Menurut Utami (2018), kolonialisasi pikiran (colonizing mind) dapat dipahami sebagai sebuah terminologi yang menyatakan, bahwa sekalipun penjajahan secara bersenjata (fisik) telah usai, namun penjajahan terhadap budaya, pemikiran dan karakter sebuah bangsa (Timur) masih akan terus berlangsung. Inilah salah satu alasannya, mengapa kita selalu memandang dunia Barat sebagai dunia yang lebih bergengsi, dari pada sesuatu yang berangkat dari identitas Timur.
Maka dari itu, karena Timur selalu dipandang liyan oleh penjajah Barat, kita sebagai bangsa Timur akhirnya memiliki cara berpikir yang stagnan mengenai citra Barat, yang seringkali digambarkan sebagai dunia yang gemerlap dan elegan dengan semua kekuatan serta kemajuan yang mereka miliki. Pemikiran ini, akhirnya membuat kita berkaca, bahwa kita (Timur) menjadi seolah-olah "terbelakang", perlu "dibina", dan harus tetap tunduk pada kekuatan Barat.
Konteks poskolonialisme menurut Nurhadi (2007: 2-3) juga melihat keikutsertaan peran dari merebaknya globalisasi dan perdagangan bebas yang dapat dikategorikan sebagai bentuk lain dari kolonialisme baru atau neokolonialisme. Globalisasi merujuk pada bentuk hubungan antar masyarakat yang melampui batas wilayahnya, tempat dimana mereka tinggal, atau bisa disebut juga sebagai 'suprateritorial'.
Dengan 'suprateritorial' maka hubungan komunikasi akan semakin meningkat dan terjadilah pertukaran budaya sebagai akibat dari intensnya komunikasi itu. Karena globalisasi menyediakan ruang untuk berkomunikasi dan bertukar budaya, maka kemungkinan adanya ruang pergaulan multikultur berpeluang muncul di kehidupan modern. Namun, fenomena ini di satu sisi juga membuka peluang terciptanya superioritas budaya kepada komunitas yang dinilai inferior.
Keadaan ini dikemudian hari mampu memunculkan suatu bentuk aktivitas kolonialisme baru yang disebut dengan neokolonialisme. Pengunaan istilah neokolonialime pertama kali dicetuskan oleh presiden pertama Ghana, Kwame Nkrumah di tahun 1965. Istilah neokolonialisme sendiri dipahami sebagai praktik penguasaan dengan menggunakan pendekatan kapitalisme dan globalisasi untuk menciptakan hegemoni yang mengakar pada suatu masyarakat (Nkrumah, 1965).
Dalam perkembangannya, neokolonialisme bekerja dengan cara-cara yang lunak dan terkesan ramah pada masyarakat. Kehadiran gerai makanan cepat saji di negara berkembang yang sontak membuat hype atau model baju terbaru dari perusahaan brand asal bumi bagian Barat yang juga ikut menjadi hype adalah beberapa contoh kecil mengenai hadirnya neokolonialisme di tengah-tengah kita, yang perlahan mengakar dan menjadi lumrah.
Neokolonialisme pada akhirnya semakin melanggengkan bentuk kolonisasi pikiran bagi masyarakat inferior atas kehebatan dan juga kegemerlapan yang ditonjolkan oleh Barat. Di satu sisi, neokolonialisme akhirnya membawa banyak masalah baru, salah satunya adalah ketimpangan status antar bangsa dan antar negara. Ketimpangan ini bisa terjadi karena adanya agenda politisasi sistem dalam skala global dari negara-negara maju.
Dalam konteks ini, politisasi sistem yang dimaksud berkenaan dengan World System Theory (WST). Menurut McPhail (2014) World System Theory adalah suatu teori yang berusaha melihat, bahwa pergerakan modernisasi dan ekonomi yang terjadi dalam lingkup global tidak pernah berjalan secara seimbang (timpang). Selalu ada berbagai upaya yang dilakukan untuk membuat suatu negara agar tetap menjadi miskin atau menjadikan suatu negara tetap kaya dan berkuasa.
Ketimpangan ini akhirnya melahirkan suatu stratifikasi sosial dalam menempatkan suatu negara. Ada tiga tingkatan negara dalam WST, yakni negara inti (core nation); negara semi pinggiran (semi periphery); dan negara pinggiran (periphery) (Wallerstein dalam McPhail, 2014). Ketimpangan ini muncul karena adanya superioritas yang ingin terus dipertahankan oleh negara-negara inti (core) terhadap negara-negara golongan semi pinggiran dan pinggiran.
Negara-negara maju (core) merawat superioritas tersebut dalam berbagai cara, yakni mengkontrol keuntungan, mempertahankan hegemoni, dan mempertahankan sifat-sifat baik dengan negara-negara semi pinggiran atau pinggiran. Cara-cara ini lantas ditempuh dalam bentuk yang beranekaragam, seperti contohnya melakukan doktrinisasi lewat media dan pemberitaan, yang berdampak pada industri kuliner; budaya pop; fesyen; ilmu pengetahuan; dan lainnya.