Dalam konteks ini juga, kuli sebagai pekerja kasar perlahan mulai merasakan perubahan sosial dan keadilan ketimbang di zaman dahulu saat mereka masih mengalami masa perbudakan. Perubahan yang terjadi seperti mereka dipekerjakan dengan sistem kontrak tertentu melalui sebuah surat perjanjian yang harus ditanda tangani oleh mereka agar mereka mampu mendapatkan haknya dalam memperoleh upah atau bayaran tertentu sesuai pekerjaan mereka (Britannica, n.d)
Selepas meletusnya pergerakan dan kampanye untuk menghapus perbudakan secara total, perlahan tapi pasti negara-negara pencetus kolonialisme layaknya Kerajaan Inggris Raya atau Amerika Serikat yang saat itu sedang giat-giatnya melakukan ekspansi ke berbagai daerah di sekitaran Pasifik, Karibia, Amerika Selatan, dan Amerika Tengah itu mulai menerapkan juga sistem kerja kontrak dan upah terhadap seluruh pekerja yang disewa.
Ada suatu penjelasan menarik yang diutarakan oleh Bahadur dalam Gandhi (2013), mengenai salah satu alasan kuat, mengapa pemerintah kolonial Inggris Raya lebih memilih kuli dari negara-negara seperti India dan Cina untuk disewa ketimbang dari daerah-daerah koloni lainnya. Menurut penjelasannya, alasan yang pertama adalah karena istilah kuli itu sendiri lahir dari perspektif Asia yang akhir dipakai sebagai istilah birokratis oleh pemerintah kolonial Inggris Raya.
Alasan yang kedua adalah karena melimpahnya sumber daya manusia yang bisa bawa keluar untuk dipekerjakan ke daerah koloni lainnya. Meski alasan yang kedua perlu untuk dibuktikan lagi keabsahannya, namun jika merujuk pada postur demografi penduduk kedua negara baik di masa lalu dan di masa sekarang, kita tentu mengetahui jika India dan Cina adalah dua negara yang memiliki penduduk paling banyak di dunia.
Hal ini tentu saja menjadi modal penting bagi Kerajaan Inggris Raya untuk membawa keluar lebih banyak kuli dari India atau Cina untuk dipekerjakan. Sebab, di tahun-tahun berikutnya kebutuhan terhadap pekerja kasar (kuli) ini semakin dibutuhkan untuk mengerjakan proyek-proyek strategis seperti pelabuhan, rel kereta, jalan raya, dan perkebunan tebu khususnya di tanah koloni seperti Karibia, Amerika Tengah, Ceylon, dan lainnya yang tengah mengalami perkembangan.Â
Meskipun pada kenyataannya kuli merupakan pekerja yang disewa dengan menggunakan sistem kontrak dan mendapatkan upah, namun banyak ahli sejarah dan pengkaji poskolonialisme mengkritisi bahwa kuli tetaplah dipandang serta diperlakukan selayaknya seorang budak. Alasan ini tidaklah berlebihan, sebab menurut ensiklopedia Britannica (n.d), sistema sewa kuli dalam prakteknya tetap memiliki mentalitas dan modus-modus penindasan.
Hal ini dapat ditemukan dari adanya penipuan, penculikan, bahkan perdagangan manusia (human trafficking) dengan menggunakan dalih sebagai penyalur tenaga kerja. Dalam sejarahnya, banyak kuli juga diperlakukan semena-mena, seperti ditempatkan dalam suatu barak yang sempit, pengap, dan jorok; tidak bisa mendapatkan akses makanan dan minum yang layak; tidak mendapatkan fasilitas kesehatan; dan terkadang tidak mendapatkan upah yang dijanjikan (Gandhi, 2013).
Itu tadi adalah sejarah tentang kuli secara holistik, lalu bagaimana dengan sejarah kuli bangunan yang rata-rata didominasi oleh suku bangsa Jawa? Dalam sejarahnya, menurut Sedyawati et al (2013), sejarah masyarakat Jawa dalam bidang kuli bangunan bisa ditelusuri jejaknya dari zaman kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha, di mana salah satu mahakarya yang bisa dilihat adalah bangunan-bangunan candi yang tersebar di hampir seluruh Pulau Jawa.
Berbagai bangunan candi yang kita lihat saat ini selayaknya candi Borobudur, candi Prambanan, candi Mendut, candi Sewu, dan lainnya adalah salah satu dari banyaknya mahakarya dari para silpin (seniman) Jawa Kuno yang memiliki keahlian di bidang arsitektural, teknik sipil, dan seni pahat. Keahlian para silpin dalam membangun candi ini bisa ditelusuri dari kitab Hindu bernama Vastusastra, kitab yang berfokus pada tata ruang dan bangunan.
Di dalam kitab tersebut, dijelaskan bahwa arsitektural dalam pembangunan rumah ibadah seperti halnya candi atau kuil-kuil Hindu adalah bentuk manifestasi terhadap kebesaran Tuhan dan alam semesta. Dalam perjalanannya, khususnya saat penyebaran agama Hindu-Buddha di tanah Jawa, para silpin Jawa Kuno ini kemudian mengadopsi berbagai teks suci tersebut, seperti halnya Vastusastra dalam mempelajari kaitan antara aspek arsitektural dan spiritual.