Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Toko Buku Boomerang, Oasis Tersembunyi di Sudut Malioboro

4 Juni 2022   09:00 Diperbarui: 19 Juni 2022   00:39 2052
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kenampakan dari etalase buku-buku novel yang dijajakan oleh toko Boomerang Bookstore | Dok.Pri Thomas Panji

Melepas rindu akan Jogja dan Malioboro di toko buku tersembunyi nan estetik.

Bagi para pelancong, berkunjung ke tempat-tempat wisata ikonik tentu menjadi salah satu menu wajib yang harus dilakukan. Sebagai salah satu destinasi wisata paling populer di Indonesia dan bahkan dunia, Yogyakarta tentu memiliki beragam atraksi pariwisata yang dapat memanjakan pengalaman berlibur bagi semua orang. 

Malioboro menjadi salah satu dari sekian banyak atraksi pariwisata unggulan Yogyakarta yang tak pernah sepi peminat.

Berkunjung ke Yogyakarta rasanya tak pernah sah jika tidak sempat berkunjung ke Malioboro untuk berbelanja oleh-oleh bagi sanak famili atau hanya sekadar menikmati atmosfer Kota Yogyakarta, yang konon selalu mampu membuat siapa pun dapat kembali lagi dan lagi. 

Ada begitu banyak atraksi yang tersedia di sepanjang jalan Malioboro, mulai dari produk tekstil seperti batik hingga produk UMKM macam keripik, semuanya tumpah ruah di sini.

Sebagai salah satu tempat wisata unggulan Yogyakarta, Malioboro tentunya juga tidak hanya terkenal sebagai destinasi wisata yang dipenuhi oleh berbagai toko cinderamata atau tempat bersejarah saja. 

Di suatu jalan bernama Sosrowijayan yang lokasinya masih berdekatan dengan Jalan Malioboro, terdapat sebuah gang kecil bernama gang satu Sosrowijayan Wetan yang memiliki satu destinasi wisata "tersembunyi" yang ikonik.

Uniknya, untuk dapat menemukan tempat wisata yang satu ini, pembaca disarankan bertanya pada masyarakat sekitar agar dapat menemukannya dengan mudah. Sebab, dari segi lokasi tempat wisata ini memang lumayan kecil dan agak "tersembunyi," serta hanya diketahui oleh beberapa kalangan saja, khususnya yang sudah menjadi "pelanggan setia". Destinasi wisata "tersembunyi" yang penulis maksud adalah toko buku Boomerang atau Boomerang Bookstore. 

Tempat wisata yang satu ini memang cukup unik, karena lokasinya agak cukup tersembunyi dan harus melalui gang sempit. Seperti yang sudah disarankan di awal, pembaca memang perlu bertanya pada masyarakat sekitar untuk bisa menemukan toko buku ini. Selain itu, ada juga aturan lingkungan dan etika tertentu yang dibuat oleh masyarakat setempat ketika pembaca ingin berkunjung ke wilayah toko buku tersebut.

Pertama, pembaca hanya perlu bertanya ke masyarakat sekitar dan nantinya pembaca akan diarahkan menuju ke suatu gang kecil bernama gang satu Sosrowijayan Wetan. 

Untuk melalui gang ini, pembaca diwajibkan berjalan kaki, sebab semua kendaraan bermotor roda dua tidak boleh masuk ke gang ini (kecuali sepeda), dan jika kendaraan hendak dibawa masuk, maka pembaca perlu mematikan mesin motornya dan menuntunnya masuk ke dalam! Cukup unik bukan?

Setelah berjalan beberapa meter dari mulut gang, pembaca nanti akan melihat sebuah plang nama kecil bertuliskan Boomerang Bookstore dan sampailah pembaca di tempat tujuan. 

Toko buku ini terbilang cukup unik karena menjual berbagai produk anti-mainstream, mulai dari koleksi buku-buku novel dan panduan perjalanan yang ditulis dalam berbagai berbahasa asing hingga karya kriya, seperti alat musik, kain batik, dan kerajinan topeng dapat ditemukan di sini.

Suasana klasik nan estetik dari toko yang masih beralaskan lantai tegel berwarna hitam legam, rak-rak buku yang terbuat dari bambu, hingga dekorasi dari karya kriya yang diletakan seolah sembarang namun teratur dan terkonsep, semakin menambah atmosfer keunikan serta estetika dari toko buku ini. Tidak mengherankan, jika pada akhirnya toko buku ini banyak diserbu para penggemar novel maupun penggemar kriya, baik dari mancanegara maupun domestik.

Di tengah hari Minggu, di sekitar jam 13.00 WIB yang agak cukup kelabu saat itu, penulis berjalan menyusuri gang satu Sosrowijayan Wetan dan hendak berkunjung ke toko buku tersebut untuk membeli sebuah buku antropologi kuliner yang sudah diimpikan sejak lama. Setelah berhasil menemukan buku yang dicari dan hendak membayar, penulis tak menyangka jika sedang berbincang dengan pemilik dari Boomerang Bookstore, Wina (44).

Penulis kemudian bertanya dengan Wina selaku co-owner dari Boomerang Bookstore mengenai sejarah awal dari toko buku miliknya. Wina menceritakan bahwa toko buku ini sudah berdiri sejak tahun 1995. 

Awalnya, toko buku ini didirikan karena adanya rasa bingung dan gusar dari kakak kandung Wina, yakni Gunawan (47) yang menetap di Australia, karena ada banyaknya buku-buku bacaan fiksi maupun non-fiksi yang menumpuk di rumahnya.

Kegusaran serta kebingungan yang dialami Gunawan pada akhirnya mendorong Wina untuk mengambil inisiatif membuka toko buku kecil yang menjual berbagai buku-buku novel berbahasa asing dari berbagai negara, seperti Inggris, Belanda, Jerman, Perancis, Swedia, dan lainnya. 

Beragamnya buku-buku berbahasa asing dari berbagai negara ini dipengaruhi oleh kegemaran Gunawan dan sang Istri yang memang suka mengkoleksi buku-buku berbahasa asing.

"Karena kakak saya sama istrinya koleksi banyak banget buku bahasa asing dari macem-macem negara dan terlalu banyak numpuk di rumahnya, akhirnya ya saya coba jual di Jogja dan ternyata waktu awal buka banyak banget turis-turis yang luar suka," tutur Wina.

Kenampakan dari etalase buku-buku novel yang dijajakan oleh toko Boomerang Bookstore | Dok.Pri Thomas Panji
Kenampakan dari etalase buku-buku novel yang dijajakan oleh toko Boomerang Bookstore | Dok.Pri Thomas Panji

Penulis kemudian bertanya mengenai makna "boomerang" yang menjadi nama dari toko buku tersebut. Wina bercerita bahwa nama boomerang dipilih karena boomerang adalah alat berburu tradisional masyarakat Aborigin yang ketika dilempar akan kembali lagi kepemiliknya. 

Hal inilah yang kemudian menginspirasinya, bahwa ketika buku-buku itu berhasil dijual maka harapannya akan orang-orang yang pernah membeli akan kembali lagi dan lagi.

Selain itu, nama boomerang juga dipilih karena sesuai dengan budaya literasi masyarakat Australia atau luar negeri secara universal. Wina bercerita, jika seseorang telah membeli sebuah buku dan juga telah selesai membacanya, maka buku yang sebelumnya sudah dibaca itu dapat dijual kembali ke toko buku yang menjual buku tersebut, di mana orang yang menjual kembali buku tersebut akan mendapatkan komisi sebesar 50% dari harga buku awal yang dibeli.

Wina mengilustrasikan, jika membeli buku seharga Rp 100.000,00 dan telah selesai dibaca serta hendak dijual kembali, maka penjual sebagai second hand akan mendapatkan uang komisi sebesar Rp 50.000,00. 

Kebiasaan ini menurutnya dipicu oleh adanya budaya untuk saling berbagi ilmu dan kebahagiaan, di mana buku sebagai sumber ilmu dan kebahagiaan itu tidak hanya berhenti di satu tangan saja, namun menyebar ke tangan lainnya yang membutuhkan.

Pada awal didirikan, Wina mengakui jika toko Boomerang Bookstore memiliki dua buah cabang. Cabang pertama ada di daerah Malioboro, tepatnya di daerah Sosrowijayan yang masih beroperasi sampai sekarang. 

Sementara, cabang kedua terdapat di daerah Prawirotaman dan sudah tutup secara permanen. Wina menjelaskan, tutupnya toko kedua di daerah Prawirotaman disebabkan karena sepinya peminat dari para konsumen mancanegara.

Padahal, menurut pengalaman observasinya, secara ruang kewilayahan daerah Prawirotaman adalah daerah khusus untuk turis mancanegara. 

Namun, setelah lebih dari 27 tahun berjualan Wina menemukan dan perlahan menyadari bahwa para pelanggan setia toko bukunya didominasi oleh turis-turis mancanegara yang sering traveling dengan metode backpacker. Sementara, turis mancanegara yang ada di daerah Prawirotaman didominasi oleh turis kelas atas.

Adanya perbedaan selera pembeli di antara turis mancanegara ini menurut Wina dipengaruhi oleh kemampuan ekonomi dari masing-masing turis. 

Wina memberi gambaran jika turis mancanegara yang menginap di daerah Prawirotaman adalah turis-turis yang biasanya datang dalam jumlah besar dan menggunakan jasa travel agency. Sehingga, menurut Wina turis-turis seperti ini kurang memiliki waktu yang cukup untuk mengeksplorasi daerah-daerah lain.

Sedangkan, turis mancanegara yang datang dengan metode backpacker dinilai lebih memiliki waktu luang untuk mengeksplorasi hal-hal lain di luar atraksi wisata yang mainstream. 

Selain itu, menurut pengakuan Wina turis-turis backpacker biasanya juga lebih tertarik untuk mencoba hal-hal baru, seperti makan di pinggir jalan, tidur di losmen murah meriah, naik kendaraan umum, dan tentu mengeksplorasi tempat-tempat baru yang tak kalah menarik.

"Kalau yang di Prawiro itu kan datangnya pakai bus-bus besar itu kan dan mereka pasti sudah ada tour guidenya, jadi mereka kurang bisa eksplorasi hal lain dan cenderung manut sama jadwal acara wisatanya," tutur Wina.

Meski harus rela menutup satu tokonya, namun Wina mengakui pada penulis jika turis mancanegara adalah jenis konsumen yang terbilang unik. 

Sebab, meskipun mereka (turis mancanegara) memiliki kebiasaan yang hampir mirip seperti kita yakni hanya melihat-lihat saja, namun bedanya turis mancanegara pasti akan membeli satu tem, entah itu buku atau cinderamata, berbeda dengan kita yang hanya cenderung melihat-lihat saja namun tidak membeli.

Wina menjelaskan bahwa kebiasaan ini mungkin saja dipengaruhi oleh kekuatan mata uang dari setiap turis yang berkunjung. Sehingga hal ini mampu membuat mereka untuk membeli cinderamata kecil layaknya kartu pos atau pernak-pernik kerajinan kayu dan bambu. 

Bicara soal cinderamata, Wina bercerita pada penulis bahwa turis asing amat menggemari berbagai macam kerajinan yang terbuat dari bahan-bahan alam seperti kayu dan bambu.

Wina bercerita bahwa dirinya pernah ketiban rezeki waktu bertemu dengan salah seorang pelanggan dari Kanada yang saat itu terobsesi dengan karya kriya dari bambu. Wisatawan asal Kanada itu merupakan pelanggan setia toko bukunya yang selalu mampir ke Indonesia tiap kali liburan musim panas. Sampai suatu ketika, wisatawan Kanada tersbeut meminta dibuatkan alat musik suling yang sudah dibatik.

Awalnya, wisatawan asal Kanada tersebut hanya memesan sekitar enam buah suling saja. Namun, satu tahun kemudian Wina bercerita jika pesanan kerajinan suling batik itu bertambah menjadi sekitar 200 buah dan pernah mencapai angka 2.000 buah pesanan! 

Dari pengalaman tersebut, pada akhirnya selain berjualan buku-buku novel dan panduan perjalanan, Wina dibantu dengan almarhum suaminya juga berjualan kerajinan kriya.

Kenampakan dari tanda peringatan untuk tidak mengambil foto karya seni kriya | Dok.Pri Thomas Panji
Kenampakan dari tanda peringatan untuk tidak mengambil foto karya seni kriya | Dok.Pri Thomas Panji

Dengan bekal pendidikan seni kriya dan bantuan suaminya yang merupakan seorang pemusik biola serta pelukis, maka Wina perlahan menghasilkan beberapa produk kerajinan, seperti kerajinan batik wayang kayu, ukiran topeng, kerajinan perak, kain batik, alat musik, hiasan rumah, dan lainnya. 

Perlahan, turis yang biasanya datang untuk membeli buku juga mulai melirik berbagai produk kerajinannya, dan beberapa diantaranya sudah ada yang diekspor.

Kerajinan seperti batik wayang kayu, ukiran topeng, alat-alat musik, dan kain batik adalah beberapa komoditas ekspor unggulan toko Boomerang Bookstore, di mana produk-produk tersebut kebanyakan dikirim ke negara-negara Eropa seperti Jerman, Perancis, Belgia, dan Belanda. 

Dari situ, perlahan nama toko buku miliknya semakin dikenal oleh para pecinta buku-buku novel berbahasa asing dan juga seni kerajinan tradisional.

Perlahan, toko buku miliknya pun mulai diserbu oleh berbagai pelanggan. Wina mengakui jika zaman itu bisa dikatakan sebagai puncak keemasan dari usaha toko bukunya, di mana ada begitu banyak turis yang datang untuk mencari buku-buku novel berdasarkan nama penulis favorit mereka dan tentunya juga turis yang ingin membeli cinderamata kerajinan tradisional. Saking ramainya, Wina mengakui jika tidak sempat beristirahat!

Wina bercerita jika saat itu toko buku miliknya buka sekitar pukul 09.00 WIB dan tutup di pukul 21.00 WIB. Namun, saat weekend atau saat sedang ada event seperti liburan musim panas atau musim dingin, toko buku miliknya mengalami perubahan jam opersional yang signifikan, di mana Wina dan beberapa orang karyawannya bahkan pernah baru tutup sekitar pukul 00.00 WIB! Meski lelah, namun Wina merasa puas akan pengalaman yang pernah dirasakannya.

Selain, menjual buku dan karya kriya, ada satu keunikan lain dari toko buku miliknya, yakni pengunjung tidak perkenankan untuk mengambil gambar, utamanya karya kriya dipajang di setiap sudut ruang. 

Wina menjelaskan jika kesadaran terhadap hak cipta dan hak kekayaan intelektual masih minim. Hal ini tidak hanya berlaku bagi orang Indonesia saja, namun juga bagi turis asing yang berkunjung ke Indonesia, utamanya ke toko buku miliknya.

Wina menceritakan jika aturan tersebut ada supaya orang-orang lokal tidak bisa memplagiasi hasil karya kerajinan buatannya. Sehingga, wisatawan asing yang datang berkunjung pun tidak merasa tertipu jika bertemu dengan hasil produk kerajinan yang diplagiasi itu dan dijual dengan harga yang jauh lebih murah ketimbang produk asli yang dibuat secara langsung oleh Wina dan para pengrajinnya.

"Kadang kan ada aja orang kreatif yang suka jiplak hasil karya orang. Nah, begitu ada turis masuk ke toko saya dan mau beli kerajinan misalnya dan pas dia tau harganya mahal banget ya dia biasanya ga akan jadi beli. Waktu dia ketemu yang serupa dan saya yakin itu plagiat ya dia akan merasa tertipu sama saya," tutur Wina.

Wina juga menjelaskan jika aturan ini ada supaya setiap pengunjung yang datang utamanya turis mancanegara lebih dapat menghargai hasil karya seni yang dibuat berdasarkan kreativitas murni. 

Pasalnya, Wina mengakui bahwa banyak dari turis-turis mancanegara yang sudah tahu banyak tentang budaya Indonesia, khususnya dalam hal tawar menawar. Wina menyayangkan hal ini, karena menurutnya karya seni adalah sesuatu yang tak ternilai dan agak aneh jika ditawar.

Hal inilah yang kemudian yang mendorongnya agar membuat aturan tersebut, supaya hasil karya seninya tidak bisa diplagiasi dan autentisitasnya tetap dapat bertahan. 

Alasan membuat aturan tersebut juga didorong oleh pengalaman Wina, yang mengaku pernah mendapatkan masalah plagiasi tersebut, sehingga dia merasa banyak dirugikan oleh orang-orang yang menjiplak hasil karyanya yang kemudian dijual dengan harga yang jauh lebih murah.

Terlepas dari semua cerita pengalaman Wina dan toko bukunya yang mengesankan, Wina berharap jika keadaan dapat berangsur-angsur pulih dan kembali normal seperti sedia kala. 

Wina mengaku terpukul dengan pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung selama dua tahun terakhir, sebab Wina harus kehilangan banyak sekali pelanggan setianya yang rata-rata merupakan turis mancanegara yang tidak bisa pergi karena aturan kesehatan yang ketat di setiap negara.

Keadaan ini pun sempat membuatnya jatuh bangun, mengingat bahwa toko buku yang didirikan olehnya memang diperuntukan bagi pasar internasional. Wina pun juga mengakui pada penulis mengenai keputusannya untuk mem-PHK karyawan dan mengurangi jam operasional toko. 

Jika dulu Wina dapat buka setiap harinya dan dapat beroperasi selama 12 jam, kini toko buku miliknya hanya buka di hari Jumat-Minggu serta buka dari pukul 12.00 WIB sampai 18.00 WIB.

Tentu Wina mengaku pasrah dengan keadaan tak menentu selama masa pandemi ini. Wina pun juga mengakui jika angka ketertarikan dan minat beli terhadap produk-produk karya kriya pun mengalami mati suri.

Ada begitu banyak turis yang perlahan enggan mengeluarkan uangnya untuk membeli karya kriya yang bernilai seni tinggi. Namun, Wina juga menyadari jika keadaan ini memang sangat sulit bagi semunya, sehingga dirinya dapat memaklumi.

Dalam keadaan seperti sekarang, Wina hanya berharap agar keadaan dapat kembali seperti sedia kala, di mana turis-turis asing mulai berani kembali berkunjung ke Indonesia dan mulai kembali mampir ke tokonya untuk sekadar melihat-lihat atau membeli pernak-pernik kecil. 

Wina juga mengakui rindu dengan teman-teman turisnya yang selalu berkunjung tiap kali liburan musim panas dna berharap mereka kembali datang kemari untuk sekadar bertegur sapa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun