Menurut Attahiyat dalam Adi (2011), sejarah kuli bangunan di Indonesia itu sejatinya dimulai dari kuli-kuli bangunan asal Tiongkok. Saat itu, Batavia sedang banyak membangun infrastruktur penunjang kota yang biaya pembangunannya sendiri berasal dari pajak orang-orang Tionghoa. Pemerintah Hindia Belanda (VOC) saat itu juga mengerahkan para pekerja kasar dari Tiongkok, karena melimpahnya sumber daya manusia yang bisa dimanfaatkan dalam konstruksi.
Namun, memasuki tahun 1802, orang-orang Tionghoa yang dulunya bekerja sebagai kuli bangunan ini pun perlahan menghilang dan digantikan oleh masyarakat Jawa. Hal ini bisa muncul karena kehidupan mereka secara ekonomi pun berubah, berkat adanya proses perpindahan dan kemauan dari mereka untuk berubah serta naik kelas. Mereka rata-rata berubah profesinya menjadi seorang pedagang, pemilik toko, bahkan menjadi pengrajin.
Berbeda dengan masyarakat Tionghoa yang dulunya kuli dan kini berubah menjadi pedagang paling cengli, masyarakat Jawa yang tadinya menjadi kuli bangunan justru tidak memiliki perkembangaan yang berarti. Hal inilah yang kemudian pada akhirnya mengkonseptualisasi cara berpikir kita selama ini, bahwa kuli bangunan adalah mereka yang berasal dari tanah Jawa serta memiliki keterampilan dan kebiasaan selayaknya kuli secara umum.
Pada akhirnya, kita bisa menyimpulkan bahwa ada perjalanan yang sangat panjang di balik hubungan antara masyarakat Jawa dengan profesi mereka sebagai kuli bangunan. Siapa yang menyangka, bahwa sejarah akan keterkaitan hal tersebut sudah mulai ribuan tahun sebelum kita mengenal apa itu Indonesia yang kemudian kehadiran mereka terus diwarisi dan semakin dibutuhkan oleh banyak pihak untuk menyokong geliat pembangunan ekonomi.
Kita perlu berterimakasih atas jasa dan dedikasi yang sudah mereka berikan selama ini terhadap kehidupan kita. Tentu kita tahu bahwa kehidupan para kuli bangunan yang sering kali mengandung tawa di ruang digital kita karena konten meme adalah suatu hal yang berbanding terbalik dengan realitas hidup mereka yang nelongso. Namun, berkat mereka juga kita dapat saling mengangkat satu sama lain untuk dapat menjadi manusia yang bisa saling menghargai.
Daftar Pustaka:
Heuken. (2003). Mesjid-Mesjid Tua di Jakarta. Jakarta. Yayasan Cipta Loka Caraka.
Sedyawati et al. (2003). Candi Indonesia, Seri Jawa. Jakarta. Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman.
Gandhi, L. (2013, November 25). A History Of Indentured Labor Gives 'Coolie' Its Sting. Dikutip dari: https://www.npr.org/sections/codeswitch/2013/11/25/247166284/a-history-of-indentured-labor-gives-coolie-its-stingÂ
Adi, W. (2011, April 23). Dua Abad Perjalanan Para Kuli. Dikutip dari: https://megapolitan.kompas.com/read/2011/05/30/18465569/~Megapolitan~News?page=allÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H