1. Hidangan yang disajikan kurang lengkap dan sering kali berkutat pada permasalahan selera lidah para tamu dan acap kali tidak sesuai ekspektasi.
2. Pergaulan dengan tamu-tamu Eropa yang seringkali terkendala bahasa, khususnya orang-orang Belanda (Eropa) yang tidak bisa berbahasa Melayu.
3. Perihal adab berpakaian yang seringkali membuat pusing para tamu yang akan mengundang dan khususnya tata cara tamu dalam hal mengambil hidangan (prasmanan).
Dari tiga masalah tersebut, khususnya masalah pertama, cikal bakal rencana Sri Sultan Hamengku Buwono VI untuk mencari orang yang berkompeten dalam menyajikan hidangan khas Eropa yang dapat memenuhi ekspektasi selera tamu Eropa.
Namun, masih dalam suasana alam kekayaan kuliner Nusantara. Sri Sultan Hamengkubowon VI memerintahkan Tuang Sekeng, kepala bidang kebudayaan di Sasanewu untuk mencari juru masak yang memahami masakan Eropa.
Pada akhirnya, Tuan Sekeng berhasil menemukan seorang juru masak yang memahami masakan Eropa, yang bernama Encik Purtin dari Hindia Belanda.Â
Encik sendiri dapat dipahami sebagai orang Timur asing, atau merujuk pada mereka yang memiliki kewarganegaraan asing non-Eropa. Meskipun kata Encik lekat dengan konotasi Tionghoa, namun dalam konteks ini penggunaan gelar Tionghoa dibedakan dengan Encik itu sendiri.
Kata Tionghoa (Cina) dipakai secara terpisah untuk memanggil mereka yang memang berasal atau memiliki keturunan dari dataran Tiongkok.Â
Dalam sejarahnya, Encik Purtin diangkat oleh Sri Sultan Hamengkubowono VI sebagai lurah dan mendapatkan tanah lenggah berupa sawah sebesar 5Â jung dan mendapatkan bantuan serta kuasa untuk mengatur 20 orang abdi dalem yang membantunya di dapur (keuken) khusus untuk masakan Eropa (Wijanarko, 2021).
Selain mengatur dan menyajikan hidangan Eropa, abdi dalem Encik juga memiliki beberapa tugas penting lainnya, seperti merawat perlengkapan jamuan makan dan melakukan tambal sulam pada tempat duduk khusus Sultan.Â