri, sehingga keberadaan alam semesta harus dijadikan tujuan bagi setiap penganut Taoisme untuk bersatu dengannya.

Pemahaman ini lah yang kemudian menjadi inspirasi utama bagi seorang Sidik untuk melahirkan berbagai karya seni lukis yang konteks permasalahannya selalu berangkat dan melibatkan alam semesta dengan makhluk hidup yang lebih kecil, seperti manusia, hewan, dan tumbuhan, atau menurut pemahamannya hal ini mirip seperti konsep dalam kepercayaan masyarakat Jawa (Kejawen), yakni Jagat Gedhe (alam semesta) dan Jagat Cilik (manusia).

Dalam mendapatkan pemahaman mengenai ajaran Taoisme beserta dengan ajaran filsafat lainnya, Sidik mengakui jika ilmu-ilmunya itu diperoleh dari ayahnya yang berprofesi sebagai seorang pengusaha kecap dan tabib (sinse). Sidik dibesarkan dari keluarga dengan dua budaya, yakni Tionghoa dari ayahnya yang bernama Bhe Hwie Kwan dan Jawa dari ibunya yang bernama Juniati, yang ternyata merupakan keturunan dari Sri Sultan Hameng Kubowono I.

Salah satu karya Sidik yang berjudul
Salah satu karya Sidik yang berjudul "Persinggahan" | Property Rights of Sidik Martowidjojo

Sidik dibesarkan dengan tata cara hidup ala budaya Jawa Malang. Namun, identitas Tionghoanya tetap dijunjung dengan sangat baik melalui pendidikan formalnya di Sekolah Rakyat (SR) milik orang Tionghoa dan pendidikan informalnya melalui membaca buku-buku sastra Tionghoa; belajar bahasa Mandarin, belajar menulis kaligrafi Tiongkok dengan menggunakan pit; serta belajar kesehatan jasmani dan rohani ala Tiongkok bernama Qi Gong.

Sidik cukup beruntung karena tetap mampu mendapatkan pendidikan formal di tengah keadaan perang dan penjajahan Belanda serta Jepang di Indonesia. Selama masa-masa sulit itu, Sidik juga bertemu dengan seorang Banthe (Biksu) asal Maluku bernama Banthe Akajinamito. Pertemuannya dengan Banthe Akajinamito semakin membuka wawasan Sidik terhadap berbagai karya filsafat Tiongkok, salah satunya adalah Taoisme.

Dari pertemuan tersebut, Sidik perlahan semakin mencintai ajaran Taoisme. Ajaran ini juga lah yang membuatnya tetap tegar dan kuat melihat berbagai gejolak sosial yang terjadi di keluarga dan kotanya kala itu, seperti ayahnya yang diinternir oleh Jepang, meningkatnya kasus kekerasan, meningkatnya angka kriminalitas, tidak tersedianya pangan yang layak bagi masyarakat luas, tidak adanya pakaian yang layak, dan lainnya.

"Semua saat itu serba susah. Masyarakat Malang hanya bisa makan dedak dan pakai baju yang dibuat dari karung goni. Angka pencurian juga terus naik karena masalah ekonomi dan banyaknya kasus kekerasan yang menyasar pada orang Tionghoa," tutur Sidik.

Perjalanan Menuju Kanvas Pertama

Setelah berakhirrnya era penjajahan, Sidik perrlahan mulai menata kembali kehidupannya yang hancur akibat kesulitan ekonomi dan sosial selama masa penjajahan. Di tahun 1963, Sidik bekerja sebagai seorang guru di sebuah Sekolah Dasar (SD) berbahasa Mandarin selama kurang lebih tiga tahun lamanya. Karirnya itu berlangsung pendek karena gejolak politik akibat meletusnya peristiwa G-30S/PKI pada tahun 1965.

Sidik bercerita bahwa saat itu ada begitu banyak masyarakat Tionghoa yang dipersekusi karena adanya anggapa bahwa paham komunisme berasal dari pengaruh PKT (Partai Komunis Tiongkok). Sehingga, saat itu ada banyak masyarakat Tionghoa yang dipersekusi dan dipersulit secara ekonomi. Di tahun 1968, Sidik hijrah ke Jakarta dan bekerja di Bank Pembangunan Ekonomi Indonesia milik salah satu sanak familinya.

Pekerjaannya yang baru itu nyatanya juga hanya bertahan selama tiga tahun. Setelah memutuskan resign, Sidik akhirnya menekuni bisnis dan bertahan hingga belasan tahun lamanya. Di masa-masa menjalankan bisnis, Sidik akhirnya menikah pada tahun 1975 dengan R. R Lily Indra Ginarni Kalapaaking, seorang dokter gigi asal Kebumen, Jawa Tengah yang ternyata masih memiliki garis keturunan dari Sultan Agung.   

Setelah lama menetap di Jakarta, Sidik dan sang istri pun akhirnya memutuskan untuk menetap di Yogyakarta. Alasan kepindahannya ini pun disebabkan oleh suasana Kota Jakarta yang membuat kurang merasa nyaman. Selain itu, Yogyakarta cenderung relatif dekat dengan tempat kelahiran istrinya, yakni Kebumen. Akhirnya, pada tahun 1990 Sidik beserta keluarganya pindah ke Yogyakarta, dan dari sinilah Sidik memutuskan untuk menjadi seorang pelukis.

Keinginannya untuk menjadi pelukis ternyata telah tumbuh sejak lama. Namun, karena adanya berbagai alasan politis di Indonesia yang melarang aktivitas masyarakat Tionghoa dalam berekspresi membuatnya harus menunggu lama untuk mendapatkan momentum tersebut. Di tengah keputusannya, Sidik beruntung dapat bertemu dan berinteraksi dengan beberapa seniman Yogyakarta yang justru semakin menumbuhkan cita-citanya itu.

Di awal-awal melukis, Sidik bercerita bahwa banyak lukisannya kala itu masih berfokus pada konsep Cina Benteng. Namun, lambat laun Sidik mengubah gaya melukisnya dengan memadukan teknik Tiongkok dan Barat. Sidik menjelaskan bahwa teknik melukis Tiongkok lebih menekankan pada unsur ketenangan dan pendekatan batin. Sedangkan, teknik melukis Barat menekankan pada unsur cahaya, warna, dan sifat materialistik.

Perjuangan bagi Sebuah Karya Seni

Salah satu karya Sidik yang berjudul
Salah satu karya Sidik yang berjudul "Suasana" | Property Rights of Sidik Martowidjojo
Berkat usaha dan juga keuletannya dalam mengkawinkan dua teknik lukis tersebut, lukisan-lukisan yang dibuat oleh Sidik pun lambat laun semakin menarik perhatian banyak pihak, terkhususnya pemerintah Republik Rakyat Tiongkok melalui perwakilan duta besar mereka yang ada di Jakarta. Pada tahun 2001, Sidik pernah mengikuti perlombaan Seni Lukis dan Kaligrafi Tiongkok Sedunia di Beijing, RRT.

Di perlombaan itu, Sidik berhasil menyabet penghargaan "Chinese Painting Excellence Award," dan kembali mendapatkan penghargaan yang sama di tahun 2002. Dari situ, nama Sidik semakin dikenal oleh beberapa kalangan seniman lukis di Tiongkok. Dia bercerita bahwa pernah ditolak oleh kurator lukisan National Museum of China (NAMoC) ketika hendak menyerahkan proposal untuk mengadakan pameran tunggal di sana.

Sebagai pembuktian bahwa karyanya pantas untuk dipamerkan di NAMoC, Sidik kemudian berinisiatif untuk membuat dua pameran tunggal di The China Millenium, Beijing dan Liu Haisu Art Museum, Shanghai pada tahun 2006. Di dua pameran tunggal tersebut, Sidik tak lupa mengundang kurator lukisan dari NAMoC untuk melihat karya-karyanya. Inisiatif ini kemudian membuahkan hasil yang sangat manis.

Pada tahun 2007, Sidik akhirnya berhasil menggelar pameran tunggalnya di NAMoC dan mendapatkan anugerah sebagai Research Fellow pada Chinese Academic of Art. Sebagai seorang Research Fellow, Sidik banyak memberikan masukan mengenai pentingnya menjaga identitas Asia di tengah gempuran seni lukis kontemporer Barat yang saat itu banyak digandrungi seniman muda Tiongkok.

"Mau bagaimana pun, identitas Asia itu tidak boleh hilang, karena itu yang menjadi pembeda kita dalam melahirkan suatu karya. Konsep Barat tetap kita adopsi agar kesenian kita tetap bisa diterima oleh masyarakat Internasional," tutur Sidik.

Titik Terendah Sidik dan Kebahagiannya

Sidik sempat lama menetap di Tiongkok sebagai Research Fellow, dan pada tahun 2009, Sidik harus kembali ke tanah air karena istrinya meninggal dunia. Pada tahun ini juga lah Sidik mengalami kehilangan semangat yang sangat besar dalam berkesenian. Dukanya yang mendalam itu sempat membuatnya berhenti cukup lama dalam melukis, yakni sampai pada tahun 2012 atau tiga tahun lamanya.

Selama masa duka itu, Sidik banyak merenung dan meratapi kepergian istrinya serta meninggalkan sementara kanvas-kanvasnya yang masih putih bersih itu. Setelah tiga tahun meratapi kepergian istrinya, pada tahun 2012 Sidik kemudian mendapat kunjungan tamu yang sangat istimewa di kediamannya, yakni Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia, Liu Jianchao dan Menteri Kebudayaan Tiongkok, Cai Wu.

Tujuan kedatangan dua tokoh prominence Tiongkok itu adalah untuk meminta Sidik kembali melukis! Hal dikarenakan Sidik adalah salah seorang Research Fellow dan salah satu tugas besarnya adalah untuk tetap berkarya dan terus mempopulerkan seni lukis Tiongkok ke dunia Internasional. Permintaan dari kedua tokoh tersebut akhirnya disetujui oleh Sidik dan dirinya pun akhirnya kembali memegang pit kesayangannya dan kembali "mabuk" di atas kanvas.

Setelah dua tahun kembali melukis, pada tahun 2014 Sidik ditawarkan dan diikutsertakan oleh Kedutaan Besar Tiongkok di Jakarta melalui China International Cooperation Center (CICC) untuk mengikuti kompetisi seni lukis di Carrousel de Louvre, Perancis, yang diselenggarakan oleh Societe Nationale des Beaux Arts (SNBA), yang diikuti oleh 600 seniman dari 56 negara, termasuk Sidik dengan karyanya yang berjudul "Englightment Orientalism."

Pada acara tersebut Sidik memperoleh dua penghargaan berupa Medaille d'Or (medali emas) untuk penghargaan juara umum dan penghargaan untuk karya terbaik pilihan tim juri. Setelah empat tahun memperoleh penghargaan seni yang bergengsi itu, Sidik pada tahun 2018 kembali mengikuti pameran di Louvre, Perancis dan kembali menerima penghargaan baru berupa Prix Special du Jury dalam perhelatan Salon des Beaux Arts.

Akhirnya, kita dapat memahami bahwa Sidik Marto Widjojo layak menyandang gelar sebagai salah satu maestro kenamaan Indonesia. Bukan tanpa alasan. Laku batinnya yang kuat mengenai alam semesta, yang selalu dibawa ke dalam tiap lukisannya, mengandung nilai batin bahwa kita hanyalah sesuatu yang teramat kecil di hadapannya. Sehingga, ada baiknya jika kita berserah padanya sekaligus tunduk pada kuasanya yang maha baik, yakni alam semesta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun