Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Uncle Roger dan Kritisisme terhadap Pengetahuan Kuliner

16 April 2022   09:00 Diperbarui: 23 April 2022   20:28 1329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Uncle Roger dan Jamie Oliver dalam hal memasak nasi goreng | Detik.com

Ketika Uncle Roger mulai meroasting, disitulah para chef dibuat ketar-ketir. 

Di tahun 2020 lalu, jejaring media sosial Youtube Indonesia segmen kuliner digemparkan dengan sebuah video jenaka nan kritis dari Nigel Ng alias Uncle Roger, yang mengkritik dan menentang habis-habisan metode memasak Jamie Oliver, salah satu celebrity chef asal Inggris yang saat itu mencoba berinovasi dan berkreasi dengan nasi goreng, hidangan sejuta umat yang menjadi salah satu menu favorit masyarakat dunia menurut data CNN (Cheung, 2017).

Namun, bukannya mendapat simpati dan apresiasi dari para penontonnya, video tersebut justru mengundang kritik, sebab nasi goreng yang dibuat olehnya terkesan "aneh" atau bahkan bisa dibilang "sembrono" bagi kebanyakan orang Asia, termasuk Indonesia dalam hal penggunaan bahan masakan, cara memasak, dan cara penyajiannya. Video yang berjudul Uncle Roger HATE Jamie Oliver Egg Fried Rice, sudah ditonton lebih dari 18 juta kali dan mendapatkan 800 ribu like.

Dalam perspektif kritis, hubungan antara Uncle Roger dan Jamie Oliver dalam video tersebut menyiratkan adanya sebuah hubungan unik mengenai identitas sebuah bangsa yang saling terdikotomi satu sama lain. Mungkin terdengar agak janggal dan berlebihan untuk menghadirkan kata "dikotomi" dalam artikel ini. Namun, video tersebut menyiratkan suatu hal yang pada kenyataannya memampukan kata "dikotomi" itu hadir di dalamnya.

Maka, dalam artikel ini penulis akan mencoba mengulas video tersebut dan menganalisis setiap hal di dalamnya berdasarkan perspektif teori sistem dunia (World System Theory) dan kajian poskolonialisme. Untuk dapat mengetahui bagaimana kedua perspektif ini dapat digunakan dalam melihat fenomena komunikasi antara Uncle Roger dan Jamie Oliver, ada baiknya jika terlebih dahulu kita berkenalan dengan poskolonialisme dan World System Theory (WST) terlebih dahulu.

Dalam studi post-kolonialisme, kata "post" diartikan dan dipahami sebagai suatu hal yang bersifat "melampaui" rentang waktu dari peristiwa kolonialisme itu sendiri, atau dapat juga dipahami sebagai cara pandang yang berusaha menganalisis berbagai peninggalan kolonialisme di masa lalu yang menjelma ke dalam suatu bentuk kolonialisme yang bersifat lebih lunak, cair, dan bersahabat di era globalisasi seperti sekarang (Nurhadi, 2007).

Menurut Edward Said, (1995: 204), studi post-kolonialisme secara komperhensif berusaha melihat berbagai bentuk dari sejarah penjajahan yang erat kaitannya dengan praktik dan pendekatan untuk dapat mendominasi dan mengkonstruksi bumi bagian Timur. Lambat laun, berbagai konsep pemikiran pun dibentuk oleh para penjajah (Barat), untuk semakin membuat Timur tampak tak berdaya secara pemikiran dan karakter mereka.

Menurut analisis Nurhadi (2007: 2), studi post-kolonial yang digagas oleh Said terinspirasi dari teori hegemoni Antonio Gramsci dan teori diskursus Michel Foucault, yang menawarkan metode analisis dalam melihat praktik kolonialisme ala Barat. Menurut Said (1995) teori hegemoni dan diskursus kedua teori tersebut berguna sebab menawarkan cara pandang yang kritis dan makro dalam melihat berbagai peristiwa penjajahan dan pertukaran budaya yang bersifat eksplisit.

Seperti adanya penanaman nilai-nilai Barat yang selalu diagungkan dari pada Timur, yang akhirnya berdampak pada banyak segi kehidupan masyarakat kolonial. Sebagai contoh, orang-orang pribumi (indigenous) tidak berhak mendapatkan akses pendidikan, terkecuali jika mereka berdarah biru; orang-orang pribumi tidak berhak untuk memiliki rumah permanen; tidak berhak menggunakan fasilitas umum sembarangan; dan lainnya.

Dalam kajiannya, Said juga menjelaskan bahwa Barat selalu berupaya untuk membangun citranya sebagai bangsa yang "superior", yang memiliki tugas dan peran untuk melakukan "penjajahan", sebagai tugas mulia Tuhan dalam memberadabkan bangsa Timur yang dicap sebagai bangsa pandir (bodoh) dan terbelakang. Pemahaman ini, senada seperti yang diutarakan oleh Utami (2012: 807) mengenai bentuk kolonialisasi pikiran (colonizing mind) yang dilakukan Barat.

Menurut Utami (2018), kolonialisasi pikiran (colonizing mind) dapat dipahami sebagai sebuah terminologi yang menyatakan, bahwa sekalipun penjajahan secara bersenjata (fisik) telah usai, namun penjajahan terhadap budaya, pemikiran dan karakter sebuah bangsa (Timur) masih akan terus berlangsung. Inilah salah satu alasannya, mengapa kita selalu memandang dunia Barat sebagai dunia yang lebih bergengsi, dari pada sesuatu yang berangkat dari identitas Timur.

Ilustrasi mengenai orientalisme dalam film Indiana Jones | Lithub.com
Ilustrasi mengenai orientalisme dalam film Indiana Jones | Lithub.com

Maka dari itu, karena Timur selalu dipandang liyan oleh penjajah Barat, kita sebagai bangsa Timur akhirnya memiliki cara berpikir yang stagnan mengenai citra Barat, yang seringkali digambarkan sebagai dunia yang gemerlap dan elegan dengan semua kekuatan serta kemajuan yang mereka miliki. Pemikiran ini, akhirnya membuat kita berkaca, bahwa kita (Timur) menjadi seolah-olah "terbelakang", perlu "dibina", dan harus tetap tunduk pada kekuatan Barat.

Konteks poskolonialisme menurut Nurhadi (2007: 2-3) juga melihat keikutsertaan peran dari merebaknya globalisasi dan perdagangan bebas yang dapat dikategorikan sebagai bentuk lain dari kolonialisme baru atau neokolonialisme. Globalisasi merujuk pada bentuk hubungan antar masyarakat yang melampui batas wilayahnya, tempat dimana mereka tinggal, atau bisa disebut juga sebagai 'suprateritorial'.

Dengan 'suprateritorial' maka hubungan komunikasi akan semakin meningkat dan terjadilah pertukaran budaya sebagai akibat dari intensnya komunikasi itu. Karena globalisasi menyediakan ruang untuk berkomunikasi dan bertukar budaya, maka kemungkinan adanya ruang pergaulan multikultur berpeluang muncul di kehidupan modern. Namun, fenomena ini di satu sisi juga membuka peluang terciptanya superioritas budaya kepada komunitas yang dinilai inferior.

Keadaan ini dikemudian hari mampu memunculkan suatu bentuk aktivitas kolonialisme baru yang disebut dengan neokolonialisme. Pengunaan istilah neokolonialime pertama kali dicetuskan oleh presiden pertama Ghana, Kwame Nkrumah di tahun 1965. Istilah neokolonialisme sendiri dipahami sebagai praktik penguasaan dengan menggunakan pendekatan kapitalisme dan globalisasi untuk menciptakan hegemoni yang mengakar pada suatu masyarakat (Nkrumah, 1965).

Dalam perkembangannya, neokolonialisme bekerja dengan cara-cara yang lunak dan terkesan ramah pada masyarakat. Kehadiran gerai makanan cepat saji di negara berkembang yang sontak membuat hype atau model baju terbaru dari perusahaan brand asal bumi bagian Barat yang juga ikut menjadi hype adalah beberapa contoh kecil mengenai hadirnya neokolonialisme di tengah-tengah kita, yang perlahan mengakar dan menjadi lumrah.

Neokolonialisme pada akhirnya semakin melanggengkan bentuk kolonisasi pikiran bagi masyarakat inferior atas kehebatan dan juga kegemerlapan yang ditonjolkan oleh Barat. Di satu sisi, neokolonialisme akhirnya membawa banyak masalah baru, salah satunya adalah ketimpangan status antar bangsa dan antar negara. Ketimpangan ini bisa terjadi karena adanya agenda politisasi sistem dalam skala global dari negara-negara maju.

Dalam konteks ini, politisasi sistem yang dimaksud berkenaan dengan World System Theory (WST). Menurut McPhail (2014) World System Theory adalah suatu teori yang berusaha melihat, bahwa pergerakan modernisasi dan ekonomi yang terjadi dalam lingkup global tidak pernah berjalan secara seimbang (timpang). Selalu ada berbagai upaya yang dilakukan untuk membuat suatu negara agar tetap menjadi miskin atau menjadikan suatu negara tetap kaya dan berkuasa.

Ketimpangan ini akhirnya melahirkan suatu stratifikasi sosial dalam menempatkan suatu negara. Ada tiga tingkatan negara dalam WST, yakni negara inti (core nation); negara semi pinggiran (semi periphery); dan negara pinggiran (periphery) (Wallerstein dalam McPhail, 2014). Ketimpangan ini muncul karena adanya superioritas yang ingin terus dipertahankan oleh negara-negara inti (core) terhadap negara-negara golongan semi pinggiran dan pinggiran.

Negara-negara maju (core) merawat superioritas tersebut dalam berbagai cara, yakni mengkontrol keuntungan, mempertahankan hegemoni, dan mempertahankan sifat-sifat baik dengan negara-negara semi pinggiran atau pinggiran. Cara-cara ini lantas ditempuh dalam bentuk yang beranekaragam, seperti contohnya melakukan doktrinisasi lewat media dan pemberitaan, yang berdampak pada industri kuliner; budaya pop; fesyen; ilmu pengetahuan; dan lainnya.

Doktrinisasi lewat media dan pemberitaan sangat berguna dalam melanggengkan pengaruh atas status superioritas Barat sebagai bangsa yang selalu menduduki puncak menara gading dan menjadi mercusuar bagi bangsa lainnya. Doktrinisasi ini di satu sisi juga semakin melanggengkan kolonialisasi pikiran pada masyarakat yang pernah mengalami penjajahan, yang berdampak pada membudayanya perasaan inferior kita dalam melihat dan merepresentasikan bangsa Barat.  

Ilustrasi dari inferioritas dalam memahami cara hidup masyarakat Barat | Qureta.com
Ilustrasi dari inferioritas dalam memahami cara hidup masyarakat Barat | Qureta.com

Dalam konteks ini, kita dapat melihat hubungan antara poskolonialisme dengan world system theory tadi dalam video reaction yang dibuat oleh Uncle Roger. Sebagai contoh, dalam video tersebut kita dapat melihat adanya dikotomi nasi goreng, antara nasi goreng versi Asia yang totok menurut Uncle Roger dengan nasi goreng versi Asia namun menggunakan pendekatan dan kreasi ala Eropa yang disesuaikan dengan selera lidah Eropa Jamie Oliver.

Meski memang terlihat lumrah untuk berkreasi, namun perilaku tersebut akhirnya memunculkan ruang dikotomi, khususnya dikotomi cita rasa dan akar budaya dari nasi goreng itu sendiri. Menurut Gardjito et al (2019), dalam memahami suatu cita rasa makanan dalam lingkup gastronomi, pengetahuan lokal (local knowledge) mengenai bahan baku, cara memasak, dan bahkan esensi dari masakan itu sendiri harus dipelajari serta diilhami terlebih dahulu.

Sebab, tanpa adanya pengetahuan lokal mengenai ke semua hal tersebut, akan sangat mustahil rasanya bagi seseorang untuk mampu menciptakan makanan yang layak dan sesuai dengan semangat filosofis dari masakan itu sendiri. Dari video tersebut, kita dapat melihat jika Jamie Oliver sebagai seorang celebrity chef tidak mempelajari terlebih dahulu sejarah, esensi, dan bahkan local knowledge dari nasi goreng itu sendiri.

Ketidaktahuannya itu memang tampak terlihat jelas dari kurangnya pemahaman soal cara pengolahan nasi menurut orang Asia yang menyajikan nasi sebagai panganan pokok, penggunaan bahan bumbu dasar yang mewakili nilai ke lokalan, dan teknik memasak yang justru membuat nasi goreng kreasinya terlihat "aneh" serta "sembrono". Dengan demikian, perilaku ini justru menggambarkan bahwa ada mentalitas superior di Jamie Oliver.

Sebab, Jamie Oliver terlihat seperti menolak nilai-nilai ke lokalan nasi goreng yang pada akhirnya justru membuat identitas dan esensi dari nasi goreng itu sendiri keluar dari pakemnya atau bahkan mungkin melawan pakem dari nasi goreng itu sendiri. Cara pandang dan penolakan Jamie Oliver terhadap nilai-nilai kebudayaan ini tentu itu tidak terlepas dari konsepsi bangsa Inggris yang ada dilingkaran negara core dengan bangsa Tionghoa yang ada lingkaran negara semi periphery

Dari cara pandang tersebut, kita telah melihat sendiri bahwa ada banyak hal yang justru mencederai esensi dan identitas dari nasi goreng yang terkenal sebagai salah satu hidangan comfort food. Mentalitas Jamie Oliver sebagai orang Barat dalam video tersebut pada akhirnya mencederai identitas budaya kuliner bangsa lain dan sajian nasi goreng dalam video tersebut tak ayal mengubah hidangan comfort food menjadi sampah di dalam tubuh.

Penolakan dan adanya miskreativitas yang dilakukan oleh Jamie Oliver pada akhirnya dikhawatirkan dapat menciptakan pandangan yang semakin salah dari kebanyakan orang dalam memahami dan mengkonsepsikan apa yang dimaksud dengan nasi goreng yang autentik. Di masa sekarang, kita juga tidak dapat menafikan bahwa media sosial memainkan peran penting dalam mempertahankan hegemoni teori sistem dunia dan poskolonialisme.

Dengan kombinasi antara Jamie Oliver yang secara rekam jejaknya terkenal sebagai seorang celebrity chef dan adanya video mengenai kreasi nasi gorengnya yang tidak sesuai dengan pakemnya itu, pada akhirnya dikhawatirkan memunculkan perubahan persepsi dari orang-orang khususnya masyarakat Eropa mengenai apa yang dimaksud dengan nasi goreng dan bagaimana seharusnya nasi goreng itu dibuat sesuai dengan autentisitasnya.

Pada akhirnya, kitaa bisa melihat bahwa kritik yang disampaikan oleh Uncle Roger melalui judul dan khususnya video reaction-nya itu adalah sebuah hal yang harus diapresiasi. Sebab, apa yang dilakukannya adalah suatu langkah kecil untuk mempertahankan apa yang dimaksud dengan otentisitas dan identitas budaya suatu bangsa, yang dalam hal ini adalah sajian nasi goreng yang keberadaannya telah membumi di mana-mana.

Kita juga harus berefleksi bahwa inovasi dan kreativitas itu sejatinya diperkenankan dalam kuliner, namun mencoba untuk rendah hati dan adanya kemauan secara tulus untuk mempelajari serta memahami local knowledge itu menjadi kunci penting dalam menciptakan makanan yang pantas dimakan dan di satu sisi membuat status serta kedudukan kita menjadi lebih terpandang, sebab adanya keinginan untuk menghargai kebudayaan bangsa lain.

Ilustrasi Uncle Roger dan Jamie Oliver dalam hal memasak nasi goreng | Detik.com
Ilustrasi Uncle Roger dan Jamie Oliver dalam hal memasak nasi goreng | Detik.com

Lantas, apa yang dilakukan oleh Jamie Oliver dengan nasi gorengnya tidak terlepas dari mentalitas superiornya sebagai bangsa Barat, yang pada akhirnya membuat pengetahuan dan kreativitasnya berhenti ditataran yang kebanyakan orang Indonesia memahaminya sebagai "sok tau" alih-alih sebagai orang ahli dibidang kuliner yang mampu mengelevasi dan menciptakan kebaharuan mengenai cita rasa masakan yang pantas diterima oleh mulut.

Mentalitas Barat superior yang tertanam kuat dalam diri Jamie Oliver yang pada akhirnya menolak berbagai bentuk pakem dari esensi pembuatan dan pengetahuan soal nasi goreng itu pada akhirnya diperparah juga dengan tumbuhnya konsep sistem dunia, yang mana menempatkan Jamie Oliver sebagai individu dari wilayah core, yang secara sejarah lekat dengan poskolonialisme dan neokolonialisme itu sendiri di banyak hal.


Daftar Pustaka:

Said, E. (1995). Orientalism. London. Penguin Books

Utami, S. (2018). Kuliner Sebagai Identitas Budaya: Perspektif Komunikasi Lintas Budaya. Journal of Strategic Communication, 8(2): 36-44. Universitas Pancasila

Nurhadi. (2007). Poskolonial: Sebuah Pembahasan. Seminar Rumpun Sastra.

McPhail. 2014. GLOBAL COMMUNICATION: THEORY, STAKEHOLDERS, AND TRENDS. West Sussex. WILEY Blackwell.

Nkrumah, K. 1965. Neo-Colonialisme The Last Stage of Imperialism. New York. International Publisher.

Gardjito, M et al. 2019. Gastronomi Indonesia (Jilid II). Yogyakarta. Global Pustaka Utama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun